Konten dari Pengguna

Tantangan Mempertahankan Asas Pemilu Luber Jurdil di Tengah Disrupsi Digital

Afif Fauzi
Saya Sekretaris DPC PA GMNI Kota Bekasi, lahir 7 Agustus 1982 memiliki hobi membaca buku, berdiskusi dan juga berolahraga terutama olahraga sepeda dan jogging. Dalam hidup harus mengalir, selalu bersyukur atas nikmat nya
10 Juni 2023 16:01 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Afif Fauzi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi perhitungan suara pemilu. Foto: AFP/Bas Ismoyo
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi perhitungan suara pemilu. Foto: AFP/Bas Ismoyo
ADVERTISEMENT
Sesuai dengan amanah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu), negeri kita berlandaskan pada asas Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jujur, Adil (Luber Jurdil). Tujuannya antara lain demi memperkuat sistem ketatanegaraan yang demokratis hingga mewujudkan pemilu yang adil dan berintegritas serta pemilu yang efektif dan efisien.
ADVERTISEMENT
Di tengah proses perkembangan Indonesia sebagai demokrasi, kemajuan informasi yang semakin pesat juga sedang terjadi. Dinamika internet untuk terhubung dan mengirimkan informasi membuat perubahan yang cepat untuk komunikasi secara global. Termasuk mempengaruhi proses Pemilu.
Disrupsi digital melalui kehadiran internet merupakan bagian dari proses perubahan budaya. Perubahan komunikasi akibat disrupsi digital ini juga terjadi dalam proses politik, di mana masyarakat kerap menggunakan media baru untuk mengorganisir aksi kampanye, membantu pemilu secara terbuka, dan memberikan ruang lebih besar bagi kebebasan berpendapat hingga berekspresi di dunia maya.
Media sosial seperti Facebook, Twitter, Instagram, Blog, YouTube, WhatsApp dan lainnya menjadi fakta disrupsi, menggantikan media arus utama yang biasa digunakan dalam kampanye politik. Meskipun dunia digital, serta media sosial telah beralih menjadi ruang publik terbesar, pemerintah (negara) harus mampu menjamin dan memastikan bahwa setiap orang aman dalam beraktivitas, serta berhak atas informasi konten politik kredibel.
ADVERTISEMENT
Maka, menjadi pertanyaan besar bagi kita, masyarakat, pemerintah, mampukah kita tetap menjaga, menerapkan dan mempertanggungjawabkan Asas Luber Jurdil dalam Pemilu 2024 di tengah masifnya arus informasi pada era digital saat ini?

Peran Media Arus Utama

Disinformasi pemilu menimbulkan ancaman bagi demokrasi. Tentu saja mereka yang bertanggung jawab menyebarkan "berita palsu" online harus dimintai pertanggungjawaban dan dibawa ke pengadilan. Berkaca pada Pemerintah Prancis saat pemilu tahun lalu, mereka membentuk badan khusus untuk memerangi disinformasi. Ditambah lagi dengan diberdayakannya pemeriksa fakta independen untuk meningkatkan upaya mereka mewujudkan nilai-nilai demokrasi dalam pemilu.
Berita palsu dan serangan siber memainkan peran besar dalam menentukan jalannya peristiwa. Dalam beberapa arus pemberitaan, dapat kita lihat bahwa tidak sedikit media arus utama, terpengaruh atau terjebak dalam framing oleh berita-berita bias, sensasional bahkan hoax. Akurasi seolah bukan menjadi prioritas di tengah kencangnya arus informasi.
ADVERTISEMENT
Pada prinsipnya, media tidak boleh bias. Harus cover both side dalam menyajikan data dan fakta. Tak jarang sudut pandang pemberitaan media terjebak dalam pesan-pesan kampanye politik. Wajib diingat bahwa kampanye politik adalah kampanye pemasaran, maka pesan yang ditujukan, termasuk kepada media massa adalah untuk menjual produk. Layaknya marketing, kita tidak bisa menampik bahwa sering sekali politisi terobsesi dengan “konten pesan yang menjual (sukur-sukur bisa viral). Di sinilah peran dan fungsi media arus utama dihadapkan pada peran dan fungsi media sosial.
Jelas bisa dikatakan bahwa media tradisional bukan lagi satu-satunya cara untuk menyebarkan berita. Setiap kandidat politik dalam pemilu dapat berkomunikasi secara langsung dan instan dengan jutaan orang. Perusahaan media sedang mengalami bentuk persaingan ekstrem dengan teknologi digital: Setiap orang adalah perusahaan media saat ini. Kedua, dan yang lebih penting lagi, media sosial berbeda dari media tradisional karena menghubungkan pengguna satu sama lain. Artinya, pesan dapat menyebar jauh lebih mudah dan cepat (bandingkan seberapa sering Anda membagikan iklan TV dan tweet).
ADVERTISEMENT
Kembali muncul pertanyaan yang bisa menjadi cermin bagi kita bersama, di tengah situasi disrupsi digital ini, apakah media mainstream masih dapat mengedepankan informasi sebagai alat yang independen atau netral pada saat pemilu berlangsung sesuai asas Luber Jurdil? Jangan lupa bahwa fungsi utama media massa adalah sebagai kontrol sosial atau penengah dalam kehidupan sosial politik yang ada. Peran media sebagai lembaga keempat di samping legislatif, eksekutif dan yudikatif, diharapkan menjadi corong masyarakat terhadap dinamika sosial politik.

