Konten dari Pengguna

Tragedi Demokrasi dalam Kepemimpinan Jokowi

Nadief Rahman Harris
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Airlangga
8 September 2024 15:45 WIB
·
waktu baca 3 menit
clock
Diperbarui 2 Oktober 2024 12:37 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nadief Rahman Harris tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
foto :demonstrasi tolak korups;sumber : pribadi
zoom-in-whitePerbesar
foto :demonstrasi tolak korups;sumber : pribadi
ADVERTISEMENT
Hampir sepuluh tahun telah berlalu sejak Presiden terpilih Joko Widodo memimpin Negara Kesatuan Republik Indonesia. Awalnya seorang pengusaha kayu, kemudian berlanjut sebagai Wali Kota Surakarta, Gubernur DKI Jakarta, hingga akhirnya terpilih sebagai Presiden Republik Indonesia untuk dua periode berturut-turut. Kesuksesannya dalam pemilihan umum sangat mencolok, bahkan dapat dikatakan memiliki tingkat kemenangan elektoral yang mendekati 100%. Fenomena ini sangat jarang terjadi dalam sejarah kepresidenan Indonesia. Meskipun demikian, menilai hasil kemenangannya menarik, namun lebih menarik lagi adalah menganalisis bagaimana jalannya demokrasi di negara ini yang dipimpin oleh seseorang yang terpilih secara "demokratis".
ADVERTISEMENT
Kisah tragis dimulai dari pembentukan berbagai kebijakan publik yang bermasalah. Mulai dari UU Minerba, UU KPK, UU Ciptaker, UU IKN, KUHP baru, dan masih banyak lagi. Masalah utama dari kebijakan-kebijakan ini adalah minimnya partisipasi publik dalam penyusunan, pembahasan, dan pengesahannya. Hal ini tercermin dari penurunan nilai Indeks Demokrasi Indonesia selama sepuluh tahun terakhir yang dirilis oleh Economist Intelligence Unit (EIU), dari 6,95 pada tahun 2014 menjadi 6,53 pada tahun 2023.
Kisah ini berlanjut dengan terpilihnya putra sulung Presiden RI sebagai Wali Kota Surakarta pada tahun 2021. Kepemimpinan putra sulung ini didukung oleh sejumlah proyek strategis nasional (PSN) yang dibiayai oleh APBN. Hal ini menjadi tidak seimbang dibandingkan dengan daerah lain di sekitarnya seperti Boyolali, Sragen, Klaten, Sukoharjo, Karanganyar, dan Wonogiri. Fenomena serupa terlihat dengan terpilihnya Bobby Nasution sebagai Wali Kota Medan. Tidak lama setelah itu, Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia menikah dengan Idayati, adik Presiden Joko Widodo, pada tahun 2022. Satu tahun kemudian, pada tahun 2023, putra bungsunya berhasil menjadi Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI), meskipun baru beberapa hari bergabung dengan partai tersebut.
ADVERTISEMENT
Fenomena politik dinasti di Indonesia telah menjadi bahan perbincangan hangat, terutama dengan terpilihnya beberapa anggota keluarga presiden dalam posisi penting. Istilah "politik dinasti" merujuk pada kekuasaan politik yang dijalankan oleh keluarga dengan pengaruh signifikan dalam politik lokal, regional, atau nasional. Di Indonesia, fenomena ini terlihat dalam beberapa contoh, seperti trah Presiden Soekarno yang diteruskan kepada Megawati Soekarnoputri dan Puan Maharani, serta trah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang diteruskan kepada Agus Harimurti Yudhoyono dan Edhie Baskoro Yudhoyono.
Dinasti politik di Indonesia juga tercermin dalam pemilihan putra-putri presiden untuk posisi penting. Misalnya, Gibran Rakabuming Raka, putra Presiden Joko Widodo, terpilih sebagai Wali Kota Surakarta, sementara Kaesang Pangarep, juga putra Presiden Joko Widodo, bergabung dengan PSI dan menjadi Ketua Umum partai tersebut. Fenomena ini menimbulkan kekhawatiran tentang dampaknya terhadap demokrasi, karena politik dinasti rentan terhadap korupsi dan dapat mengurangi akuntabilitas birokrasi.
ADVERTISEMENT
Konsep "matinya demokrasi" yang dibahas oleh Tom Nichols menunjukkan bahwa demokrasi tidak hanya tentang proses pemilihan umum, tetapi juga tentang kualitas demokrasi itu sendiri. Dalam konteks ini, demokrasi yang sebenarnya adalah yang melibatkan partisipasi aktif masyarakat, transparansi, dan akuntabilitas. Fenomena politik dinasti di Indonesia dapat dianggap sebagai salah satu indikator bahwa demokrasi di Indonesia masih jauh dari ideal.
Demokrasi sosial baru, sebagaimana dibahas oleh Olle Tornquist, menekankan pentingnya partisipasi masyarakat dalam proses demokrasi. Dalam konteks ini, demokrasi yang sesungguhnya adalah yang melibatkan semua lapisan masyarakat, bukan hanya elit politik. Fenomena politik dinasti di Indonesia menjadi salah satu tantangan untuk mencapai demokrasi sosial baru, karena dapat mengurangi partisipasi masyarakat dan memperkuat kekuasaan elit politik.
ADVERTISEMENT