Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Film Budi Pekerti: Cancel Culture dan Penghakiman di Media Sosial
5 Desember 2023 9:42 WIB
Tulisan dari Uswah SahaL tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Film Budi Pekerti besutan karya Wregas Bhanuteja memang layak ditonton siapa saja, di tengah arus kecepatan media sosial saat ini. Film yang berhasil memenangkan Piala Citra dan masuk dalam 17 nominasi Festival Film Indonesia tersebut pertama kali diputar di Toronto Film Festival dan masuk official selection SXSW Sydney 2023 Screen Festival.
ADVERTISEMENT
Film Budi Pekerti menceritakan Bu Prani (Ine Febriyanti) seorang guru Bimbingan Konseling (BK) yang video perselisihannya dengan pengunjung saat membeli putu di pasar menjadi viral di media sosial. Bu Prani tidak pernah menyangka bahwa aksinya di pasar menegur seorang laki-laki yang menyerobot antrian saat hendak membeli kue putu legendaris Mbok Rahayu akan mengubah hidupnya. Ucapannya yang menyebut “Ah, suwi!” atau kelamaan dalam bahasa Jawa dipotong dan diplesetkan jadi “Asuui” (anjing) viral di media sosial. Akibat dari hal tersebut, Bu Prani dianggap tidak mencerminkan pribadi seorang guru yang jauh dari moralitas. Ia dan keluarganya Muklas (Angga Yunanda), Tita (Prilly Latuconsina) dan Pak Didit (Dwi Sasono) mendapat perundungan, penghakiman dan terus dicari-cari kesalahannya hingga terancam kehilangan pekerjaan.
ADVERTISEMENT
Parahnya lagi, Bu Prani mendaptkan pelabelan negatif, bahkan kata-kata yang viral tersebut diubah menjadi musik koplo oleh sejumlah content creator. Keviralannnya tersebut juga mempengaruhi kehidupan keluarga dan pekerjaannya. Sampai pihak sekolah pun harus menunda proses pemilihan wakil kepala sekolah yang sedang diikutinya. Dari film ini, Wregas ingin menyampaikan kepada masyarakat dari konsekuensi besar dari viralitas dan jari-jari warganet yang gampang menghakimi di media sosial adalah plot utama yang coba ditawarkan Wregas lewat film Budi Pekerti. Wregas seolah mengajak penonton untuk berefleksi soal bagaimana manusia sangat mudah menghakimi orang yang tidak dikenal di media sosial, tanpa tahu dampak yang ditimbulkan pada orang tersebut.
Saat seseorang menghakimi orang lain di media sosial, ia kerap lupa bahwa ada kehidupan manusia di balik akun-akun media sosial yang tanpa pikir panjang dicemoohnya. Hal tersebut digambarkan saat Bu Prani Prani mengambil jeda dari masalahnya dan memasang earplug di dekat mainan anak-anak yang berisik, hal tersebut cukup menggambarkan kefrustrasian tentang keributan di media sosial.
ADVERTISEMENT
Dialog-dialog Bu Prani dengan Muklas anaknya juga menyentil pertalian media sosial di era post truth, di mana kebenaran dan fakta sering kali ditentukan oleh siapa yang paling sering berbicara di media sosial. Ketika permasalahan sudah jadi konsumsi media sosial, siapa yang salah dan benar tak lagi penting. Muklas menyebut, sejak viralnya kasus ibunya hidup keluarganya sudah hancur, tapi bagi netizen ini cuma masalah satu notifikasi.
Semuanya menjadi semakin rumit ketika para content creator dan media-media clicbait mulai menghalalkan segala cara untuk riding the wave. Gambaran Mukhlas sebagai seorang influencer yang ingin membersihkan namanya karena kasus ibunya juga menjadi bukti kapitalisme influencer yang fokus pada adsense dan endorse.
Industri digital menunjukkan bagaimana attention economy dan media sosial adalah peluang dan keuntungan baru, media mengandalkan bisnis clickbait agar bisa menarik pembaca sebanyak-banyaknya dengan judul-judul yang terkadang seksis , sensitif dan menggiring opini public. Padahal jika dilihat dampaknya pemberitaan macam ini memiliki damak serius bagi kelompok marginal seperti Bu Prani dan perempuan-perempuan yang lain. Nasib Bu Prani hancur seketika setelah 20 detik videonya viral, padahal ia telah berdedikasi di sekolah selama 20 tahun.
ADVERTISEMENT
Cancel Culture dan Penghakiman di Media
Psikolog yang juga sekaligus tenaga pendidik di Universitas Gadjah Mada (UGM), Koentjoro mengatakan cancel culture sama dengan boikot. Publik figur atau orang yang memiliki pengaruh bisa tiba-tiba di-cancel atau ditolak karena dianggap tak lagi sejalan dengan keinginan masyarakat. Cancel culture biasanya digaungkan melalui media sosial, twitter atau dengan mengajukan petisi.
Melansir dari The Private Theraphy Clinic, cancel culture merupakan evolusi dari istilah boikot yang telah dikenal masyarakat sejak lama. Budaya cancel culture ini disebut muncul pertama kali pada 2017 lalu saat kasus pelecehan seksual Harvei Weinstein terungkap.
