Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.1
Konten dari Pengguna
Upaya Sia-sia Nawa Cita Mengantisipasi Dekadensi Moral
25 Juli 2021 11:47 WIB
Tulisan dari Rivyan Bomantara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pada tahun 2014 saat pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla mencalonkan diri sebagai Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden, muncul suatu gagasan yang sangat mulia dan mengundang berbagai macam apresiasi dari berbagai kalangan kepada pasangan ini, yaitu sembilan agenda prioritas yang disebut Nawa Cita.
ADVERTISEMENT
Program ini merupakan gagasan demi menunjukkan prioritas jalan perubahan menuju Indonesia yang berdaulat (secara politik), mandiri (dalam ekonomi), dan berkepribadian (dalam kebudayaan).
Dalam Nawa Cita tersebut, dua diantaranya merupakan misi peningkatan kualitas moral manusia Indonesia. Pada poin kedelapan dan kesembilan dalam Nawa Cita tersebut, dapat ditemukan komitmen Jokowi-JK dalam ideologisasi.
Yaitu prioritas kedelapan, Melakukan revolusi karakter bangsa melalui kebijakan penataan kembali kurikulum pendidikan nasional dengan mengedepankan aspek pendidikan kewarganegaraan, yang menempatkan secara proporsional aspek pendidikan, seperti pengajaran sejarah pembentukan bangsa, nilai-nilai patriotisme dan cinta Tanah Air, semangat bela negara dan budi pekerti di dalam kurikulum pendidikan Indonesia.
Dan yang kesembilan, Memperteguh kebhinnekaan dan memperkuat restorasi sosial Indonesia melalui kebijakan memperkuat pendidikan kebhinnekaan dan menciptakan ruang-ruang dialog antarwarga.
ADVERTISEMENT
Selain Nawa Cita, Jokowi juga dikenal dengan jargon “Revolusi Mental”. Mengacu pada naskah-naskah resmi pemerintah, mulai dari Instruksi Presiden, Peraturan Presiden, Peraturan Menteri, dan naskah-naskah lainnya, maka konsep revolusi mental Jokowi dapat diartikan sebagai upaya untuk mengubah cara pikir, cara kerja, cara hidup, dan sikap serta perilaku bangsa Indonesia.
Perilaku tersebut tentu saja mengacu pada nilai-nilai integritas, etos kerja, serta gotong royong demi pembangunan budaya bangsa. yang bermartabat, modern, maju, makmur, dan sejahtera berdasarkan Pancasila yang berorientasi pada kemajuan dan kemodernan sehingga Indonesia menjadi bangsa yang besar dan mampu berkompetisi dengan bangsa-bangsa lain di dunia.
Penanaman pengamalan dan penghayatan Pancasila memang penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dewasa ini, sebab arus globalisasi telah membawa bangsa ini terpaksa menghadapi era disrupsi.
ADVERTISEMENT
Perkembangan teknologi telah melipat dunia menjadi satu komunitas yang menetap di tempat yang sama atau di hamparan daun kelor. Istilah yang selanjutnya kita kenali dengan global village. Disrupsi digital seakan menarik busur bagi anak panah bernama informasi hingga menembus dinding-dinding pembatas yang sulit ditembus.
Orang-orang dapat melakukan apapun lewat internet. Internet telah menjadi kanal informasi yang tidak dapat dikontrol. Salah satu persoalan sosial yang terjadi akibat revolusi digital adalah informasi yang masuk-keluar dan membanjiri semua sisi kehidupan masyarakat.
Gawatnya, masyarakat seringkali gagal mencerna setiap informasi tersebut dan menerima mentah- mentah semua yang disajikan oleh internet, tanpa menguji kebenarannya. Masyarakat digiring untuk terbiasa dengan informasi yang dipelintir dan tanpa sadar menjadi bagian dari pembentukan dan penyebaran industri hoax.
ADVERTISEMENT
Selain penggunaan yang tidak bijak akibat dari ketidaktahuan, alasan lain yang menyebabkan hoax mengalir dengan begitu cepat adalah rendahnya kesadaran terhadap konsekuensi menjadi pelaku penyebaran hoax di internet.
Industri hoax telah mengantarkan kita pada post-truth, dimana fakta dan realitas tidak lagi menjadi ukuran kebenaran, melainkan opini orang yang secara personal berdasarkan atas emosi dan keyakinannya secara pribadi.
