Konten dari Pengguna

Assessment as Learning dalam PAI: Siswa menjadi Penilai dan Pembelajar

Utami Qonita
Mahasiswa Magister Pendidikan Agama Islam, Universitas Pendidikan Indonesia.
26 April 2025 17:53 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Utami Qonita tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Suasana di SMP Negeri 17 Kota Bandung, Jawa Barat, Rabu (23/04/2025). Foto: Utami Qonita
zoom-in-whitePerbesar
Suasana di SMP Negeri 17 Kota Bandung, Jawa Barat, Rabu (23/04/2025). Foto: Utami Qonita
ADVERTISEMENT
Kita hidup di zaman ketika murid lebih sering diuji daripada diajak berpikir tentang bagaimana mereka belajar. Pernyataan ini menjadi cermin reflektif atas praktik evaluasi pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) yang selama ini cenderung menitikberatkan pada capaian kognitif semata. Padahal, di tengah implementasi Kurikulum Merdeka yang menekankan pengembangan student agency, pendekatan Assessment as Learning (AaL) menawarkan arah baru dalam asesmen yang lebih humanis, reflektif, serta memberdayakan siswa sebagai agen pembelajaran mereka sendiri.
ADVERTISEMENT
Assessment as Learning bukan sekadar teknik evaluasi, melainkan pendekatan pedagogis yang menempatkan siswa sebagai subjek aktif dalam proses penilaian. Melalui AaL, siswa dilatih untuk berpikir tentang bagaimana mereka belajar, merefleksikan kemajuan diri, serta mengarahkan langkah pembelajaran mereka ke depan. Dalam konteks PAI, ini menjadi sangat relevan, karena tujuan pembelajaran agama tidak hanya mentransfer pengetahuan, tetapi juga membentuk karakter, nilai, dan kesadaran spiritual siswa.

Signifikansi AaL dalam Pembelajaran PAI

Dalam pembelajaran PAI, penting untuk mengembangkan tiga ranah utama, yakni kognitif, afektif, dan metakognitif. Pendekatan AaL secara strategis menjembatani ketiga ranah ini. Pertama, siswa tidak hanya menghafal konsep-konsep keislaman, tetapi mampu mengkritisi, mengaitkan, dan menginternalisasi nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Kedua, ranah afektif, mencakup kejujuran, tanggung jawab, empati, dan integritas, dikembangkan secara sadar melalui refleksi nilai dan pengalaman pribadi. Ketiga, kemampuan metakognitif siswa, yakni kesadaran terhadap proses berpikir dan belajarnya, diasah melalui kegiatan evaluasi diri dan penetapan tujuan belajar.
ADVERTISEMENT
Dalam perspektif teori perkembangan kognitif Jean Piaget, remaja berada pada tahap operasional formal, yaitu mampu berpikir abstrak, logis, dan reflektif. Tahap ini mendukung penerapan AaL karena siswa mulai mampu mengevaluasi pikiran dan tindakan mereka sendiri. Dari sudut pandang psikologi perkembangan Erik Erikson, remaja sedang menghadapi krisis identitas versus kebingungan peran, di mana refleksi diri sangat krusial untuk membentuk identitas yang kuat dan berbasis nilai.
Lebih lanjut, teori perkembangan iman James Fowler memperkaya kerangka ini. Fowler mengemukakan bahwa remaja berada pada tahap "Synthetic-Conventional Faith", di mana identitas keagamaan mulai terbentuk berdasarkan pengaruh komunitas sosial. AaL mendukung perkembangan ini dengan mengajak siswa secara sadar merefleksikan keyakinan mereka, memperkuat hubungan antara iman pribadi dan nilai-nilai universal.
ADVERTISEMENT
Selain itu, konsep kecerdasan spiritual dari Danah Zohar dan Ian Marshall menjadi landasan penting dalam implementasi AaL di pembelajaran PAI. Mereka berpendapat bahwa spiritual quotient (SQ) membantu individu mengintegrasikan makna, nilai, dan tujuan dalam hidupnya. Dengan Assessment as Learning, siswa tidak hanya memahami ajaran agama secara kognitif, tetapi juga menghubungkannya dengan pencarian makna dan tujuan hidup, membangun ketahanan spiritual dalam menghadapi kompleksitas zaman.
Penerapan AaL juga selaras dengan pandangan spiritualitas pendidikan menurut Parker Palmer yang menekankan pentingnya "mengajar dari dalam" dan membantu siswa menemukan koneksi antara ilmu, nilai, dan makna hidup mereka. Dengan melibatkan siswa dalam proses asesmen, PAI bukan lagi pelajaran yang pasif dan normatif, melainkan menjadi arena aktif untuk membangun jati diri, keyakinan, dan komitmen moral siswa sebagai individu Muslim yang berkarakter.
ADVERTISEMENT

Strategi Implementasi Assessment as Learning dalam Pembelajaran PAI di Sekolah Menengah