Mulanya cancel culture keluar ketika banyak pelaku pelecehan seksual dari kalangan publik figur diketahui masyarakat. Mereka yang terlibat skandal ini ramai-ramai ditolak masyarakat. Mereka dilarang untuk tampil lagi di hadapan publik, bahkan karya-karya lama mereka pun ditolak masyarakat.
ADVERTISEMENT
Cancel culture umumnya dilakukan untuk menghilangkan pengaruh seseorang karena perilaku, karya atau perkataannya yang dianggap tak sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat. Biasanya cancel culture diberikan kepada publik figur yang terlibat skandal, memiliki lirik lagu yang dianggap tak sesuai dengan budaya, dianggap menyakiti negaranya sendiri, mengeluarkan pernyataan kontroversial atau sekadar tak disukai masyarakat. Sementara dalam kasus film ini, Bu Prani sebagai guru dianggap mengeluarkan pernyataan kontroversial yang keluar dari pakem guru yang mengucapkan kata-kata yang tidak pantas seperti pisuhan dan perkataan kasar lainnya.
Efek dari cancel culture ini dapat beragam. Misalnya, publik tak terima tokoh tersebut ada di televisi, pembatalan iklan, hingga pembatalan kontrak kerja.Budaya cancel culture ini dapat berkembang menjadi perilaku main hakim sendiri yang dilakukan orang dengan cara berkelompok di media sosial. Bullying di media sosial ini dapat merusak mental seseorang.
ADVERTISEMENT
Koentjoro mengatakan orang yang di-cancel dapat merasa diri tidak berguna, down, bahkan paling fatal bisa bunuh diri.
Dalam studi Saint-Louis (2021) “Understanding Cancel Culture: Normative and Unequal Sanctioning” mengatakan bahwa cancel culture telah menjadi fenomena menarik di era virtual. Warganet akan menandai dan mengucilkan individu yang melanggar norma di media sosial.
Contoh lain misalnya, drummer band pop punk Superman is Dead, Jerinx, yang secara tegas menolak Covid-19 sebagai pandemi yang nyata dan merupakan konspirasi elit politik semata. Meski kemudian dirinya berujung pada kasus hukum akibat pencemaran nama baik. Serbuan komentar warganet ramai memboikot public figure ini dengan alasan yang tentu saja berseberangan dengan apa yang publik asumsikan, meski pembelaan diri telah dilakukan sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Lebih lanjut, meski jumlah kasus-kasus yang menimpa selebritas ataupun influencer lainnya tidak sedikit, budaya cancelling cukup menjadi bukti kuat bahwa siapa saja dapat menjadi target. Cancel culture menghadirkan dinamika perdebatan seperti dua sisi mata koin. Kasus yang menimpa Bu Prani dan keluarganya dapat dilihat dalam kacamata budaya pengenyahan sebagai fenomena di mana dapat mendorong banyak orang untuk mempromosikan pemboikotan terhadap orang, perusahaan, dan sistem yang berbeda karena ketidakselarasan dengan nilai-nilai sosial. Cancelling people dapat disalahgunakan dengan kuat, tetapi juga mampu menyoroti ketidakadilan yang telah dipendam sebegitu lama.
Dari berbagai studi yang telah dilakukan sebelumnya, budaya pengenyahan telah dilihat dari dua sisi yang berbeda. Sisi pertama, dari sisi positif yang disebut sebagai pengungkapan suara-suara yang minor. Melalui platform sosial media seperti Twitter,Instagram, facebook gerakan tagar-tagar terbukti berhasil memobilisi gerakan aktivisme digital.
ADVERTISEMENT
Namun di sisi yang lain, budaya pengenyahan lebih membahayakan. Perang budaya adalah tentang kontrol naratif, siapa pun yang dapat membentuk atau memengaruhi wacana saat ini memiliki kemampuan untuk mengarahkan opini publik secara masif. Selain tidak hanya berdampak pada rusaknya citra seseorang, lebih dari itu, budaya pengenyahan seolah-olah membungkam suara-suara para target cancelled di ruang publik yang seharusnya menjadi hak setiap individu.
Setelah melihat dari kedua sisi, kita dapat melihat bahwa budaya pengenyahan tetap akan menjadi ekosistem dalam budaya siber dan tetap akan menjadi pisau bermata dua dalam kaitannya dengan kebebasan bersuara di ranah virtual.
Menurut saya, pada akhir film, seakan sengaja tidak menggunakan banyak dialog, hanya digambarkan dengan aktivitas yang dilakukan oleh para pemain. Hal tersebut justru menjadi klimaks dari film dan merupakan solusi dari segala permasalahan yang dihadapi Ibu Prani dan keluarganya.
ADVERTISEMENT
Meski sudah tidak tayang di bioskop, saya berharap film ini akan terus bisa menjadi sebuah tontonan yang menarik bagi penyuka film dengan genre yang ringan namun tetap memiliki bobot cerita yang menarik dan tidak membosankan. Selain itu, film Budi Pekerti yang sarat akan pesan yang dekat dengan masyarakat Indonesia sekaligus menjadi ilmu baru bagi para penonton nya. Dengan dialog dan narasi penuh makna, penceritaan yang solid, personal dan relate di era sekarang.