Budaya Toxic Bukti Korban Pelecehan Seksual Enggan Melapor

Uswah SahaL
Student of Literary and Cultural Studies Universitas Airlangga
Konten dari Pengguna
24 Desember 2021 13:59 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Uswah SahaL tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi pelecehan seksual. Foto: Maulana Saputra/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pelecehan seksual. Foto: Maulana Saputra/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Tingginya kasus kekerasan seksual yang terjadi hingga hari ini ibarat gunung es yang menjadi bola salju. Satu per satu kasusnya mulai terbuka. Merujuk pada catatan PPPA pada tahun 2020 kekerasan seksual pada anak mencapai 7.191 kasus hingga 3 Juni 2021 tercatat 1.902 kasus kekerasan seksual terhadap anak.
ADVERTISEMENT
Terlebih kasus yang saat ini masih menjadi isu hangat terkait 12 santriwati yang diperkosa pemilik pesantren hingga melahirkan bayi, Ibu di Sumatera Utara diperkosa satpam karena ketahuan mencuri brondolan sawit, pencabulan perawat oleh driver Gocar, gadis 15 tahun disekap dan diperkosa 14 pria, kasus lurah cabul Pekayon Jaya, hingga kekerasan seksual pada anak di Luwu Timur karena ayahnya yang menjadi pelaku.
Ilustrasi gambar- Freepik
Usut punya usut setelah diselidiki ternyata beberapa kasus sudah lama terjadi namun banyak perempuan enggan melaporkan pelecehan dan penyerangan yang dialaminya secara langsung. Hingga timbullah pertanyaan mengapa korban pelecehan seksual lambat melapor?
Budaya toxic menjadi alasan penting mengapa korban enggan melapor. Sulitnya kita hidup di tengah masyarakat dan lembaga hukum yang masih menyepelekan pentingnya sebuah consent jika ingin bersentuhan baik dalam hubungan keluarga, pertemanan, murid, guru, atasan, bawahan bahkan pasangan sekalipun.
ADVERTISEMENT
Kita bisa melihat bagaimana negara kita melihat dan mengatasi masalah pelecehan seksual, tidak jarang yang disalahkan justru adalah korban. Entah si korban dibilang pakaiannya yang tidak sopan sehingga mengundang nafsu, mengatakan korban yang kecentilan atau diam-diam menggoda, tidak mempercayai korban karena pelaku seorang agama yang sholeh hingga menuduh korban menikmati dan enggan melawan. Banyak kasus sexual harassment di ruang publik yang tidak dilaporkan karena pelecehan seksual yang terjadi di ruang publik dianggap hal yang biasa di masyarakat
Akhirnya banyak korban memilih diam atau mengabaikan, selain korban malu, kadang juga keluarga menganggap itu sebagai aib dan mengambil jalan keluar dengan cara menikahkan korban dengan pelaku. Akibatnya pelecehan seksual semakin sulit diungkap dan ditangani karena acapkali dikaitkan dengan moralitas masyarakat dengan simpulan bahwa perempuan adalah lambang kesucian dan kehormatan untuk keluarganya dan dipandang sebagai aib jika mengalami pelecehan seksual.
ADVERTISEMENT
Budaya toxic dan stigma yang diberikan masyarakat akhirnya semakin membuat korban yakin bahwa diam adalah jalan terbaik. Karena selain tidak dipercaya korban juga akan dihakimi. Budaya toxic yang seperti ini sangat berbahaya jika tumbuh dan mengakar di masyarakat. Korban yang seharusnya dilindungi dan diberikan dampingan justru dianggap menjadi pelaku di masyarakat.
Selain mental psikis korban terganggu menikahkan korban dengan pelaku adalah senjata yang membunuh korban. Hanya demi menjaga sebuah moralitas di sebuah keluarga, korban harus hidup dengan predator yang menghancurkan dirinya dan hidupnya, tidak sedikit kasus seperti ini menyebabkan korban memilih bunuh diri.
Sebagai masyarakat yang baik kita bisa melakukan aksi positif mulai dari tidak menghakimi korban secara sepihak, membantu mengawal korban kasusnya mendapatkan keadilan. Dengan bersikap peduli dan merangkul korban, hal tersebut akan menumbuhkan keberanian korban untuk berbicara terkait kasus pelecehan seksual yang dialami.
ADVERTISEMENT