Berikut adalah beberapa strategi praktis untuk mengintegrasikan AaL dalam pembelajaran PAI di tingkat Sekolah Menengah:
1. Jurnal Reflektif Islami
Setelah setiap sesi pembelajaran, siswa diarahkan untuk menuliskan jurnal reflektif yang memuat pemahaman mereka terhadap materi, pengalaman pribadi yang relevan, serta niat konkret untuk mengamalkan nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, setelah belajar tentang kejujuran, siswa menulis tentang pengalaman mereka dalam menjaga kejujuran di rumah, sekolah, atau dalam pertemanan.
2. Penilaian Diri (Self-Assessment)
Dengan menggunakan rubrik penilaian yang jelas dan disusun bersama guru, siswa menilai sejauh mana mereka telah menguasai konsep, menunjukkan sikap Islami, dan menerapkan nilai dalam tindakan nyata. Ini tidak hanya mengembangkan kejujuran diri, tetapi juga meningkatkan rasa tanggung jawab terhadap proses belajar mereka sendiri.
ADVERTISEMENT
3. Penilaian Teman Sebaya (Peer Assessment)
Dalam kegiatan presentasi, diskusi, atau proyek kolaboratif, siswa memberikan umpan balik kepada teman sekelasnya. Fokus umpan balik mencakup kualitas materi, argumentasi nilai, sikap kerjasama, serta penerapan prinsip-prinsip Islam. Melalui ini, siswa belajar tentang pentingnya memberikan dan menerima masukan dengan sikap terbuka dan konstruktif.
4. Portofolio Spiritualitas
Siswa membangun portofolio yang berisi kumpulan karya kreatif bertema Islami, mulai dari puisi, esai reflektif, video dakwah pendek, hingga dokumentasi aktivitas ibadah. Setiap karya disertai catatan refleksi pribadi mengenai makna dan dampak spiritual dari karya tersebut. Portofolio ini menjadi jejak nyata pertumbuhan spiritual siswa sepanjang satu semester atau satu tahun ajaran.
5. Refleksi Qur’ani
Sebagai bagian dari penutupan pembelajaran, guru mengajak siswa merenungkan ayat-ayat Al-Qur'an yang relevan dengan materi. Siswa kemudian menulis refleksi pribadi tentang hubungan ayat tersebut dengan realitas kehidupan mereka. Ini memperdalam pemahaman Qur’ani sekaligus membangun keterkaitan nilai agama dengan kehidupan nyata.
ADVERTISEMENT
Strategi ini terinspirasi dari teori Lev Vygotsky tentang Zone of Proximal Development (ZPD), bahwa perkembangan optimal terjadi ketika siswa dibimbing untuk sedikit demi sedikit mengambil kendali atas proses belajarnya.

Tantangan Implementasi dan Solusi Adaptif

Implementasi AaL tentu tidak lepas dari berbagai tantangan di lapangan, seperti:
Menghadapi tantangan ini, beberapa solusi adaptif dapat diterapkan, antara lain:
ADVERTISEMENT

Perubahan Paradigma: Dari Penilai menjadi Fasilitator Refleksi

Transformasi asesmen dalam PAI mengharuskan perubahan paradigma peran guru. Guru bukan lagi sekadar "penilai hasil belajar" yang objektif dan kaku, tetapi bertransformasi menjadi "fasilitator refleksi" yang membimbing siswa mengenal dirinya sendiri, menguatkan nilai-nilai kebaikan, dan mengarahkan perkembangan spiritual serta akademiknya.
Guru PAI perlu membangun suasana pembelajaran yang aman untuk berefleksi, penuh kepercayaan, serta mendorong siswa berani jujur terhadap diri sendiri. Proses ini memang tidak instan, namun hasilnya akan menghasilkan generasi yang tidak hanya memahami agama secara teoritis, tetapi menghidupinya secara sadar dan bertanggung jawab.

Pentingnya Dukungan Institusional dan Kebijakan Pendidikan

Perubahan pendekatan asesmen tidak cukup bertumpu pada inisiatif individu guru. Diperlukan dukungan struktural dari berbagai pihak:
ADVERTISEMENT
Langkah kolaboratif ini akan mempercepat transformasi budaya asesmen di dunia pendidikan kita menuju arah yang lebih beradab, bermakna, dan memanusiakan manusia.

Kesimpulan: Pendidikan PAI yang Reflektif untuk Menyiapkan Generasi Berkarakter

Assessment as Learning bukan hanya metode alternatif, melainkan kebutuhan mendesak dalam pendidikan PAI era Kurikulum Merdeka. Dengan membiasakan refleksi diri, evaluasi proses belajar, serta penguatan kesadaran spiritual, siswa dilatih menjadi pembelajar sepanjang hayat yang tidak hanya cerdas, tetapi juga beriman, berakhlak mulia, serta mampu mengambil keputusan moral dalam kehidupannya.
Melalui AaL, pembelajaran agama menjadi pengalaman hidup yang utuh, bukan sekadar hapalan teori. Kegiatan seperti jurnal reflektif, penilaian diri, dan portofolio spiritual, jika diterapkan dengan konsisten dan bermakna, akan melahirkan pribadi-pribadi yang berpikir kritis, merasa dalam, serta bertindak berdasarkan nilai.
ADVERTISEMENT
Kini saatnya pendidikan agama tidak hanya menjawab "apa yang benar", tetapi juga membekali siswa dengan kemampuan menemukan, meyakini, serta menghidupi kebenaran itu dalam realitas kehidupannya. Karena sejatinya, siswa yang mampu menilai dirinya sendiri adalah siswa yang sedang belajar menjadi manusia seutuhnya, sebagaimana tujuan luhur pendidikan Islam: ”membentuk insan kamil yang rahmatan lil ‘alamin.”