Menormalkan Bullying di Balik Ungkapan 'Biasa Masih Remaja' atau di Bawah Umur

Uswatun Hasanah LuQman
Dosen Spesialis Keperawatan Jiwa Universitas Muhammadiyah Surabaya, Psychiatric Nurse, Konsultan Kejiwaan.
Konten dari Pengguna
21 Juni 2022 16:24 WIB
ยท
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Uswatun Hasanah LuQman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi bullying. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi bullying. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
1. Fenomena Bullying Bullying masih menjadi permasalahan yang banyak dialami oleh remaja sampai saat ini. Bullying mengacu pada ucapan maupun perilaku agresif yang tidak diinginkan, dilakukan dengan sengaja dan berulang untuk mengintimidasi seseorang sehingga merasa terancam, atau tidak berdaya, umumnya terjadi antara anak-anak usia sekolah yang melibatkan ketidakseimbangan kekuatan yang nyata atau yang dirasakan. Beberapa kejadian viral yang menunjukkan tindakan kekerasan dilakukan oleh remaja terhadap remaja lainnya ramai tersebar di media sosial, mulai dari kekerasan verbal, fisik, sosial yang berujung pada kematian korban. Peristiwa yang masih hangat menjadi perbincangan belakangan ini adalah kematian seorang siswa MTs di Kotamobagu, Manado yang diduga tewas karena di Bully oleh 9 orang temannya saat hendak melakukan salat zuhur.
ADVERTISEMENT
Peristiwa yang menewaskan BT tersebut menambah deretan pajang kasus bullying di Indonesia. Data hasil riset Programme for International Students Assessment (PISA) tahun 2018 menunjukkan bahwa sebanyak 14,1% anak melaporkan pernah menjadi korban bullying. Angka tersebut berdasarkan Organisation for Economic Co-operation dan Development (OECD) tahun 2019 menunjukkan Indonesia berada diurutan ke lima tertinggi sebagai negara dengan murid yang mengalami bullying. Tentu saja ini bukan merupakan prestasi yang harus kita berikan tepuk tangan yang meriah, sebaliknya ini menjadi PR bersama untuk menemukan strategi yang tepat untuk menyelesaikannnya.
2. Menormalkan perilaku Bullying Proses penanganan kasus bullying di Indonesia menjadi sulit untuk diselesaikan bukan tanpa sebab. Tindakan menormalkan perilaku bullying baik di lingkungan masyarakat maupun sekolah umum kita jumpai dan sering muncul dalam ungkapan "biasa, namanya juga remaja" atau "namanya juga anak-anak, paling itu cuma guyonan". Mewajarkan perilaku kekerasan dibalik usia anak sama sekali tidak dapat dibenarkan. Jika kita amati korban dan pelaku bully yang banyak dilakukan oleh individu dengan rentang usia 12-17 tahun, di mana pada usia sekian mereka sedang berada dalam masa transisi dari masa kanak-kanak ke dewasa. Ciri khas perkembangan remaja adalah rasa ingin tahu yang tinggi dengan mencoba hal baru, cenderung menyukai tantangan dengan tujuan menunjukkan eksistensinya di lingkungan masyarakat.
ADVERTISEMENT
ungkapan serupa tidak boleh diabaikan dan dibiarkan terus muncul, karena akan memberikan dampak buruk baik bagi pelaku maupun bagi korban. Pelaku akan merasa mendapatkan ruang untuk bebas melakukan tindakan bullying dan korban merasa tidak mendapatkan dukungan, makin terpuruk dan menolak untuk mengungkapkan peristiwa bullying yang dialaminya.
image source ; www.shutterstock.com
3. Konsekuensi tetap harus diberikan meski masih di bawah umur Selain ungkapan di atas yang cenderung menganggap perilaku bullying adalah hal biasa, kendala lain yang umum ditemui di masyarakat adalah tidak adanya konsekuensi tegas karena terkendala pelaku masih di bawah umur. Alasan tersebut rasional jika mengacu pada aturan hukum yang berlaku, namun hal tersebut juga bukan berarti tindakan bullying yang dilakukan dapat dibenarkan dan tidak mendapatkan tindakan tegas. Konsekuensi dari penegak hukum dapat diberikan sesuai dengan usianya tentu saja berdasarkan hukum yang berlaku, konsekuensi tegas juga perlu dilakukan oleh Lembaga Pendidikan dan tidak terkecuali juga dari orang tua. Meski narasi pelaku masih di bawah umur selalu menjadi alasan tidak dilakukan tindakan tegas, dalam teori perkembangan psikososial anak usia 12-17 pada aspek kognitif sudah mampu memikirkan dan menilai sebab akibat dan pada aspek moral anak sudah mengerti nilai moral dan etika dalam kehidupan bermasyarakat. Oleh sebab itu seharusnya anak sudah dapat diarahkan dan dilatih untuk tidak melakukan tindakan bullying karena termasuk melanggar nilai moral dan juga memiliki konsekuensi tertentu.
ADVERTISEMENT
Sudah selayaknya tidak ada lagi menormalkan segala bentuk tindakan bullying apalagi sampai menghilangkan nyawa orang lain. Hal tersebut dapat dimulai dari diri sendiri, lingkungan keluarga dan masyarakat luas nantinya.