Konten dari Pengguna

Tak Asal Tanam, Rehabilitasi Mangrove Perlukan Paradigma Yang Tepat

Syarif Muhammad
Syarif sudah bekerja di Yayasan KEHATI sejak tahun 2017, sebagai Public Relations and Education Outreach Manager
26 Juli 2021 21:53 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Syarif Muhammad tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Hutan Mangrove Desa Pandansari Brebes Jawa Tengah photo by: KEHATI
zoom-in-whitePerbesar
Hutan Mangrove Desa Pandansari Brebes Jawa Tengah photo by: KEHATI
ADVERTISEMENT
Menjadi ironi memang ketika berbicara tentang mangrove di Indonesia. Di satu sisi, Indonesia memiliki hutan mangrove terluas di dunia, yaitu 3.496.768 ha yang tersebar dari pesisir Aceh hingga Papua, yang mencakup 22.4% luasan mangrove dunia. Namun, pada saat yang sama, Indonesia merupakan penyumbang kerusakan hutan mangrove tertinggi di dunia. Fenomena di atas berhasil menarik perhatian luas dan menicptakan aksi dari berbagai kalangan. Mulai dari individu, komunitas, kampus, sampai perusahaan bergotong royong menanam mangrove. Namun, permasalahan kerusakan mangrove ternyata tak kunjung selesai.
ADVERTISEMENT
Beberapa temuan juga menemukan adanya kegagalan dalam rehabilitasi mangrove di tanah air. Salah satu penyebabnya adalah paradigma bahwa rehabilitasi ekosistem mangrove hanya sebatas menanam kembali bibit mangrove. Padahal, program rehabilitasi memerlukan langkah-langkah yang matang, dimulai dari perencanaan hingga evaluasi.
Temuan di atas menekankan perlunya pendampingan pada pada program rehabilitasi ekosistem mangrove yang dilakukan oleh pegiat CSR di Indonesia. Yup, perbaikan ekosistem mangrove tidak semudah membalikan telapak tangan, menanam bibit, kemudian ditinggal. Praktik ini banyak dilakukan oleh pegiat CSR di Indonesia. Rehabilitasi ekosistem mangrove memerlukan intensitas dan keterlibatan beberapa pihak, terutama masyarakat yang tinggal di kawasan rehabilitasi.
Berbicara dengan Manajer Program Ekosistem Yayasan KEHATI Yasser Ahmed, dia mengatakan bahwa kerusakan mangrove bersangkutan dengan aktivitas manusia, terutama masyarakat sekitar, sehingga perbaikannya pun harus melibatkan mereka.
ADVERTISEMENT
Lebih lanjut, Yasser menjelaskan bahwa rehabilitasi ekosietem mangrove harus memperhatikan 3 aspek penting, yaitu ekologi, sosial, dan ekonomi. Secara ekologi, pemulihan mangrove perlu memperhatikan kondisi lahan dengan kesesuaian jenis mangrove yang ditanam, sehingga bibit mangrove dapat bertahan dan beradaptasi di lokasi tanam. Hal ini disebut dengan zonasi mangrove.
"Memang, Indonesia memiliki kekayaan jenis mangrove tertinggi di dunia. Namun, ketika jenis mangrove tertentu ditanam bukan pada habitatnya, walau masih pada ekosistem mangrove, maka mangrove yang ditanam tidak akan tumbuh maksimal, bahkan mati," jelas Yasser.
Selanjutnya, pelibatan masyarakat sekitar pada kegiatan rehabilitasi mangrove juga penting. Pegiat CSR harus menempatkan masyarakat setempat sebagai subyek sekaligus mitra untuk mencapai tujuan bersama. Dari awal, semua pihak harus memilik mindset bahwa tanggung jawab dan keberhasilan harus ditanggung dan dirasakan bersama. Inilah yang disebut sebagai faktor sosial. Selama ini, banyak pihak yang berkeyakinan bahwa setelah ditanam, permasalahan mangrove seakan terselesaikan. Padahal, mangrove perlu dirawat, diperhatikan pertumbuhannya.
ADVERTISEMENT
Saya teringat seorang Aziil Anwar, Pegiat Mangrove di Kabupaten Majene, Sulbar. Demi menjaga agar mangrovenya dapat tumbuh, Aziil bersama masyarakat setempat harus "mengelus-elus" bibit mangrove yang ditanamnya selama 2 tahun sampai melewati masa kritis dan dapat ditinggal. "Mangrove itu seperti bayi," ujarnya. Berkat kegigihannya, Aziil berhazil menanam mangrove seluas 60 ha di Majene.
Aspek ketiga yang tak kalah penting yaitu ekonomi. Agar dapat berhasil dan tidak diekspolitasi kembali oleh masyarakat sekitar, program rehabilitasi mangrove harus bersinergi dengan peningkatan pendapatan masyarakat. Salah satu contoh adalah Desa Pandansari di Brebes Jawa tengah. Setelah hancur lebur akibat alih fungsi lahan mangrove menjadi tambak udang, masyarakat disana berhasil merehabilitasi kembali lahan mangrove dan menjadikan sebagai daerah tujuan wisata. Selain itu, mereka juga berhasil berbudi daya kepiting bakao di area rehabilitasi mangrove yang ada.
ADVERTISEMENT
"Jika kita jaga alam. Alam akan jaga kita." Begitu kurang lebih keyakinan yang sekarang dimiliki oleh masyarakat Desa Pandansari.
Semoga alam Indonesia tetap lestari untuk masa kini, dan masa depan anak negeri. Selamat Hari Mangrove Dunia!