Konten dari Pengguna

Pembatasan Kekuasaan Presiden : Mutlak atau Pilihan?

Vanesya Alya
Seorang mahasiswa yang sedang menempuh perkuliahan jenjang S-1 di kota pelajar. Penulis menyukai bahan bacaan terbaru terkait sosial masyarakat dan kini sedang mempelajari studi politik dan pemerintahan.
16 Juni 2023 22:56 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Vanesya Alya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pro dan Kontra Pembatasan Kekuasaan Presiden di Indonesia
zoom-in-whitePerbesar
Pro dan Kontra Pembatasan Kekuasaan Presiden di Indonesia
ADVERTISEMENT
Kekuasaan pada mulanya menjadi sebuah hal yang diatur oleh konstitusi sebagai implikasi atas berdirinya Indonesia sebagai negara hukum. Kekuasaan menjadi sorotan penting sebagai unsur pemerintahan, sebagaimana kekuasaan dipergunakan untuk mengambil alih jalannya suatu pemerintahan. Di akhir periode kepemimpinan Joko Widodo, muncul beberapa isu – isu wacana perpanjangan masa jabatan presiden. Beberapa pihak menganggap bahwa keberadaan isu ini menjadi wajar atas beberapa alasan. Namun, wacana ini memicu berbagai spekulasi yang mengarah kepada kontroversi di ruang publik. Maka dari itu, bahasan mengenai pembatasan kekuasaan presiden muncul di tengah - tengah masyarakat.
ADVERTISEMENT
Apabila ditarik kembali sejarah mengenai penetapan masa jabatan presiden dan wakil presiden yang dicantumkan secara baku dalam pasal 7 UUD 1945, kita patut kembali melirik peristiwa Reformasi 1998 yang mampu merobohkan tahta kepemimpinan Soeharto selama tiga puluh dua tahun berkuasa. Sebelumnya, dalam UUD versi lama disebutkan bahwasanya Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun dan setelahnya dapat dipilih. Hal itu dapat dimaknai jika telah terpilih, yang bersangkutan bisa dipilih kembali hingga berkali-kali karena tidak adanya pembatasan tentang berapa periode jabatan yang diizinkan.
Setelah melalui amandemen, Pasal 7 UUD tahun 1999 ini berbunyi Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan. Sehingga, bunyi ayat ini secara eksplisit menyatakan apabila pembatasan kekuasaan memang ada untuk diberlakukan di Indonesia. Konstitusi ini menjadi salah satu pagar yang membatasi ruang gerak pemimpin Indonesia di masa mendatang setelah rezim Soeharto. Terbukti, presiden Indonesia setelah era kepemimpinan Soeharto belum ada satupun yang melanggar ketentuan masa jabatan dalam pasal 7 tersebut.
ADVERTISEMENT
Sebaliknya, Pasal 7 telah menjelma sebagai pengunci kepercayaan publik terhadap kekuasaan pemerintahan di negeri ini. Merujuk kembali pada sistem presidensial yang dianut oleh Indonesia, sistem ini secara umum memiliki ciri khusus bahwasanya jabatan kepala negara dan kepala pemerintahan dipegang oleh Presiden. Kemudian Presiden dipilih langsung oleh rakyat untuk masa jabatan tertentu yang bersifat tetap. Presiden tidak bertanggung jawab kepada parlemen dan sebaliknya Presiden tidak dapat membubarkan parlemen. Terakhir, presiden memimpin pemerintahan yang dibentuk olehnya secara langsung. Selanjutnya, Indonesia yang berdiri sebagai negara demokrasi harus menjamin adanya sirkulasi kepemimpinan yang terjaga, yaitu dengan adanya pemilihan umum secara berkala yang mengimplementasikan aturan hukum bahwa jabatan publik harus dibatasi dan tidak boleh diisi oleh orang yang sama dalam waktu yang terlalu lama.
ADVERTISEMENT
Indonesia selaku negara yang menganut asas politik secara deliberatif menunjukkan apabila pemberlakuan kekuasaan presiden yang melanggar acuan undang – undang dan disahkan secara sepihak akan mencederai hak asasi warga negara yang tercantum dalam UU No. 39 Tahun 1999, sebagaimana Habermas (1992) mendeskripsikan demokrasi deliberatif sebagai model demokrasi yang melahirkan aturan hukum yang legitimasinya bersumber dari kualitas prosedur deliberasi, bukan saja dalam lembaga-lembaga formal negara (seperti parlemen), tapi juga yang terpenting dalam masyarakat secara keseluruhan.
Wacana ini mengundang beberapa lembaga survei nasional untuk turut melakukan survei kepada masyarakat terkait bagaimana Warga Negara Indonesia (WNI) menanggapi isu perpanjangan masa jabatan presiden. Salah satunya, Lembaga Survei Indonesia Political Opinion (IPO) telah mempublikasikan hasil survei mereka yaitu sebanyak 61 persen responden tidak setuju dan 39 persen setuju dengan wacana ini. Survei dilakukan dengan wawancara melalui sambungan telepon kepada responden dalam periode tanggal 15-22 Februari 2022 dengan data populasi sebanyak 196.420 yang dimiliki oleh IPO sejak periode survei tahun 2019 – 2021.
ADVERTISEMENT
Di waktu yang bersamaan, IPO juga mengeluarkan hasil riset kepuasan publik terhadap kinerja Presiden Joko Widodo yang menunjukkan bahwa 69 persen responden menyatakan puas terhadap kinerja Joko Widodo selama dua periode masa jabatan. Beberapa pihak merespons survei ini dengan tren positif. Namun, sebagian pihak mencermati bahwa hasil survei yang dirilis tidak seharusnya menjadi indikator untuk menyetujui wacana perpanjangan periode jabatan presiden apalagi hingga mengutak-atik aturan pokok Pemilihan Umum yang telah disusun dalam perundang-undangan sebab tidak terdeteksi adanya urgensi yang pasti.
Di sisi lain, hasil dari dua survei menciptakan korelasi baru yang lebih kontradiktif dari perkiraan normal, yaitu rakyat Indonesia di zaman ini sudah lebih melek terhadap pengetahuan kekuasaan dan seperangkat konstitusi yang mengaturnya. Hal ini dibuktikan dengan kepuasan rakyat yang menyentuh angka persentase cukup tinggi dengan perbandingan persentase yang rendah terkait persetujuan perpanjangan masa jabatan presiden. Jawaban ini seharusnya menjadi refleksi riil yang membuktikan bahwa perpanjangan masa jabatan presiden hanyalah perihal persepsi semata, pilihan yang tak seharusnya dipilih, dan kebakuan konstitusi yang harus diterima secara mutlak oleh seluruh elemen negara.
ADVERTISEMENT