Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Bahasa sebagai Alat Trauma: Studi Psikologi Linguistik terhadap Korban Kekerasan
3 Mei 2025 17:40 WIB
·
waktu baca 2 menitTulisan dari Ega Satria Harshavardana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Setelah mengalami peristiwa traumatis, banyak korban merasa “kehilangan kata-kata”. Tidak hanya secara emosional, trauma bisa memengaruhi kemampuan otak dalam memproduksi dan memahami bahasa.
ADVERTISEMENT
Artikel ini mengeksplorasi hubungan erat antara trauma psikologis dan kemampuan linguistik manusia di mana bahasa bisa menjadi penjara, tapi juga jembatan menuju pemulihan.
Trauma Mengganggu Bahasa
Bahasa yang Patah dan Diam yang Berbicara
Trauma dapat memunculkan bentuk komunikasi yang tidak biasa. Beberapa pola linguistik yang sering muncul antara lain:
ADVERTISEMENT
Narasi sebagai Proses Penyembuhan
Berbagai pendekatan terapi modern menekankan pentingnya merekonstruksi narasi. Salah satu pendekatan yang paling banyak digunakan adalah Narrative Therapy, yang mendorong korban untuk menceritakan kembali kisah hidupnya dengan sudut pandang baru tidak lagi sebagai korban pasif, tetapi sebagai penyintas yang mampu membentuk ulang makna atas peristiwa traumatis.
Dalam proses ini:
Bahasa Tak Selalu Cukup
Meski penting, bahasa tetap memiliki keterbatasan. Tidak semua rasa sakit bisa diungkapkan. Tidak semua luka bisa dijelaskan. Oleh karena itu, pendekatan multimodal sering dibutuhkan menggabungkan bahasa verbal, seni visual, musik, dan tubuh (body movement therapy) untuk membuka lebih banyak “saluran” ekspresi trauma.
ADVERTISEMENT
Kesimpulan
Bahasa dan trauma memiliki hubungan yang kompleks. Dalam banyak kasus, trauma merusak kemampuan berbahasa seseorang, membuat narasi hidup mereka terputus. Namun seiring waktu dan bantuan profesional, bahasa dapat menjadi alat utama dalam membangun ulang narasi yang rusak. Ia menjadi jembatan menuju pemulihan, pemberdayaan, dan bahkan pembebasan dari luka yang membisu.
Dengan memahami hubungan ini, kita tidak hanya membantu para penyintas merasa “didengar”, tetapi juga mengembalikan hak dasar mereka untuk menyuarakan diri hak untuk bercerita, dan untuk sembuh.