Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.1
Konten dari Pengguna
Perempuan Garis Keras Konflik: Menyelami Dampak Gender dalam Perang di Suriah
1 Desember 2024 13:40 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Valenda Pratiwi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kekerasan berbasis gender terhadap perempuan merupakan salah satu pelanggaran hak asasi manusia yang paling sering kita temukan di masyarakat umum, baik tingkat regional, nasional, maupun internasional. Salah satu dari banyaknya kekerasan ini pun terjadi di Negara Suriah. Sejak pecahnya protes yang menuntut sebuah reformasi demokrasi pada tahun 2011 lalu, para perempuan Suriah berada di garis terdepan, ikut serta dalam mengorganisir demonstrasi, pemogokan, dan aksi-aksi solidaritas lainnya bersama para korban untuk dapat menyerukan pembebasan anggota keluarga mereka. Tetapi, dengan ikut sertanya perempuan Suriah dalam aksi tersebut, banyak di antara mereka yang ditangkap dan ditahan oleh pasukan keamanan. Mella Fitriyatul Hilmi menjelaskan dalam artikelnya bahwa kekerasan seksual yang terjadi di Suriah merupakan tindakan kekerasan dengan adanya penyalahgunaan kekuasaan, kepercayaan, dengan tujuan untuk mendapatkan kepuasan seksual. Di Suriah sendiri, para perempuan yang memegang peran sebagai satu-satunya pencari nafkah tidak memiliki tempat atau sumber pendapatan untuk memenuhi kebutuhan seharihari mereka. Mereka hanya mengandalkan bantuan dari lembaga internasional.
ADVERTISEMENT
Tidak dapat dipungkiri bahwasanya diskriminasi gender yang kerap kali terjadi membuat banyak bentuk gerakan ataupun tuntutan yang dikenal dengan gender equality. diskriminasi. Namun karena adanya konsep dari gender equality, memunculkan bentuk kesadaran dan membuat perempuan mulai banyak muncul di dalam peran-peran masyarakat. Hal ini pula yang dirasakan oleh kelompok perempuan yang ada di Suriah ketika terjadinya perang hingga tahun 2020. Di Suriah kelompok perempuan banyak mengalami kekerasan dan juga mengalami eksploitasi, justru kelompok bersenjata dianggap menjadi satu-satunya sumber dari bentuk kekuasaan maupun keadilan Akibat adanya perang yang terjadi di Suriah, para wanita yang ada di Suriah terpaksa harus memikul tanggung jawab baru sebagai kepala rumah tangga dan pengasuh utama untuk sejumlah besar anak-anak, ataupun juga orang tua dan yatim piatu. Sementara hak-hak mereka untuk bekerja, pendidikan dan bergerak hampir seluruhnya masih begitu terbatas.
Perempuan sebagai Korban Kekerasan Sistematis
ADVERTISEMENT
Salah satu dampak paling mencolok dari konflik di Suriah perempuan di daerah dikuasai oleh kelompok-kelompok bersenjata, menjadi sasaran kekerasan seksual yang meluas. Di wilayah yang dikuasai ISIS, misalnya, perempuan sering diperlakukan sebagai "trophy perang" dan diperjualbelikan sebagai budak seks. ISIS sendiri, yang mengklaim sebagai kelompok yang menegakkan hukum Islam, dengan tega memperlakukan perempuan sebagai objek yang dapat diperlakukan sewenang-wenang. Ini termasuk pemerkosaan massal, perbudakan seksual, dan penculikan. Kekerasan terhadap perempuan juga terjadi di wilayah yang dikuasai oleh pihak-pihak lain. Milisi dan pasukan pemerintah Suriah yang didukung oleh Rusia dan Iran juga terlibat dalam kekerasan seksual, bahkan seringkali sebagai taktik untuk menaklukkan wilayah dan menghancurkan moral lawan. Perempuan di Suriah, terutama yang berada di daerah konflik aktif, seringkali tidak memiliki tempat aman untuk berlindung dari ancaman ini. Laporan dari berbagai organisasi hak asasi manusia, termasuk Human Rights Watch dan Amnesty International, mengungkapkan bahwa kekerasan seksual dalam konflik ini bukanlah tindakan sporadis, tetapi bagian dari strategi militer yang terencana.