Pemblokiran Konten Online

Ilustrasi Pemilu. Foto: Shutterstock
Di banyak yurisdiksi, pihak berwenang telah menanggapi munculnya disinformasi dengan memperkenalkan mekanisme yang memungkinkan pihak berwenang menghapus konten berbahaya. Dalam beberapa kasus, kekuasaan ini dapat dijalankan secara sepihak oleh pemerintah, di tempat lain memerlukan perintah pengadilan. Contoh dari mekanisme ini dapat ditemukan di Prancis dan Jerman.
ADVERTISEMENT
Pemerintah Indonesia sudah memiliki kewenangan serupa yang berasal dari 3 sumber: UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), Permenkominfo Nomor 5 Tahun 2020, dan UU 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (segera diganti dengan yang lebih kuat ketentuan dalam KUHP yang disahkan pada tanggal 6 Desember).
Pemerintah dapat memblokir akses ke konten online yang dianggap negatif, dan bahkan menuntut individu atas pelanggaran seperti pencemaran nama baik atau pemerasan. Kekuatan ini telah digunakan dengan dalih menekan disinformasi dan akan diandalkan oleh otoritas menjelang Pemilu 2024.
Sekilas, mekanisme penghapusan konten ini menarik. Mereka adalah tanggapan langsung, nyata, dan langsung terhadap disinformasi politik. Namun, mekanisme ini juga berbahaya. Organisasi masyarakat sipil di seluruh dunia telah memperingatkan bahwa tindakan seperti ini dimanipulasi oleh para pemimpin politik untuk menyensor aktivis dan kritikus. Pada awal 2017, Deklarasi Bersama PBB tentang Kebebasan Berekspresi dan “Berita Palsu”, Disinformasi dan Propaganda memperingatkan bahwa 'larangan disinformasi dapat melanggar standar hak asasi manusia internasional' dengan menghambat kebebasan berbicara. Tak bisa kita pungkiri, belakangan sering terjadi dugaan penyalahgunaan kekuasaan ini di Indonesia.
ADVERTISEMENT

Konten Informasi yang Akuntabel dan Demokratis

Untuk mewujudkan konten informasi yang akuntabel dan demokratis dengan tetap mengedepankan asa Luber Jurdil dalam pemilu, maka dibutuhkan skema multi-stakeholder penting diterapkan untuk lebih memastikan proses moderasi konten oleh platform media sosial. Langkah ini mendorong efektivitas pelaporan disinformasi dan misinformasi melalui saluran pelaporan satu atap, memperkuat Bawaslu dan KPU dalam merespons disinformasi dengan cepat , memungkinkan koordinasi antar platform untuk mengurangi penyebaran disinformasi lintas platform, hingga memastikan bahwa informasi pemilu dan hasil sanggahan disebarluaskan kepada publik.
Yang tak kalah penting adalah penguatan penyelenggara pemilu, media, dan masyarakat sipil, secara bersama-sama, bersatu-padu di tingkat lokal untuk memantau disinformasi, melaporkan disinformasi, dan cepat tanggap sejak dalam tingkatan pilkada.(*)
ADVERTISEMENT