Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.1
Konten dari Pengguna
Normalisasi Harga Kreasi Digital!
28 Juni 2022 11:26 WIB
Tulisan dari Rivyan Bomantara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dunia telah lama menyambut era digital, dan hal ini adalah pengetahuan umum yang dapat disepakati oleh semua orang. Teknologi kini semakin terdepan dan menyentuh seluruh ranah kehidupan manusia. Melalui informasi, teknologi kini tak lagi terbatas oleh dinding-dinding konvensional dan batas-batas antar negara. Akses informasi sangat dimudahkan, segala sesuatu yang terjadi jauh di Eropa sana dapat diketahui dalam beberapa detik di belahan benua Asia.
ADVERTISEMENT
Kemajuan yang masif tersebut dapat dirasakan di semua aspek. Mulai dari persoalan di tingkat pemerintahan, pencarian literatur secara online, hingga tentunya dunia bisnis. Fenomena ini disebut sebagai disrupsi digital, atau perubahan fundamental yang disebabkan oleh perkembangan sistem teknologi digital. Teknologi kini menggantikan peran manusia dan membawa perubahan dalam berbagai aspek kehidupan.
Beberapa ahli sosial pernah mengemukakan pendapatnya mengenai disrupsi digital. Salah satunya adalah seorang futuris bernama Francis Fukuyama. Menurutnya, disrupsi digital merupakan ancaman yang dapat mengguncang tatanan sosial. Sempitnya jarak yang ditimbulkan oleh globalisasi dan digitalisasi justeru ditandai dengan kondisi-kondisi sosial yang memburuk. Di sisi lain, Clayton Christensen, seorang guru besar dari Harvard Bussines School (HBS) memiliki pembacaan yang berlawanan. Menurutnya, fenomena ini merupakan kesempatan besar untuk berinovasi.
ADVERTISEMENT
Bagi Christensen, disrupsi baiknya dimulai dengan observasi, riset, dan ide. Selanjutnya, hasilnya dapat terungkap dalam perkembangan baru dengan inovasi melalui pemanfaatan teknologi informasi yang telah ada. Pembaca bebas melihat disrupsi teknologi melalui sudut pandang Fukuyama maupun Christensen, namun yang harus diakui bersama adalah, disrupsi tidak terhindarkan. Persoalannya adalah bagaimana cara kita menghadapi era ini, pesimis ala Fukuyama atau optimis seperti gaya Christensen.
Dunia Digital dan Bisnis
Selaras dengan era disrupsi digital ini, berbagai peluang kerja lahir dan beragam lapangan pekerjaan tercipta. Pedagang-pedagang barang maupun makanan mulai mengalihkan fokus penjualannya pada platform online. Bisnis yang tidak adaptif dan tidak mengamini disrupsi digital akan tertinggal di belakang.
Di era ini, persaingan menjadi lebih ketat. Kepuasan konsumen bukan hanya dicapai dengan kesesuaian produk, namun interaksi secara real time dengan elemen personalisasi diperlukan untuk ‘merawat konsumen’ agar tetap merasa terlibat dan terhubung. Untuk survive, brand dituntut untuk mempermudah layanan konsumen, mencari konsumen dimanapun mereka berada, menjadikan konsumen duta produk, hingga memberikan kesan dan pengalaman yang tak terlupakan pada konsumen.
ADVERTISEMENT
Tidak sedikit perusahaan-perusahaan besar yang gulung tikar karena terlambat beradaptasi, namun tak sedikit pula entrepreneur-entrepreneur baru yang lahir dan langsung mendominasi pasar. Mereka yang berhasil survive dan mendominasi pasar adalah mereka yang berhasil beradaptasi dengan realitas yang ada. Menurut situs IT Pro, 8 dari 10 perusahaan di dunia beralih ke platform-platform digital sejak tahun 2020.
Persoalan Menghargai Jasa
Sebagian besar warga Indonesia hanya tahu bisnis digital sebagai bisnis yang beroperasi secara online. Padahal, sebuah brand, website, atau bisnis digital beroperasi dengan banyak cara. Ada yang berbentuk marketplace, e-commerce, subscription, ad-supported, dan lain-lain.
Selain penjualan-penjualan barang yang dialihkan ke dunia digital, disrupsi digital juga memungkinkan usaha-usaha lain dalam hal jasa. Fotografer, editor video, hingga jasa pengelolaan akun media sosial kini semakin banyak yang bermunculan. Sayangnya, sebagian masyarakat kita masih asing dengan pekerjaan-pekerjaan tersebut. Apalagi ketika mendengar bayaran yang diminta oleh pelaku usaha.
ADVERTISEMENT
Padahal, modal yang dibutuhkan penawar jasa digital tidak dapat dikatakan kecil. Sebut saja kamera, lighting, back drop, laptop/ PC yang memadai, hingga tripod. Belum lagi jika para pelaku usaha di bidang ini bekerja dengan tim, atau lebih sering disebut agensi.
Dengan mengandalkan social media agency, pelaku bisnis dapat fokus untuk mengembangkan internal bisnis. Pemasaran dapat dilimpahkan kepada agensi yang profesional dan selalu up to date. Atas kesadaran inilah coffee shop, kedai makanan, hingga perusahaan-perusahaan clothing mulai beralih menggunakan social media agency.
Berbeda dengan penawar jasa yang bekerja secara individu atau satu orang, agensi ini bekerja dengan melibatkan sekitar 10 orang. Masing-masing dengan jobdesc dan tanggung jawab masing-masing. Oleh karena itu, harga yang dipatok biasanya lebih tinggi dari yang bekerja secara individu. Namun, kerja-kerja kreasi digital dapat berjalan dengan lebih efektif dan efisien.
ADVERTISEMENT
Biasanya, agensi yang baru berdiri cenderung mematok harga yang murah untuk jasa mereka. Alasannya tentu saja, sebab mereka masih mencari klien dan mengejar brand awareness. Nah, dengan harga yang sudah dipatok dengan ukuran yang maha murah tersebut, para calon klien kadang masih meminta potongan harga.
Padahal, dengan kontrak selama 3 bulan, agensi akan mengelola akun media sosial sebuah usaha dengan maksimal, rutin mengunggah puluhan feeds dan story Instagram, serta ikut turut membantu pemilik kafe untuk brainstorming konsep pemasaran dan konten promo. Bagi penulis, harga kreasi digital perlu dinormalisasi, sebab produk yang dihasilkan dapat dikategorikan worth it.
Kebanyakan masyarakat kita masih sangat awam dengan jasa agensi kreatif. Sebagai disclaimer, penulis menggunakan kata “kebanyakan orang” yang berarti tidak memukul rata semua orang di Indonesia. Tak sedikit pula pelaku usaha yang memahami dunia kreasi digital dan mengapresiasi agensi-agensi kecil.
ADVERTISEMENT