Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.1
Konten dari Pengguna
Sesudah 78 Tahun Indonesia Merdeka
18 Agustus 2023 8:40 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari Bagus Adil tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Bagiku terlahir sebagai orang Indonesia adalah anugerah terindah dan meninggal di Indonesia itu adalah berkah. Jika kata Martinus A.W. Brouwer “Bumi Pasundan lahir ketika Tuhan sedang tersenyum” maka bagiku “Indonesia diciptakan Tuhan dengan penuh riang tawa mesra”.
Euforia Revolusi 1945 masih kental di ingatan. Cara merayakannya pun beraneka ragam. Ada yang melakukan seremonial-seremonial seperti upacara bendera, pergi berziarah ke makam pahlawan dan lain sebagainya.
Menurutku kemerdekaan bukan hanya untuk dirayakan tapi juga harus dipertahankan dan diusahakan. Ketika kita sudah benar-benar merdeka, pasti kita akan berdiri di atas kaki sendiri (Berdikari). Tak terasa sudah 78 tahun bangsa ini merdeka, menarik sekali untuk kita refleksikan sudah sampai di mana bangsa ini berjalan beriringan bersama.
ADVERTISEMENT
Bisa tercermin dari narasi ini. Bersumber dari pikiranku, orang yang pernah aku temui, dan orang-orang yang pernah aku baca tulisannya. Latar belakang pikiran yang sangat beragam menjadikan narasi ini menarik untuk dinikmati dengan seduhan segelas kopi.
Aku memulainya dari beberapa bait puisi yang dibacakan oleh Sufyan dan Ferdi yang merupakan salah satu siswa sekolah dasar di Dusun Balung. Sekolah yang aku datangi untuk sebuah panggilan jiwa tertentu. Puisi mereka berjudul “Terima Kasih Sekolahku” karya Kak Dedi.
Itu adalah beberapa bait puisi yang mereka berdua senandungkan. Menurutku puisi sendiri adalah suatu bentuk sastra pembebasan yang sedang dalam perjalanan untuk mencetak sebuah kepribadian manusia yang bebas dan merdeka.
Kalau aku mengutip ucapan Wijhi Tukul dalam kumpulan puisinya yang berjudul “Aku Ingin Jadi Peluru”, seni (puisi) adalah satu bentuk dari banyak tafsir atas realitas, seni bukanlah sesuatu yang kosong dan tidak berpihak, justru ia memiliki pemihakan yang besar, yakni atas hati nurani.
ADVERTISEMENT
Aku suka dengan kalimat di dua baris terakhir puisi tadi, ”Bergandengan tangan pantang menyerah, menyatu dalam genggaman asa demi masa depan yang cerah”. Kalimat ini menurutku memiliki tafsir tersendiri tentang sebuah bangsa yang sedang berada di depan gerbang untuk menuju jembatan emas dalam meraih kemerdekaanya.
Berbicara kemerdekaan, apakah merdeka diraih ketika suatu bangsa tidak diperintah oleh bangsa luar? Menurutku ini adalah pertanyaan sekaligus jawaban mayoritas. Kemudian apakah dapat dikatakan merdeka jika seluruh hasil kekayaan alam di dalamnya dapat dinikmati secara gratis oleh masyarakatnya? Menurutku ini adalah pemikiran minoritas.
Mungkin aku lebih setuju jika kemerdekaan diartikan dengan tidak adanya eksploitasi manusia atas manusia (exploitation de l‘homme par l‘homme) dan eksploitasi bangsa atas bangsa (exploitation de nation par nation).
ADVERTISEMENT
Tapi itu sepertinya mustahil sekali untuk mutlak terwujud. Kenapa? Sebab, kedua hal di atas akan terus terjadi selama roda zaman terus berputar, selama masyarakat terus berdinamika.
Jadi menurutku kemerdekaan itu seperti hal yang fiksi. Oleh karena hal tersebut fiksi, maka harus kita terus perjuangkan jika kita mengaku sebagai suatu bangsa. Kuingatkan, bukan merasa bisa memiliki Indonesia, tetapi bisa merasa memiliki Indonesia.
Oh iya, dulu Bung Karno pernah ditanya oleh Daud Beureueh dalam sidang BPUPKI. “Soekarno, apa itu bangsa?” namun Soekarno baru menjawabnya pada tahun 1948.
Mungkin aku akan mengambil pendapat yang menurutku netral dari Bennedict Anderson tentang bangsa, ia berpendapat bahwa bangsa adalah “imagined community” suatu komunitas imajinasi atau bayangan, karena mustahil bagi individu anggotanya untuk benar-benar pernah berinteraksi satu sama lain.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya banyak sekali keragaman yang dimiliki oleh bangsa ini, dimulai dari kultur, agama, etnis sampai kepada konsep sebuah pemikiran pun berbeda. Contoh nyata yakni pasti akan ada perbedaan bahasa dalam sebuah bangsa. Bahasa yang digunakan oleh Suku Jawa dan Suku Madura, Suku Batak dan Suku Toraja, pasti berbeda.
Kemudian pasti juga akan ada perbedaan mengenai konsep demokrasi. Demokrasi menurut Soekarno dan Muhammad Natsir berbeda. Jadi tidak menutup kemungkinan pasti ada beberapa perbedaan konsep menurut tokoh nasional yang lain.
Jadi aku sepakat jika harus ada sebuah konsep pemersatu untuk menaungi keanekaragaman ini. Kalau dalam bidang bahasa ada Bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu bangsa.
