Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Film Kereta Berdarah; Dominasi Hantu Perempuan dan Protes Alam Atas Pembangunan
4 Februari 2024 14:51 WIB
Tulisan dari Uswah SahaL tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Tulisan ini bermula ketika kawan saya mengajak menonton film horor yang sedang tayang di bioskop dengan judul “Kereta Berdarah”, dibanding dengan genre lain sebenarnya saya lebih tertarik dengan genre roman atau action, namun kali ini saya mengiyakan menonton film horor tersebut dengan durasi 1 jam 43 menit. Film besutan Rizal Mantovani dengan skenario Erwanto Alphadullah tersebut rupanya tidak hanya sekadar film horor biasa, film ini ingin menyampaikan pesan lingkungan melalui kisah penumpang kereta api yang dihantui oleh sosok ratu dendam.
Erwanto Al Alphadullah dalam konferensi pers dengan inilah.com menyebut bahwa opening film yang menggambarkan kerusakan lingkungan merupakan refleksi dari realitas eksploitasi lahan di Indonesia. Erwanto juga menyebut bahwa film ini menjadi simbol kemarahan terhadap sikap pemerintah dan masyarakat yang acuh terhadap lingkungan. Kereta berdarah mencoba menggabungkan elemen horor dan thriller dengan isu sosial, khususnya perubahan iklim dan eksploitasi alam yang menjadi latar belakang kemarahan ratu hantu sebagai penjaga hutan.
ADVERTISEMENT
Singkat cerita, (Kiki Narendra) Bapak Bara yang berperan sebagai Bupati mengatur semua sistem transportasi kereta di kotanya. Ia membuat kereta wisata yang diberi nama Sangkara dengan tujuan setiap penumpang akan menuju Sangkara Resort sebagai destinasi. Visinya untuk menggaet investor lebih banyak guna pengembangan proyek infrastruktur transportasi darat, dengan mengorbankan kawasan hutan dengan beragam jenis pohon penjaga mata air sepanjang tahun. Dalam film tersebut diceritakan, bahwa masyarakat setempat percaya bahwa tanah kawasan hutan adalah kawasan terlarang yang sakral dan tidak boleh diolah fungsikan menjadi tempat lain karena sebagai ritual desa dan tempat lelembut atau makhlus halus bersemayam yang menjaga hutan ratusan tahun. Warga sekitar meyakini bahwa hutan tersebut adalah rumah bagi spirit atau entitas gaib yang justru merekalah yang bertugas menjaga keseimbangan kosmis atau ekuilibrium di kawasan tersebut.
Karena tak kuat melawan penguasa, masyarakat pun kalah. Pembuatan rel atau jalur kereta api akhirnya dibuat dan mengundang banyak investor. Peristiwa ganjil pun mulai terjadi mulai para pekerja yang diganggu dan hilang. Teror demi teror pun mulai bermunculan, sampai kejadiaan naas untuk pertama kali kereta ini beroperasi. Meski terdengar ganjil dan tidak masuk akal, kejadian-kejadian supranatural seperti di film Kereta Berdarah sesungguhnya mewakili kepercayaan yang umum diyakini oleh masyarakat tradisional di Jawa atau daerah-daerah lain.
ADVERTISEMENT
Jika di Bali kita tidak asing dengan “Sekala Niskala” yang meyakini bahwa realitas manusia dibangun dari keterhubungan kompleks antara dunia yang kasat mata dan tidak kasat mata, yang tergapai dan terimajinasikan serta yang dicerna lewat rasio dan olah rasa. Maka bukan hal yang aneh, ketika kita sering mendengar ucapan nenek moyang kita “Setiap alam dirusak, pasti penjaga hutan (lelembut) tidak terima.”
Hal tersebut sejalan dengan yang diungkapkan Saras Dewi, penulis dan aktivis ekofeminisme, ia menyebut bahwa hal-hal di luar nalar yang terjadi dalam relasi manusia dan alam adalah bentuk komunikasi. Apa yang sering dianggap tahayyul atau hal-hal gaib bisa jadi itu adalah cara kita sebagai manusia untuk saling merespon dengan alam. Oh ini tandanya alamnya sakit, alamnya takut.
ADVERTISEMENT
Amitav Ghosh dalam bukunya Nutmeg’s Curse: Parable for Planet in Crisis juga menjelaskan bagaimana era sebelum kolonialisme menjangkiti dunia, masyarakat dan makhluk lain di alam saling aktif bekerja sama membentuk rutinitas yang harmonis.
