Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Peran Farmasis dalam Maraknya Resistensi Antibiotik di Masyarakat
5 Desember 2024 18:14 WIB
·
waktu baca 2 menitTulisan dari Uwais Al Qarni tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Saat ini Indonesia sedang mengalami krisis antibiotik atau silent pandemic. Tentunya hal ini, menjadi perhatian serius dalam bidang kesehatan di Indonesia. Awalnya resistensi antibiotik terjadi di rumah sakit tetapi, sekarang meluas di lingkungan komunitas. Berdasarkan perkataan bapak Wakil Menteri Kesehatan RI dr. Dante Saksono Harbuwono mengatakan "pravelensi kasus resistensi antibiotik akibat mikroba terus meningkat. Saat ini, 1,27 juta orang meninggal setiap tahun karena infeksi yang resistan terhadap obat" (Kemenkes, 2022).
ADVERTISEMENT
Antibiotik adalah segolongan senyawa, baik alami maupun sintetik yang memiliki efek membunuh atau menghambat perkembangan bakteri. Penggunaan antibiotik memang sangat bagus dalam menyembuhkan penyakit karena antibiotik sering digunakan sering digunakan oleh dokter untuk mencegah dan mengobati penyakit infeksi akibat bakteri. Namun, penggunaan antibiotik yang tidak rasional pada tubuh manusia akan mempercepat munculnya dan penyebaran proses resistensi antibiotik karena pada dasarnya penggunaan obat yang melebihi kapasitas tubuh atau lebih di kenal dengan istilah overdosis akan menjadi boomerang pada tubuh manusia yang seharusnya mendatangkan hasil yang baik tetapi malah mendatangkan sebaliknya.
Resistensi menurut World Health Organization (WHO), adalah keadaan saat bakteri, virus, jamur, dan parasit mengalami perubahan seiring dengan waktu, sehingga tidal lagi merespons obat-obatan yang dirancang untuk membunuh mikroba. Pada intinya, resistesi adalah keadaan dimana tubuh kita menolak atau tidak merespon obat-obatan yang dapat membunuh bakteri penyakit.
ADVERTISEMENT
Apotek merupakan sumber utama dalam mendapatkan antibiotik. Mengapa demikian? Berdasarkan data dari BPOM, sekitar 79,5% apotek di Indonesia memberikan antibiotik tanpa resep dokter (data ini diambil dari tahun 2021 hingga 2023). Karena kemungkinan besar yang melayani permintaan konsumen atau masyarakat non-apoteker.
Penyebab maraknya resistensi antibiotik di kalangan komunitas masyarakat, tidak hanya dari pekerja yang melayani masyarakat saat membeli obat. Namun, bisa di tinjau dari perilaku masyarakat yang selalu membeli obat sendiri tanpa adanya pengawasan dari tenaga kesehatan atau istilahnya swamedikasi karena merasa aman ketika menggunakan atau mengonsumsi obat sebelumnya tanpa memperhatikan efek samping dari obat tersebut. Tidak hanya itu, terkadang masih ditemukan perilaku masyarakat yang suka menyimpan obat dari dokter yang tidak digunakan lagi, lalu digunakan lagi saat dibutuhkan. Perilaku seperti inilah yang menyebabkan maraknya resistensi antibiotik pada masyarakat di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Tidak hanya perilaku masyarakat, tetapi juga terdapat beberapa faktor yang menyebabkan maraknya resistensi antibiotik, diantaranya:
Pada tahun 2011, pemerintah Indonesia telah membuat pedoman umum penggunaan obat, tetapi hal ini tetap menjadi tantangan karena masih banyak masyarakat yang membeli antibiotik dengan bebas. Masalah ini, harus melibatkan banyak pihak, seperti pemerintah selaku pembuat kebijakan, pabrik selaku yang memproduksi obat-obatan, apoteker dan penjual non-apoteker di apotek selaku yang terjun langsung dan melayani permintaan konsumen, dan masyarakat selaku konsumen.
ADVERTISEMENT
Lalu bagaimana peran farmasis dalam menangani maraknya resistensi antibiotik di masyarakat? Sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan (PMK) nomor 35 tahun 2016 tentang standar pelayanan kefarmasian di apotek, disebutkan bahwa salah satu tugas apoteker adalah pelayanan farmasi klinik yang didalamnya memuat pelayanan informasi obat dan konseling pasien. Walaupun dalam peraturan ini tidak disebutkan antibiotik menjadi legal. Namun, tetap apoteker wajib memberikan informasi dan konseling terhadap pasien. Dan jika ditemukan oknum farmasis yang memilih atau menyarankan antibiotik maka oknum tersebut akan melanggar undang-undang tentang peredaran antibiotik.
Tidak hanya memberi informasi obat-obatan di apotek, tetapi juga memberikan edukasi pada masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung karena hal tersebut sesuai dengan ten stars of pharmacist atau kompetensi apoteker dalam pelayanan kesehatan poin "teacher/guru" serta mengimplementasikan poin SDGs poin 3 tentang kesehatan yang baik dan kesejahteraan dan poin 4 tentang pendidikan bermutu.
ADVERTISEMENT
Penulis: Uwais Al Qarni (Mahasiswa Fakultas Farmasi Universitas Airlangga) Lokasi: Asrama Putra Kampus C Unair, Mulyorejo, Surabaya