Konten dari Pengguna

September Hitam Sebagai Peringatan Lemahnya Supremasi Hukum di Indonesia

Nadief Rahman Harris
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Airlangga
9 September 2024 14:50 WIB
·
waktu baca 3 menit
clock
Diperbarui 2 Oktober 2024 12:16 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nadief Rahman Harris tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto : Aksi Demonstrasi Mahasiswa; Sumber : Dokumentasi Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Foto : Aksi Demonstrasi Mahasiswa; Sumber : Dokumentasi Pribadi
ADVERTISEMENT
Entah mengapa bulan September menjadi bulan yang kelam bagi Bangsa Indonesia. Sebab, berbagai problematika negara Indonesia banyak terjadi di bulan September. Baik itu Tragedi 65, Tragedi Tanjung Priok, Tragedi Semanggi II, Pembunuhan Munir, Pembunuhan Salim Kancil, hingga Aksi Reformasi Dikorupsi yang terjadi 5 tahun silam. Kabar duka ini tentu menjadi luka bagi kita semua. Karena hari ini korbannya mereka, esok bisa jadi kita. Ditandai dengan berbagai persoalan kebangsaan itulah, ramai-ramai netizen memperingati "September Hitam".
ADVERTISEMENT
Tentu bukan tanpa sebab banyak hal tersebut terjadi. Secara garis besar mereka mempertahankan dan memperjuangkan hak-haknya sebagaimana amanah Konstitusi. Hal ini diperkuat dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Hal ini berarti bahwa Indonesia menganut konsep negara hukum berdasarkan prinsip konstitusionalisme. Serta, segala aspek kehidupan di Indonesia didasarkan pada hukum dan peraturan yang berlaku.
Namun, jauh panggang daripada api. Dewasa ini kita dapat merasakan sendiri. Bagaimana otak-atik aturan oleh para pembuat kebijakan yang menguntungkan pihak dan golongan tertentu. Jelas, dengan pemberhentian Anwar Usman sebagai Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang terbukti melanggar kode etik & perilaku hakim. Bahwa dalam prosesnya Putusan 90/PUU-XXI/2023 yang bersangkutan melakukan konflik kepentingan dengan kemenakannya. Yang hari ini menjadi Wakil Presiden Terpilih.
ADVERTISEMENT
Selain itu, dengan ditetapkannya UU Ciptaker oleh DPR RI yang berasal dari Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja. Padahal, tegas Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa UU Cipta Kerja dinilai inkonstitusional bersyarat (cacat formil) pada November 2021 lalu sesuai putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020. Akan tetapi MK tetapi hasil putusannya cenderung menimbulkan aneka interpretasi. Hal ini berlawanan dengan fungsi MK sebagai Pengawal Kontitusi (The Guardian of Constitution), Penafsir Akhir Konstitusi (The Final Interpreter of Constitution), juga sebagai Pengawal Demokrasi (The Guardian of Democracy).
Dua masalah diatas hanyalah contoh setitik dari segudang masalah "Supremasi Hukum" di Indonesia. Supremasi hukum ialah prinsip yang menyatakan bahwa hukum memiliki kedudukan tertinggi dan harus diterima sebagai acuan dalam segala hal. Namun tak jarang keberadaan Pancasila yang tidak diakui dengan tidak adanya tindakan yang mencerminkan nilai-nilai dasarnya. Terutama dalam bab, pembuatan kebijakan publik. Hal ini berdampak pada terhambatnya partisipasi dan aspirasi masyarakat, padahal salah satu prasyarat demokrasi adalah adanya keterlibatan masyarakat dalam proses pemerintahan.
ADVERTISEMENT
Dalam sudut pandang para pengikut aliran positivisme hukum sangat menghargai hukum tertulis sebagai sumber kebenaran yang bersifat formal dan prosedural (pure theory of law). Namun, hukum memerlukan dukungan dari kekuasaan negara agar dapat mengikat dan memaksa subjek hukum untuk mematuhinya. Kekuasaan negara, yang juga bisa diartikan sebagai kekuasaan politik, adalah kemampuan untuk memengaruhi kebijakan pemerintah sesuai dengan tujuan para pemimpin.
Maka pentingnya batasan yang harus dipatuhi oleh para penguasa ketika hendak membentuk produk hukum sesuai dengan konsep negara hukum untuk mencapai "Supremasi Hukum" itu sendiri. Zainal Arifin Mochtar dalam bukunya "Politik Hukum Pembuatan Undang-undang" berpendapat bahwasanya sistem dan metode pembentukan hukum harus menjadikan rasa keadilan dan kesejahteraan rakyat sebagai prioritas. Karena sejatinya tujuan Kebijakan Publik adalah dapat dicapainya kesejahteraan masyarakat melalui peraturan yang dibuat oleh pemerintah.
ADVERTISEMENT