Pencemaran Teluk Jakarta dan Miliaran Rupiah yang Menguap

24 Agustus 2017 8:12 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Kerang hijau dan kerang dara (kanan) (Foto: Sattwika Duhita/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Kerang hijau dan kerang dara (kanan) (Foto: Sattwika Duhita/kumparan)
ADVERTISEMENT
Logam berat. Itulah salah satu bahan yang mencemari perairan Teluk Jakarta, berdasarkan riset sekelompok peneliti Institut Pertanian Bogor (IPB) yang dimuat dalam makalah ilmiah berjudul “Valuasi Ekonomi Dampak Pencemaran dan Analisis Kebijakan Pegendalian Pencemaran di Teluk Jakarta”.
ADVERTISEMENT
Pencemaran Teluk Jakarta, menurut penelitian yang berlangsung Februari-Desember 2012 tersebut, berpotensi membuat pendapatan Rp 35 miliar per tahun menguap. Lebih spesifik, budi daya kerang terimbas kehilangan nilai ekonomis dan ekologis Rp 5 miliar per hektare per tahun akibat pencemaran tersebut.
Pencemaran logam berat di Teluk Jakarta, dalam makalah garapan Sri Haryati, Bunasor Sanim, Etty Riani, Luky Ardianto, dan Dewayany Sutrisno itu, disebutkan menekan produktivitas budi daya kerang hijau.
Penelitian yang dilakukan di pesisir Teluk Jakarta itu, tepatnya di Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara, menunjukkan hasil cukup mengejutkan. Kerang hijau yang dibudi daya di kawasan tersebut ternyata tak cocok dikonsumsi karena mengandung logam berat dalam kadar tinggi.
Alih-alih dimakan, kerang-kerang itu lebih cocok sebagai purifier atau pembersih lingkungan perairan yang tercemar logam berat.
ADVERTISEMENT
Tardi, 60 tahun, semestinya memanen kerang hijau bulan ini, Agustus. Namun, kerang-kerang di tambak miliknya mati--yang ia yakini terjadi karena limbah yang makin merajai Teluk Jakarta. Alhasil, Tardi pun gagal panen.
“Limbah itu (muncul) pas lagi wayah-nya panen. (Kerang) kena limbah, tuh. Jadi pada mangap semua kijingnya (mati),” ujar Tardi ketika berbincang dengan kumparan di tengah Laut Teluk Jakarta, Jumat (18/8).
Kijing yang dimaksud Tardi ialah kerang hijau. Nelayan-nelayan di Cilincing memang biasa menyebut kerang hijau, yang bernama ilmiah Perna viridis itu sebagai kijing.
Untuk membuat sebuah tambak kijing, Tardi perlu modal Rp 5-6 juta. Uang sebanyak itu ia gunakan untuk membeli bambu dan tali tambang yang kemudian ia pasang dan susun di perairan Teluk Jakarta. Setelah rampung, lima hingga enam bulan kemudian, tambak seharusnya sudah bisa dipanen.
Kandang kerang keluarga Tardi. (Foto: Sattwika Duhita/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Kandang kerang keluarga Tardi. (Foto: Sattwika Duhita/kumparan)
Tambak kijing itu dipasang Tardi Februari lalu, agar ia bisa tersenyum memanen hasil pada Juli atau Agustus ini.
ADVERTISEMENT
Tapi, kali ini ayah sembilan anak itu terpaksa gigit jari. Kondisi air yang kotor membuat banyak kerang di tambak mati. Cangkang mereka terbuka, tak lagi berisi daging karena telah lepas.
Kalaupun ada kerang yang masih hidup dan dapat dipanen, hasilnya tidaklah bagus.
“Kalau dulu mah rada bersih, kalau sekarang kotor. Campur tritip atau apa, nggak mulus,” tutur Tardi yang telah menjadi nelayan sejak kanak-kanak mengikuti jejak ayahnya.
Tritip yang disebut Tardi adalah kerang batu kecil. Jumlahnya banyak, kerap mengotori kijing. Kijing yang terkotori oleh tritip, sulit laku terjual.
Seandainya berhasil panen kijing bulan ini, Tardi akan membuat tambak baru atau menyusun bambu-bambu baru pada tambaknya yang lama itu. Namun karena gagal panen, ia tak berhasil mendapatkan uang untuk balik modal dan membeli bambu-bambu baru.
ADVERTISEMENT
“Jadi gimana sih, aturan dibeliin bambu, modalnya nggak ada,” keluh lelaki asal Indramayu, Jawa Barat, itu.
