Melawan Hoax dengan Literasi

Mutia Nurlaksani
Mahasiswa S1 Akuntansi Universitas Pamulang
Konten dari Pengguna
11 April 2022 20:44 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Mutia Nurlaksani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Literasi (Sumber: https://pixabay.com/)
zoom-in-whitePerbesar
Literasi (Sumber: https://pixabay.com/)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Beberapa waktu belakangan ini kita disibukkan oleh gelombang dahsyatnya informasi tentang terlalu banyak hal di luar kebutuhan kita. Kurangnya kemampuan literasi dan keterampilan berpikir kritis menyetir kita menjadi individu yang homogen. Homogenitas mengubah kita menjadi gagap dalam merespon segala bentuk perubahan.
ADVERTISEMENT
Kebanyakan orang memiliki tenaga lebih banyak energi untuk membagikan berita-berita bohong. Saya mengasumsikan bahwa yang meneruskan berita bohong tersebut kebanyakan adalah orang tua.
Hasil penelitian Prof. Marsudi Kisworo menbenarkan asumsi tersebut. Beliau membagi pengguna sarana mutimedia menjadi dua kelompok: yang lahir sebelum tahun 1995an dan setelahnya.
Orang-orang di kelompok pertama disebut digital immigrant, adalah mereka yang berusaha berimigrasi dari era mereka ke era digital yang kebanyakan gaptek yang berati "gagap teknologi". Sementara itu, kelompok kedua yang dinamakan digital native adalah mereka yang gaya hidupnya terintegrasi dengan perangkat digital. Kebanyakan orang dalam kelompok ini sangat akrab dengan perkembangan teknologi.
Kita juga harus tahu bahwasanya literasi itu bukan hanya tentang membaca, tetapi juga memahami. Agar apa? Agar informasi atau berita yang kita konsumsi bisa diterima dengan baik dan tidak menimbulkan kesalahpahaman dari bacaan tersebut.
ADVERTISEMENT
Sangatlah berbahaya jika kita tidak bisa memahami isi dari sebuah bacaan, hal ini yang dapat menyebabkan hoax tersebar dimana-mana. Misalnya, kita dapat informasi dari teman lewat WhatsApp, lalu kita baca tanpa kita pahami, lalu kita share, yang pada akhirnya berita itu menjadi hoax atau berita bohong. Hal ini tentu dapat merugikan orang lain.
Jadi, membaca dan memahami merupakan dua unsur yang sangat penting dalam literasi.
Kita pasti mengenal salah satu tokoh pelopor kebangkitan kaum wanita yaitu Raden Ajeng Kartini, beliau adalah tokoh emansipasi wanita yang sangat aktif memperkenalkan budaya literasi pada masyarakat sekitar. Budaya literasi yang dibangun sejak abad ke-20 oleh R.A Kartini, seakan telah rapuh. Anak-anak muda yang seharusnya melanjutkan budaya literasi malah terlalu asyik dengan hiburan-hiburan yang membutakan.
ADVERTISEMENT
Budaya membawa dan membaca buku di Indonesia sudah jarang sekali, bahkan misalnya sedang antre, naik kereta dan lain sebagainya orang-orang lebih suka bermain gadget. Nah kenapa literasi itu sangat penting? Jawabannya sangat mudah sekali, yaitu untuk memperbaiki kualitas diri. Luasnya wawasan dan dalamnya etika, dapat membentuk kualitas diri kita. Jika hanya wawasan dan pengetahuan tanpa adanya etika, bisa saja pengetahuan itu sudah disalahgunakan untuk hal buruk. Dan sebaliknya, etika tanpa adanya wawasan dan pengetahuan membuat kita mudah ditipu oleh orang lain.
Maka dari itu, perbanyaklah literasi dan bentuklah etika kalian.
Saya, kamu, dan kalian semua ayo bangun kembali budaya literasi untuk Indonesia yang lebih maju!
Ditulis oleh Mutia Nurlaksani
(Mahasiswi S1 Akuntansi Universitas Pamulang)
ADVERTISEMENT