Konten dari Pengguna

Lemahnya Peran Pengujian Formil Undang-Undang oleh Mahkamah Konstitusi

Vadilla Nur Maulidah Farid
halo aku mai! mahasiswi di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
14 Mei 2025 13:15 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-circle
more-vertical
Tulisan dari Vadilla Nur Maulidah Farid tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Photo by Pavel Danilyuk: https://www.pexels.com/photo/close-up-photo-of-a-lady-justice-statuette-8112193/
zoom-in-whitePerbesar
Photo by Pavel Danilyuk: https://www.pexels.com/photo/close-up-photo-of-a-lady-justice-statuette-8112193/
ADVERTISEMENT
Kalau bicara soal konstitusi, Mahkamah Konstitusi (MK) adalah garda terdepan. Lembaga ini memiliki mandat besar yaitu memastikan semua undang-undang selaras dengan UUD 1945. Caranya? melalui dua jalur pengujian: materiil (mengulas isi undang-undang) dan formil (menyisir proses pembentukannya). Namun sayangnya, pengujian formil masih sering jadi anak tiri.
ADVERTISEMENT
Padahal, pengujian formil bukan cuma soal prosedur administratif. Ia adalah penjaga pintu utama agar setiap undang-undang lahir melalui proses yang sah, transparan, dan berpijak pada prinsip negara hukum. Kalau prosesnya cacat, misalnya tanpa partisipasi publik atau dikebut dalam waktu singkat hasil akhirnya bisa merugikan warga dan mencederai legitimasi hukum itu sendiri.
Pengujian formil seharusnya bisa menjadi semacam “uji kelayakan” bagi produk hukum. Apakah undang-undang itu lahir lewat tahapan yang benar? Apakah prosesnya sesuai Undang-Undang No. 12 Tahun 2011? Mulai dari penyusunan naskah akademik, pembahasan di DPR, sampai pengesahan oleh Presiden, semua itu harus terbuka dan akuntabel. Dalam negara hukum, prosedur bukan cuma formalitas. Ia adalah fondasi legitimasi.
Tetapi realitanya, peran MK dalam pengujian formil masih jalan di tempat. Selama dua dekade berdiri, jumlah permohonan formil yang dikabulkan bisa dihitung dengan jari. Salah satu yang paling menonjol adalah putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020 soal UU Cipta Kerja. MK memang menyatakan proses pembetukannya cacat, tapi alih-alih dibatalkan, undang-undang itu justru diberi tenggat dua tahun untuk ”diperbaiki”. Sikap kompromistis ini memperlihatkan betapa MK masih setengah hati dalam menjalankan fungsi koreksi formil.
ADVERTISEMENT
Ada beberapa hambatan utama yang menjadi alasan mengapa pengujian formil tidak pernah maksimal. Pertama, standar pembuktiannya terlampau tinggi. Pemohon harus punya bukti kuat soal pelanggaran prosedur. Tapi dari mana mereka bisa dapat bukti, kalau akses ke dokumen penting seperti risalah sidang atau notulensi rapat seringkali tertutup? Publik seperti dibiarkan menebak-nebak proses legislasi yang sebenarnya mereka punya hak untuk tahu.
Kedua, MK sendiri cenderung konservatif. Dalam banyak kasus, Mahkamah lebih memilih pendekatan ”aman” demi menjaga stabilitas hukum, daripada bersikap tegas membatalkan produk yang prosesnya bermasalah. Sikap ini memang berhati-hati, tapi justru bisa membuat pengujian formil kehilangan taring.
Ketiga, belum ada parameter yang jelas untuk menilai seberapa ”serius” pelanggaran prosedural hingga layak membatalkan undang-undang. Misalnya, apakah keterlambatan pembahasan bisa dianggap pelanggaran konstitusional? Apakah minimnya partisipasi publik cukup kuat untuk membatalkan UU? Karena tak ada acuan baku, banyak pemohon yang kesulitan merumuskan argumen yang solid. Apa imbasnya? Kepercayaan publik bisa rontok.
ADVERTISEMENT
Kalau ini dibiarkan, efeknya berbahaya. Undang-undang yang cacat prosedur tetap berlaku, dan masyarakat dipaksa tunduk. Hukum jadi sekadar produk kekuasaan, bukan lagi representasi kehendak rakyat. Dalam jangka panjang, ini bisa melemahkan kepercayaan publik dan membuat posisi MK sebagai penjaga konstitusi makin dipertanyakan.
Lalu apa solusinya?
Pertama, proses legislasi harus dibuka seluas mungkin. DPR dan pemerintah perlu menyediakan akses transparan terhadap semua dokumen pembahasan. Publik punya hak untuk tahu bagaimana hukum yang mengatur hidup mereka dibentuk.
Kedua, kapasitas MK perlu diperkuat. Mahkamah butuh pedoman teknis dan standar pembuktian yang jelas. Selain itu, perlu ada dukungan perangkat analisis yang bisa membantu hakim menilai aspek prosedural secara lebih objektif dan mendalam.
Ketiga, masyarakat sipil harus lebih dilibatkan. Akademisi, LSM, dan kelompok advokasi bisa jadi mitra strategis untuk mengawal legislasi. Mereka tak hanya mengingatkan pemerintah, tapi juga bisa mendorong uji formil saat proses hukum dirasa tak beres.
ADVERTISEMENT
Yang juga tak kalah penting yaitu perlu revisi soal legal standing. Saat ini, hanya pihak yang terdampak langsung yang bisa mengajukan uji formil. Padahal, undang-undang berdampak luas. Sudah waktunya memberi ruang bagi organisasi masyarakat sipil untuk mengajukan permohonan demi kepentingan publik.
Pengujian formil seharusnya jadi tembok awal dalam memastikan hukum dibentuk secara sah dan konstitusional. Tapi selama mekanisme ini lemah, MK akan terus kesulitan menjalankan perannya secara optimal.
Perlu komitmen bersama dari pembuat undang-undang, hakim konstitusi, sampai masyarakat sipil untuk menghidupkan kembali peran uji formil sebagai benteng demokrasi. Karena hukum yang baik bukan hanya yang substantif isinya, tapi juga yang sah dari cara ia lahir.