Konten dari Pengguna

Kegagalan Komunikasi Publik: Kala Pernyataan Pejabat Picu Krisis Kepercayaan

Rivyan Bomantara
Account Executive di YVERMOR.
26 September 2024 14:53 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rivyan Bomantara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Ilustrasi Komunikasi. Sumber: Pexels.
Komunikasi publik tampak sederhana, namun nyatanya sulit diimplementasikan dengan baik oleh pejabat-pejabat kita. Perhatikan, kita seringkali mendengar pernyataan-pernyataan yang aneh dan membingungkan dari para pemangku jabatan. Mungkin maksudnya baik, tapi karena kemampuan komunikasi yang buruk, pernyataannya jadi konyol dan seakan tak terkontrol. Hal-hal yang belum pasti disampaikan, yang belum teruji disampaikan, yang tidak relevan disampaikan. Akhirnya? Heboh.
ADVERTISEMENT
Pejabat-pejabat kita (eksekutif maupun legislatif) seolah-olah keceplosan setiap kali berbicara. Otak dan mulut seakan tidak sinkron. Selain itu, diksi yang dipilih juga miris. Entah disengaja atau memang keterbatasan keterampilan komunikasi, yang jelas berdampak pada kepercayaan publik.
Masih ingat dengan kasus peretasan Pusat Data Nasional Juni lalu? Ketika publik sedang mencemaskan keamanan data dan menunggu pernyataan dari pemerintah, Menkominfo Budi Arie saat itu justru muncul dengan pernyataan yang membingungkan. “Ya tunggu aja, ini kan lagi di lagi diiniin.” Sungguh sebuah quotes sebijak Mahatma Gandhi. Ini tentu bukan hal yang ingin didengar oleh masyarakat.
Ingat saat Edy Mulyadi menyebut Kalimantan tempat jin buang anak dan hanya monyet yang mau tinggal di sana? Atau masih ingat kala Arteria Dahlan mengkritisi seorang Kajati yang berbicara dengan Bahasa Sunda saat rapat? Publik bertanya-tanya, ngapain Arteria Dahlan persoalkan itu. Pernyataan tersebut juga mengundang reaksi keras kalangan masyarakat sunda. Endingnya? Tentu saja minta maaf. Meski begitu, publik tetap mengingat pernyataan pertama yang disampaikan oleh Arteria Dahlan. Ini contoh dimana pernyataan pejabat bersifat irreversible atau tidak bisa ditarik kembali. Mengurangi dampak iya, tapi menghilangkannya? Tidak.
ADVERTISEMENT
Belum lagi kalau bahas Heru Budi dengan "Ya nggak papa mata kucing, daripada mata saya," Puan Maharani dengan “tarif BPJS naik biar masyarakat jaga kesehatan,” Muhadjir Effendy dengan “guru honorer auto masuk surga,” Achmad Yurianto dengan “yang miskin melindungi yang kaya,” yang paling diingat dunia mungkin “bercampurnya pria dan wanita di kolam renang dapat menyebabkan kehamilan.”
Pernyataan-pernyataan tersebut mungkin terdengar sepele dan tak berdampak, mungkin para pejabat mengira hanya sekedar berakhir menjadi meme di twitter seperti yang sudah-sudah. Namun, bagaimana jika kedepannya, pernyataan-pernyataan para pejabat dapat berdampak lebih buruk?
Parahnya lagi, pernyataan-pernyataan nan konyol tersebut lebih gampang disorot oleh media dan masyarakat, apalagi seiring dengan perkembangan sosial media. Dinding-dinding sosial media dan media massa merupakan wadah yang sangat efektif dalam pembentukan opini publik.
ADVERTISEMENT
Dalam Teori Agenda Setting oleh Maxwell McComb dan Donald L Shaw, media memiliki pengaruh besar dalam membentuk persepsi publik. Penekanan yang diberikan media massa membuat masyarakat tidak sekedar memeroleh pengetahuan mengenai isu-isu tertentu, namun juga memungkinkan masyarakat memahami sejauh mana spesifikasi suatu isu. Sekali lagi, semua bergantung pada penekanan yang diberikan oleh media massa.
Masyarakat yang tidak mampu melihat keseluruhan dari suatu isu pada akhirnya akan turut mengembangkan isu yang di-setting. Tapi itu semua bagian dari communication risk. Itulah resiko menjadi pejabat publik. Mulutmu harimaumu, bukan?
Para pejabat perlu lebih memerhatikan apa yang dilontarkan. Setiap pernyataan seorang pejabat memiliki news value yang tinggi untuk media massa. Terutama untuk hal-hal yang krusial seperti penanganan wabah, Pilpres/Pilkada, atau kebijakan ekonomi yang berdampak pada masyarakat luas. Pernyataan yang dikeluarkan mewakili lembaga tempatnya bernaung.
ADVERTISEMENT
Para pemangku kepentingan eloknya mengerti, komunikasi publik tidak dapat disamakan dengan komunikasi interpersonal atau komunikasi antarindividu. Selain menjalankan tugas sebagai penyelenggara kebijakan, pejabat publik juga bertanggung jawab atas diseminasi informasi, memastikan masyarakat memperoleh, menerima, dan memanfaatkan informasi.
Beberapa pejabat publik yang dapat dijadikan contoh dalam komunikasi publik antara lain ada Menkeu Sri Mulyani, Menlu Retno Marsudi, dan Menteri ATR/BPN, Agus Harimurti Yudhoyono.
Walaupun tidak instan menyelesaikan suatu permasalahan, komunikasi publik yang baik setidaknya dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat. Mengingat, trust dari masyarakat dibutuhkan oleh pemerintah agar setiap program dan kebijakan berjalan tepat sasaran. Jika para pemangku kebijakan tak menganggap ini sebagai hal urgent, maka pernyataan-pernyataan publik selamanya hanya akan menjadi tontonan dan tertawaan publik.
ADVERTISEMENT