Konten dari Pengguna

Pemilu 2024: Wacana Poros Partai Islam sebagai Momentum Populisme Islam

Rivyan Bomantara
Account Executive di YVERMOR.
24 April 2021 6:18 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rivyan Bomantara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Pemilu. Foto: Sabryna Putri Muviola/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Pemilu. Foto: Sabryna Putri Muviola/kumparan
ADVERTISEMENT
Muncul wacana bergabungnya partai-partai islam menjadi satu poros dalam menghadapi pilpres 2024. Wacana poros partai Islam ini ramai dibahas pasca pertemuan PPP dan PKS. Hal ini kemudian mengundang berbagai respons dari sejumlah partai Islam, ada yang pro dan ada pula yang kontra.
ADVERTISEMENT
Yusril Ihza Mahendra sebagai Ketua Umum PBB secara terang-terangan menunjukkan sikap antusiasnya terhadap wacana tersebut. Wakil Ketua Umum PKB, Jazilul Fawaid, juga mendukung gagasan tersebut dan menyatakan kemungkinan bergabung. Baginya, wacana tersebut dapat menjadi poros kekuatan demokrasi baru di Indonesia dengan menawarkan ide-ide terkait program keumatan yang baru.
Di sisi lain, PAN, sebagai salah satu partai politik yang identik dengan agama mayoritas di Indonesia tersebut juga menunjukkan respons atas wacana ini. Alih-alih sepakat seperti partai Islam lainnya, PAN justru secara tegas menolak untuk bergabung. Melalui Wakil Ketua Umum, Viva Yoga Mauladi, PAN menyatakan tidak akan bergabung dalam rencana koalisi yang digagas PPP dan PKS tersebut.
Menurutnya, semua pihak harus lebih hati-hati dalam menggunakan politik identitas, khususnya yang berbasis agama. Menurutnya, agama tidak perlu dibawa-bawa ke dalam politik Indonesia sebab hal tersebut kemudian dapat menyebabkan keretakan kohesivitas sosial dan dapat mengganggu integrasi nasional.
ADVERTISEMENT
Realisasi poros partai Islam tentu saja akan mendapatkan berbagai rintangan ke depannya. Adi Prayitno selaku Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia, misalnya, yang pesimis dalam melihat wacana ini. Ada beberapa hal yang menurutnya menjadi ganjal.
Mulai dari ego sektoral yang menurutnya dimiliki oleh semua partai dan persoalan terkait sosok prominen yang dapat diusung oleh koalisi ini. Sebab menurutnya, tidak ada satu figur yang dapat menjadi pemersatu dan dapat diterima oleh semua partai islam. Belum lagi perihal perbedaan paham keagamaan di antara tiap partai.
Partai-partai Islam, jika ingin menang atau setidaknya mendekati kejayaan Era Masyumi, harus dapat meredam ego sektoral masing-masing. Setiap partai politik, terlepas dari apa pun ideologinya pasti memiliki tujuan untuk lolos ke parlemen. Dalam hal pilpres, tentu pada persoalan kemampuan dalam mencalonkan kandidat.
ADVERTISEMENT
Menarik untuk meraba-raba siapa yang akan diusung oleh poros partai Islam pada pemilu 2024 seandainya koalisi tersebut benar-benar terwujud. Beberapa kandidat mulai muncul ke permukaan, salah satunya adalah Anies Baswedan, Gubernur DKI Jakarta.
Anies sebagai tokoh non-partai dinilai mampu menjadi sosok yang dapat menggalang kekuatan tersebut. Selain itu ada nama Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno yang menurut survei LSI Januari lalu didukung oleh pendukung partai-partai Islam.
Sebagai syarat untuk mengajukan calon presiden dan calon wakil presiden, dibutuhkan minimal 115 kursi di DPR. Sementara koalisi PKS dan PPP terhitung belum mencukupi syarat tersebut sebab masih mempunyai 69 kursi, 50 kursi dari PKS, dan 19 kursi dari PPP.
Harapan bagi koalisi ini ada pada PKB yang memiliki 58 kursi di DPR, sebab PAN sebagai salah satu partai dengan basis massa Islam yang memiliki 44 kursi di DPR telah menyatakan secara tegas untuk tidak bergabung. Sementara PBB yang telah menyatakan niatannya untuk bergabung justru tidak memenuhi ambang batas.
ADVERTISEMENT
Terlepas dari segala persoalan terkait koalisi tersebut, menarik untuk menghitung langkahnya pada kontestasi pemilu 2024 nanti seandainya benar-benar terwujud. Sebab secara sosiologis, mayoritas penduduk Indonesia beragama islam, namun belum pernah ada partai Islam yang menjadi pemenang dalam pemilu.
Banyak faktor yang menyebabkan gerakan populisme Islam di Indonesia tidak dapat meraih kemenangan bagi partai Islam. Jika dibandingkan dengan apa yang ada di Turki, misalnya. Poros Islam perlu menjadikan Adalet ve Kalkinma Partisi (AKP) dan Recep Tayyip Erdogan sebagai contoh.
Sebelum berkiprah bersama AKP, Erdogan adalah kader dari partai politik yang menjalankan politik Islam di Turki, yaitu Refah Partisi (RP). Partai ini akhirnya menjadi partai terlarang pada tahun 1998 dan Erdogan ditahan. Pada tahun 2001, Erdogan mendirikan partai politik baru dengan nama Adalet ve Kalkinma Partisi (AKP).
ADVERTISEMENT
Peristiwa kudeta 28 Februari 1998 dan pembubaran Partai Refah berdampak pada perubahan sikap kelompok reformis. Abdullah Gul mengakui bahwa peristiwa tersebut memberikan mereka banyak pembelajaran berharga bagi mereka. Bersama AKP, Erdogan menggagas politik yang bersifat sekuler. AKP menjadi partai Islam yang moderat dan demokratis.
Firman Maulana Noor dalam penelitiannya Transformasi Gerakan Partai Berbasis Islam di Turki: Studi Kasus Perkembangan Adelet Ve Kalkinma Partisi menjelaskan pemimpin AKP kala itu memperluas daya tarik di luar pemilih kalangan Islam-konservatif dengan cara membingkai bahasa mereka dengan menekankan demokrasi dan keadilan serta menahan slogan-slogan Islam.
Walaupun lahir dari gerakan politik Islam konservatif, AKP memiliki sikap toleran terhadap perbedaan-perbedaan. AKP juga berkomitmen untuk tidak melibatkan Islam dalam tujuan politiknya dan bertekad mengakhiri kebijakan-kebijakan konfrontatif.
ADVERTISEMENT
Jika poros Islam terbentuk, tentunya akan muncul perspektif negatif dari publik. Partai-partai politik dengan ideologi Islam yang bergabung hanya akan menggambarkan politik identitas. Seperti yang diketahui, praktik politik identitas dapat memicu keterbelahan di tengah masyarakat. Contoh nyatanya adalah Pilkada DKI Jakarta yang sampai sekarang masih membekas akibat politik identitas.
Poros partai Islam diharapkan mampu hadir sebagai partai demokrat konservatif yang mensintesakan nilai-nilai konservatif, seperti moralitas, identitas nasional, kebanggaan akan sejarah dengan demokrasi, pluralisme, supremasi hukum, dan hak asasi manusia. Hal ini penting jika ingin mendominasi di 2024.
Oleh Rivyan Bomantara, Bidang PTKP HMI ISIP UMM.