ADVERTISEMENT
Perempuan sebagai Pejuang dan Pemimpin
Meskipun menjadi korban kekerasan, perempuan di Suriah juga telah mengambil peran aktif dalam perlawanan terhadap penindasan. Perempuan Kurdi di utara Suriah, misalnya, telah memainkan peran penting dalam melawan ISIS. Pasukan Peshmerga dan YPJ (Pasukan Perlindungan Wanita) telah menunjukkan keberanian luar biasa di medan perang, dengan ribuan perempuan bergabung dalam barisan perlawanan bersenjata. Mereka tidak hanya berjuang untuk melawan terorisme, tetapi juga untuk membebaskan diri dari dominasi patriarkal yang sudah lama mengikat mereka. Gerakan perempuan ini menunjukkan bahwa meskipun dalam kondisi perang yang brutal, perempuan dapat menjadi agen perubahan, memimpin, dan berjuang untuk kebebasan dan hak-hak mereka. Namun, peran mereka seringkali diabaikan atau direduksi oleh narasi perang yang lebih besar yang mendominasi media internasional. Fokus lebih banyak diberikan kepada konflik militer antara pasukan besar, sementara kontribusi perempuan dalam konflik seringkali terabaikan, baik sebagai pejuang, pemimpin, atau pengungsi yang berusaha mengorganisir komunitas mereka di tengah kehancuran.
ADVERTISEMENT
Perempuan Pengungsi dan Kesulitan yang Dihadapi
Selain menjadi korban kekerasan fisik, perempuan juga menghadapi tantangan besar dalam peran mereka sebagai pengungsi. Sejak awal perang, jutaan warga Suriah telah mengungsi ke negara-negara tetangga seperti Turki, Lebanon, dan Yordania, serta negara-negara Eropa. Dalam situasi pengungsian, perempuan sering kali menjadi sasaran kekerasan seksual dan eksploitasi. Banyak perempuan yang terpaksa melahirkan di kamp-kamp pengungsian dengan fasilitas medis yang terbatas, tanpa akses terhadap perawatan kesehatan yang memadai, dan rentan terhadap penyakit serta malnutrisi. Lebih parah lagi, pengungsi perempuan sering kali menghadapi diskriminasi di tempat penampungan, di mana mereka sering terpinggirkan, tidak diberi kesempatan yang setara dalam hal akses pendidikan, pekerjaan, atau partisipasi sosial. Kondisi ini semakin diperburuk dengan ketidakpastian dan ketakutan akan masa depan, yang membuat mereka rentan terhadap perdagangan manusia dan eksploitasi seksual.
ADVERTISEMENT
Tantangan untuk Perempuan
Setelah perang, Suriah akan menghadapi tantangan besar dalam membangun kembali negara dan masyarakatnya. Salah satu aspek yang sering kali terabaikan dalam proses rekonstruksi pasca-perang adalah peran perempuan. Selama ini, perempuan seringkali dianggap hanya sebagai korban yang perlu diberikan bantuan, bukan sebagai subjek yang dapat berpartisipasi aktif dalam rekonstruksi sosial dan politik. Namun, pengalaman perempuan di Suriah-baik sebagai pejuang, pemimpin, maupun pengungsi-menunjukkan bahwa mereka memiliki kemampuan dan tekad untuk menjadi agen perubahan. Penting untuk memasukkan perspektif gender dalam proses rekonstruksi, dengan memberi ruang bagi perempuan untuk terlibat dalam pembentukan kebijakan, pemulihan ekonomi, dan proses perdamaian. Hal ini dapat membantu memastikan bahwa masa depan Suriah tidak hanya dibangun oleh para pemimpin laki-laki yang lebih sering terjebak dalam konflik-konflik politik dan ideologis, tetapi juga oleh perempuan yang telah mengalami langsung dampak perang dan dapat membawa perspektif yang berbeda dalam menyusun perdamaian yang lebih inklusif.
ADVERTISEMENT
Kesimpulan
Perempuan di Suriah, baik sebagai korban, pejuang, maupun pengungsi, telah menunjukkan keberanian dan ketahanan luar biasa dalam menghadapi salah satu konflik paling mengerikan dalam sejarah dunia modern. Mereka bukan hanya menjadi korban kekerasan dalam perang, tetapi juga menjadi kekuatan yang tak terlihat dalam perjuangan untuk kebebasan dan perdamaian. Menyadari dan mengakui peran serta pengalaman perempuan ini dalam narasi perang adalah langkah pertama menuju pembentukan dunia yang lebih adil, di mana gender bukan lagi menjadi alat untuk menindas, tetapi kekuatan untuk membangun masa depan yang lebih inklusif dan setara.
Referensi
Zakiah, A., & Kurniawan, T. (n.d.). EKSPLOITASI DAN KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DALAM KONFLIK SURIAH PENDEKATAN HERMENEUTIKA FEMINIS AMINA WADUD. Retrieved November 29, 2024, from https://media.neliti.com/media/publications/520380-none-a85ee7e3.pdf
ADVERTISEMENT
Human Rights Watch. (2019, September 17). Human Rights Watch. Human Rights Watch. https://www.hrw.org
UN Women. (2024). UN Women - United Nations Entity for Gender Equality and the Empowerment of Women. UN Women. https://www.unwomen.org/en
Konflik Suriah: Perempuan “dieksploitasi secara seksual dengan imbalan bantuan kemanusiaan.” (n.d.). BBC News Indonesia. https://www.bbc.com/indonesia/dunia-43207848