Bukan sebuah kebetulan, pada tahun 1599 ketika Gunung Api Banda Meletus bersamaan dengan masuknya kapal Belanda pencari pala pertama. Sesepuh di Banda Tahu, gunung api sedang memberi peringatan tentang hal buruk yang akan datang pada wilayah mereka, dan benar kedatangan kapal itu berujung pada sejarah panjang kolonialisme di Indonesia dan dunia. Pada dasarnya modernitas lah yang membawa cara pandang baru bahwa alam adalah objek pasif dan mati, serta menempatkan manusia sebagai pusat (andosentrisme) makhluk yang paling beradab yang terpisah dengan alam. Cara pandang inilah yang kemudian menjustivikasi segala bentuk eksploitasi alam hingga hari ini.
ADVERTISEMENT
Kisah tentang tumbuhan-tumbuhan hidup rupanya tak sekadar mistis belaka. Dalam bukunya Peter Tompkins dan Cristopher Bird yang berjudul “The Secret Life of Plants” mengkalim bahwa tumbuhan adalah makhluk sadar yang memiliki jiwa, emosi, preferensi musikal bahkan kepribadian. Tumbuan memang tidak memiliki indra khusus, tapi beberapa penelitian membuktikan bahwa merespon lingkungan sekitar dengan seluruh bagian tubuh dan cara yang lebih holistik. Tumbuhan bisa merasakan sakit, memahami intensi makhluk di sekitarnya, mampu mengikuti pergerakan benda luar angkasa, juga memprediksi gempa. Dalam buku tersebut juga mengkritik dikotomi penyebutan benda mati dan benda hidup yang selama ini dipakai di sistem pengetahuan modern. Artinya tak ada yang benar-benar mati di alam ini.
Dari film ini kita manusia belajar bahwa pembangunan mengakibatkan penghilangan pohon, situs atau sesuatu yang disakralkan akan memiliki dampak yang besar. Perusakan alam sesungguhnya menimbulkan efek domino bagi terganggunya rutinitas semua makhluk yang tinggal didalamnya.
ADVERTISEMENT
Dominasi Hantu Perempuan di Film Kereta Berdarah
Selain narasi dan sinematografi yang bagus, saya juga ingin mengulas soal dominasi hantu perempuan di film ini, bahkan hantu perempuan di film ini menjadi tokoh sentral penjaga hutan yang dianggap paling marah karena kerusakan lingkungan. Dalam kajian ekofeminisme alam dan perempuan memiliki kesamaan sebagai sumber penghidupan karena kemampuannya dalam mereproduksi kehidupan, namun kesamaan simbolik ini juga menyamakan perempuan dan alam sebagai kaum yang ditindas oleh manusia berciri maskulin. Alam memang kerap kali dikaitkan dengan sosok perempuan baik secara konseptual, simbolik dan linguistik. Contohnya adalah istilah Ibu Bumi atau Ibu Pertiwi yang menggambarkan sifat feminine yaitu menyayangi, merawat dan menghidupi. Begitupun penggambaran hantu perempuan di film seolah menjustifikasi hal tersebut.
Tak bisa dipungkiri, bahwa film horor di Indonesia masih menempatkan perempuan menjadi unsur dominan sebagai hantu, bahkan citra perempuan dalam film horor kerapkali ditempatkan sebagai sosok yang negatif. Hal ini tentu menunjukkan bahwa ada ketimpangan representasi hantu perempuan dan laki-laki dalam sejarah film horor Indonesia yang disebabkan oleh kentalnya budaya patriarki.
ADVERTISEMENT
Kerapkali sosok perempuan dalam film horor muncul sebagai hantu untuk membalas dendam atas ketidakadilan yang mereka alami. Film horor hampir selalu menampilkan paradoks atas sosok perempuan. Di satu sisi mereka dikonstruksi sebagai korban, sedangkan di sisi lain mereka punya sifat layaknya monster. Perempuan dalam film awalnya ditampilkan sebagai korban, lalu kemudian berubah menjadi hantu dengan tampilan monster. Dengan begitu perempuan direpresentasikan memiliki kekuatan untuk balas dendam walaupun telah meninggal, hal ini juga dapat disimpulkan perempuan tidak dapat dominasi laki-laki sehingga baru bisa melawan dalam keadaan mati. Seolah ada kesan empowerment, akan tetapi jika direproduksi terus menerus akan mengerdilkan posisi perempuan ketika dia hidup.