Post-truth telah berkembang dan menjadi sebuah paradigm dalam cara seseorang membangun opini di tengah masyarakat. Permasalahan kita sekarang adalah opini yang bertujuan untuk merekatkan sosial justru memperlemah ikatan sosial dan menghancurkan tatanan serta memecah belah.
Indusri hoax yang beredar luas dan mengancam segala aspek dalam kehidupan masyarakat berpotensi menimbulkan dekadensi moral masyarakat Indonesia, atau suatu fenomena lunturnya suatu budi pekerti seseorang atau kelompok.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya, gagasan Nawa Cita Jokowi dapat menjadi antisipasi bagi ancaman dekadensi ini, seandainya diiringi dengan program-program dan rekayasa penanaman ideologi yang berfokus pada pendidikan karakter bebasis Pancasila.
Upaya perwujudan Nawa Cita (dalam bidang pendidikan) tidak dapat dibilang nihil, sebab terbukti beberapa program telah dilaksanakan oleh Kementrian Pendidikan. Misalnya ketetapan penyaluran Kartu Indonesia Pintar (KIP), program Penguatan Pendidikan Karakter (PPK).
Dalam penelitiannya yang berjudul “Identifikasi Problematika Evaluasi Pendidikan Karakter di Sekolah”, Das Salirawati menyebutkan beberapa hal yang menyebabkan implementasi pendidikan karakter di Indonesia belum dikatakan berhasil.
Yang pertama, belum terdapatnya model evaluasi pendidikan karakter sebagai pedoman operasional dalam melakukan evaluasi pendidikan karakter peserta didik secara tepat, efisien dan efektif, Yang kedua, pendidikan di Indonesia terlalu ditekankan pada aspek intelektual sebagai ukuran keberhasilan, sehingga pembentukan karakter yang baik terabaikan,
ADVERTISEMENT
Yang ketiga, tidak adanya penerapan pendidikan karakter secara menyeluruh, melainkan sekedar memenuhi kewajiban mengajar, tanpa mengetahui bagaimana seharusnya, Problem keempat adalah tidak adanya model yang dapat menjadi teladan, Sedangkan yang kelima, derasnya informasi yang diterima anak tanpa penyaring.
Negara ini punya Pancasila yang mengandung nilai kodrati kemanusiaan dan sesuai dengan prinsip-prinsip moral umum. Pancasila tentu dapat menjadi jawaban sebagai pedoman perilaku kewargaan bagi setiap manusia Indonesia.
Selanjutnya, pendidik dapat melakukan teknik evaluasi yang sesuai untuk mengukur domain efektif dan psikomotor, seperti angket, inventori, portofolio, dan observasi.
Pendidik juga diharapkan dapat mulai meninggalkan studi-studi kepahlawanan sebagai media untuk menyampaikan pesan-pesan moral. Sebab moral ditangkap, bukan diajarkan. Seluruh personalia yang ada di lingkungan akademik, mulai dari pengajar, biro administrasi akademik, sampai cleaning service di sekolah haruslah menjadi contoh keteladanan bagi para peserta didik.
ADVERTISEMENT
Lebih lanjut, uapya pendidikan karakter di Indonesia haruslah diintegrasikan ke seluruh mata pelajaran, bukan menyediakan mata pelajaran khusus untuk menanamkan moral ke peserta didik.
Jika hal-hal tersebut telah dipenuhi, niscaya peserta didik dapat memilah-milah sendiri informasi apa yang ia butuhkan dan tidak ia butuhkan, sehingga derasnya arus disrupsi dan dalamnya penetrasi arus globalisasi dapat dilawan oleh manusia Indonesia.
Sayangnya, Nawa Cita Jokowi tidak dijalankan dengan begitu serius. Padahal wacana yang dihadirkan sangat sesuai dengan cita-cita untuk membangun manusia Pancasila dengan kecerdasan kewargaan.
Andai Pak Jokowi benar-benar berkomitmen dalam hal pembangunan kualitas manusia Indonesia, maka tawaran di atas tidak ada apa apanya dibandingkan apa yang dapat ditawarkan oleh staff khusus Presiden dan jajaran menterinya.
ADVERTISEMENT