Tardi di depan tambak kerang hijau. (Foto: Utomo Priyambodo/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Tardi di depan tambak kerang hijau. (Foto: Utomo Priyambodo/kumparan)
Karena panen kerang gagal dan ketiadaan modal untuk membangun tambak kerang baru, Tardi kini berupaya mencari pemasukan dengan menangkap ikan di Teluk Jakarta menggunakan jaring.
Namun, itu jelas bukan solusi. Sebab pencemaran tak hanya berdampak pada kerang, tapi juga biota laut lain, termasuk ikan.
“Liat tuh ikannya. Tuh, pada mati,” tunjuk Tardi ke arah sejumlah ikan yang mati mengambang di laut.
Etty Riani, peneliti dari IPB. (Foto: Utomo Priyambodo/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Etty Riani, peneliti dari IPB. (Foto: Utomo Priyambodo/kumparan)
Etty Riani, Dosen Perikanan dan IImu Kelautan IPB pernah meneliti kandungan merkuri pada tubuh ikan petek di perairan Ancol, Teluk Jakarta, pada Oktober 2004.
Hasilnya, ia menemukan kandungan merkuri (Hg) pada organ insang dan hati ikan petek (Leiognalhus equulus) yang diambil dari perairan di dekat kawasan industri Ancol Barat.
ADVERTISEMENT
Hasil penelitian menyebutkan, hati ikan petek yang diteliti tersebut mengalami nekrosis atau kematian sel akibat tercemar merkuri, salah satu jenis logam berat. Padahal, ikan jenis itu cukup banyak dikonsumsi oleh masyarakat nelayan di pesisir Jakarta.
Kandungan merkuri pada organ ikan petek itu juga menandakan, perairan di dekat kawasan Ancol tersebut telah tercemar merkuri.
Etty menjelaskan, ikan-ikan punya kemampuan berenang lebih jauh untuk menghindari perairan yang telah tercemar. Jadi, untuk bertahan hidup dan melestarikan keturunan, ikan-ikan memilih untuk tidak memijah atau bertelur di bagian perairan Teluk Jakarta yang tercemar.
“Karena nggak ada yang memijah di situ, otomatis ikannya jadi berkurang. Beda dengan moluska,” kata Etty kepada kumparan.
Moluska yang disebut Etty ialah jenis hewan berbadan lunak dan bercangkang keras yang tidak bisa bergerak jauh seperti ikan. Salah satunya adalah kerang.
Tercemarnya Teluk Jakarta. (Foto: Sattwika Duhita/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Tercemarnya Teluk Jakarta. (Foto: Sattwika Duhita/kumparan)
Pencemaran logam berat di Teluk Jakarta membuat Tardi tak hanya gagal panen kerang hijau, tapi juga kesulitan mencari ikan. Ia harus melaut lebih jauh dari tahun-tahun sebelumnya untuk mencari ikan yang masih hidup.
ADVERTISEMENT
Ini tentu masalah baru baginya, sebab selain hasil tangkapan ikan yang semakin sedikit, biaya yang harus dikeluarkan untuk bahan bakar perahu motor pun bertambah mengikuti jarak perjalanan lebih jauh yang harus ditempuh.
Putra Tardi, Begeng (40) yang mewarisi profesi sang ayah sebagai nelayan, punya keluhan serupa.
“Walaupun gimana, Teluk Jakarta ini udah nggak bagus airnya karena limbah. Seberapa (banyak) kami dimodalin alat canggih apa pun, kalau laut udah tercemar limbah, kami mau cari ikan di mana?” ujar Begeng.
Tardi (kiri) dan Begeng (kanan) (Foto: Sattwika Duhita/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Tardi (kiri) dan Begeng (kanan) (Foto: Sattwika Duhita/kumparan)
Lelaki yang memiliki dua anak itu menegaskan, “Walaupun dimodalin Rp 1 miliar per orang, tapi kalau lautan kita tercemar limbah? Dan walaupun alat kami seadanya, tapi kalau laut masih bagus, buang jala aja dapet ikan. Kan begitu."
ADVERTISEMENT
Kondisi Teluk Jakarta kini berbeda jauh dengan tahun 1980-an kala Begeng masih kanak-kanak. Saat itu, ujar Begeng, ikan masih mudah ditangkap dan lumut di pinggir Teluk Jakarta masih berwarna hijau, bukan hitam.
“Yang disayangkan, untuk anak-cucu kami (di Teluk Jakarta) ini udah nggak ada lagi (ikan),” ujar Begeng, sedih.