Kemudian jika kita berbicara lebih jauh lagi tentang keanekaragaman, maka konsep Pancasila dengan nilai Bhinneka Tunggal Ika-lah yang menurutku paling cocok dalam menaungi dan menyatukan seluruh perbedaan yang ada di dalam bangsa ini. Ingat, Pancasila sendiri hadir karena adanya perbedaan, bukan untuk menghilangkan perbedaan.
ADVERTISEMENT
Jika kita sedikit berpikir lebih holistis dan kritis lagi, sebenarnya secara tidak langsung budaya luhur kita sedikit demi sedikit telah menghilang karena salah satu masalahnya diakibatkan oleh belum siapnya filter kita untuk mengantisipasi efek negatif dari globalisasi.
Kemudian lagi, kita terlalu sibuk mencari kiblat sebagai patokan dasar kemajuan suatu peradaban. Yang daerah A meniru B, yang daerah B meniru daerah C, dan seterusnya, lalu berakhir di New York sebagai patokan utama dan yang terutama.
Jadi ketika daerah kita tidak sesuai dengan patokan yang kita tetapkan dan harapkan maka kita akan merasa inferior dan juga insecure dengan sendirinya, hal ini biasanya banyak terjadi kepada pemuda dan pemudi yang sedang merantau ke kota besar.
ADVERTISEMENT
Padahal logika sederhananya menurutku seperti ini. Amerika dengan pemerintahan demokrasinya menghasilkan gedung-gedung besar. Kemudian Qatar dengan pemerintahan monarkinya juga bisa menghasilkan banyak gedung besar.
Bahkan gedung terbesar di dunia ada di Qatar yakni Burj Khalifa dengan tinggi hampir mencapai 1 kilometer. Masa iya harus meniru segalanya dari mereka sebagai tolak ukur sebuah kemajuan? Padahal kita punya potensi yang berbeda dari mereka untuk mencapai kemajuan itu.
Seharusnya potensi daerah yang kita miliki perlu kita maksimalkan dan kembangkan lagi melalui inovasi-inovasi baru. Bung Karno menurutku adalah sebuah contoh teladan bagi para generasi muda supaya tidak menerima mentah perihal pemikiran maupun konsep yang mereka terima dari luar.
Jadi harus melalui proses dialektik dengan keadaan setempat. Salah satu contohnya yakni ketika Bung Karno tidak mengambil dengan mentah Marxisme sebagai asas ekonomi. Namun ia tafsirkan lagi dengan melihat kondisi sosial dan ekonomi Indonesia.
ADVERTISEMENT
Kemudian lahirlah Marhaenisme sebagai asas perjuangan. Bahkan Manifesto Politik Usdek (Manispol Usdek) yang digagas oleh beliau berakhir dengan akhiran akronim “K” yang artinya “kepribadian Indonesia”. Jadi haluan negara kita ini dulu harus berdasarkan kepribadian Indonesia.
Ada sebuah pertanyaan sederhana dari seorang anak kecil yang menurutku tidak bisa dijawab dengan jawaban yang sederhana. Begini bunyi pertanyaannya: “Kak orang kota katanya pintar-pintar, tapi kenapa ya sungainya kok kotor?”
Itu adalah sebuah pertanyaan sederhana yang menurutku akan terjawab dengan sendirinya oleh pengalaman ia kelak. Maka aku diam tanpa sepatah kata pun terujar dari mulutku untuk ikut serta dalam menemukan jawabannya.
Aku jadi ingat dengan ucapan Bung Karno ketika beliau memproklamirkan dasar negara kita Pancasila: “Pancasila bukan aku yang menciptakannya. Tapi aku menggalinya dalam ingatanku, ciptaku, khayalku setelah menyelami sejarah bangsa Indonesia ini lapis demi lapis”.
ADVERTISEMENT
Anak kecil yang bertanya tadi menurutku dia masih murni, masih belum terbawa oleh arus negatif dari globalisasi yang sedikit demi sedikit tanpa kita sadari telah menghilangkan budaya luhur kita.
Maka dari itu, sebenarnya yang paling memahami Pancasila adalah anak kecil ini. Dan aku harus banyak belajar kepadanya. Niat awalku yang datang ke sana murni karena panggilan jiwa, demi menyelamatkan dirinya.
Namun kenyataannya dirikulah yang diselamatkan oleh dirinya. Ini adalah momen di mana ketika narasi dan teoriku dipatahkan oleh sebuah pertanyaan sederhana yang terlontar dari ucapan seorang anak kecil.
Hal yang dapat kupetik sesudah 78 tahun bangsa ini menyatakan kesiapannya untuk merdeka adalah aku tidak boleh hanya mencari eksistensi sambil memperbaiki masa depan sendiri. Lebih dari itu, semakin banyak tempat dan orang yang aku temui, semakin pahamlah aku bahwa revolusi Indonesia belum selesai.
ADVERTISEMENT
Maka jangan pernah berhenti. Demi Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil, dan makmur. Harapan itu akan terwujud ketika kita mau berjuang, belajar, dan saling membantu.
Pada hakikatnya, kekayaan hati dan pikiran tidak didapatkan dari seberapa banyak tempat yang berhasil dijelajahi, seberapa banyak buku yang kita baca. Tetapi seberapa pandai kita memaknai setiap langkah dari pencarian tersebut.
Selamat HUT ke-78 RI !