Memahami Toxic Masculinity di Film Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas

Uswah SahaL
Student of Literary and Cultural Studies Universitas Airlangga
Konten dari Pengguna
5 Desember 2021 8:45 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Uswah SahaL tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber foto:Imdb.com/ Ilustrasi Poster Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas
zoom-in-whitePerbesar
Sumber foto:Imdb.com/ Ilustrasi Poster Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas
ADVERTISEMENT
Jika kalian penggemar dan pembaca novel-novel Eka Kurniawan, berarti kalian tidak boleh melewatkan film Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas. Film yang disutradarai Edwin sudah tayang di bioskop sejak Kamis 2 Desember lalu. Wajar jika film ini menjadi banyak perbincangan warganet, pasalnya film ini menyuguhkan sesuatu yang berbeda dibandingkan film lain.
ADVERTISEMENT
Film berlatar 1980 hingga 1990-an ini berani menghadirkan isu-isu sensitif sekaligus yang dianggap tabu. Mulai dari maskulinitas yang toxic hingga kekerasan seksual. Dengan durasi 114 menit film ini dikemas dengan sangat baik dan menguji adrenalin penonton.
Jika kamu sudah menontonnya, pasti kamu tidak asing dengan sosok Ajo Kawir yang diperankan oleh Marthino Lio yang perannya sudah muncul di menit-menit awal. Ajo Kawir adalah representasi di masyarakat kita, bahwa stigma laki-laki harus selalu kuat, maco, tidak boleh menangis, dan lain-lain. Sama dengan novelnya, Ajo Kawir digambarkan sebagai jagoan yang tidak memiliki rasa takut, pemberani dan seringkali melakukan kekerasan pada orang lain.
Pada kenyataannya Ajo Kawir adalah laki-laki impoten yang memiliki kekurangan dan berusaha menutupi kekurangannya dengan segala cara agar ia terlihat jantan.
ADVERTISEMENT
Meski film ini berlatar 1980 hingga 1990-an rasanya isu yang diangkat sangat berhubungan dengan permasalahan manusia modern saat ini. Mungkin di luar sana ada banyak sekali Ajo Kawir yang merasa terwakili dengan film ini. Ajo Kawir yang tidak kuat dengan stigma masyarakat dan tetap dipaksa harus kuat, Ajo kawir yang tidak boleh menangis.
Banyak masyarakat kita yang terkungkung pikirannya atas konstruksi patriarki. Laki-laki dan perempuan diberikan standard tingkah laku yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Salah satunya adalah laki-laki harus kuat, maco, dan tidak boleh menangis sebab menangis seringkali diartikan sebagai bentuk kelemahan atau kelembutan hanya boleh dilakukan oleh perempuan.
Film ini seolah menjadi pengingat bagi kita semua, khususnya bagi para orang tua bahwa trauma apa pun yang di alami seorang anak tidak bisa kita anggap remeh, sebab bisa berdampak sampai ia dewasa. Mungkin sebagai orang tua ataupun pendidik, kita bisa memberikan pemahaman toxic masculinity sejak dini.
ADVERTISEMENT
Katakan bahwa sesuatu yang lumrah jika laki-laki menangis dan mencurahkan apa yang ia rasakan. Ajarkan mereka menghindari ujaran yang merendahkan perempuan, ajarkan anak konsensual sejak dini sesuai dengan umur anak, sampaikan bahwa setiap orang memiliki batasan yang tidak bisa kita hakimi, atau kita bisa mengajarkan bahwa tubuh setiap orang adalah milik dirinya sendiri.
Tak hanya berhenti di persoalan toxic masculinity, film ini juga mengangkat isu kekerasan seksual yang diperankan tokoh Iteung (Ladya Cheryl). Di ceritakan Iteung adalah korban kekerasan masa kecil ketika ia masih SD oleh gurunya, sehingga saat ia dewasa ia tak bisa mengendalikan birahinya.
Justru pada bagian ini mengingatkan permasalahan mutakhir yang kerap kali terjadi di dunia pendidikan. Melalui sosok Iteung juga film ini mendobrak pelabelan perempuan yang harus berperilaku lemah lembut dan tidak boleh berkelahi. Faktanya Itueng hadir sebagai peran perempuan yang utuh dan sangat pandai saat bertarung.
ADVERTISEMENT
Sementara Budi Baik yang diperankan Aktor Reza Rahardian juga menjadi simbol toxic masculinity, di mana banyak laki-laki yang beranggapan dan mengagungkan kejantanan dan menganggap daya tarik utama pria terletak pada alat kelaminnya.
Hemat saya film ini tidak mengecewakan. Proporsi novel dan filmnya sangat pas, hanya saja berbeda di bagian alur. Jika di novel dibuat maju mundur, di film sutradara mengubahnya menjadi lebih sederhana, namun sedikitpun tidak mengurangi esensi. Mulai dari premis, penggambaran adegan, aksi komedi, romantis hingga sesuatu yang mistis. Semua ada di film ini. Hebat!