Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Dampak Korupsi yang Luar Biasa Merugikan, Mengapa Koruptor Tidak Dihukum Mati?
25 November 2024 10:40 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Vania Azarine tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Korupsi telah lama menjadi salah satu masalah terbesar di Indonesia, menggerogoti sendi-sendi kehidupan bangsa. Tahun lalu, ICW (Indonesia Corruption Watch) mencatat ada 791 kasus korupsi di Indonesia sepanjang tahun 2023, jumlah tersangkanya mencapai 1.695 orang. ICW juga menyebutkan bahwa kerugian negara akibat korupsi di Indonesia pada tahun 2023 mencapai Rp 56 triliun. Namun, hanya Rp 7,3 triliun yang berhasil dikembalikan.
ADVERTISEMENT
Dikutip dari artikel berjudul "Ayo Kenali dan Hindari 30 Jenis Korupsi Ini!" yang didapat dari aclc.kpk.go.id, dalam buku Kapita Selekta dan Beban Biaya Sosial Korupsi telah dijelaskan definisi korupsi di dalam 13 pasal Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Berdasarkan pasal-pasal tersebut, tindak pidana korupsi dirumuskan ke dalam 30 jenis yang kemudian dikelompokkan lagi menjadi 7 tindak pidana korupsi sebagai berikut:
1. Kerugian Keuangan Negara
Tindakan ini melibatkan penyalahgunaan wewenang untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain secara ilegal, yang mengakibatkan kerugian bagi negara. Contohnya termasuk mark-up anggaran oleh pegawai pemerintah untuk mendapatkan keuntungan dari selisih harga.
2. Suap Menyuap
Suap adalah tindakan memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri, penyelenggara negara, hakim, atau advokat dengan maksud untuk mempengaruhi tindakan mereka. Ini bisa terjadi antara pegawai negeri atau dengan pihak luar, seperti perusahaan swasta yang memberikan suap agar memenangkan tender.
ADVERTISEMENT
3. Penggelapan dalam Jabatan
Penggelapan dalam jabatan mencakup tindakan merampas uang atau surat berharga, serta memalsukan dokumen untuk menghindari pemeriksaan. Contoh ini sering melibatkan pegawai negeri yang merusak bukti untuk melindungi pelaku suap.
4. Pemerasan
Pemerasan terjadi ketika pegawai negeri menyalahgunakan kekuasaan untuk memaksa seseorang memberikan uang atau barang. Misalnya, pegawai yang meminta biaya lebih untuk pengurusan dokumen resmi.
5. Perbuatan Curang
Perbuatan curang dilakukan dengan sengaja untuk kepentingan pribadi yang dapat membahayakan orang lain. Contoh termasuk pemborong yang menurunkan kualitas barang dalam proyek pemerintah.
6. Benturan Kepentingan dalam Pengadaan
Ini terjadi ketika pegawai negeri terlibat dalam proses pengadaan dan memasukkan kepentingan pribadi atau keluarganya, seperti memenangkan tender untuk perusahaan milik keluarga.
ADVERTISEMENT
7. Gratifikasi
Gratifikasi adalah pemberian barang kepada pegawai negeri yang dianggap sebagai suap jika berkaitan dengan jabatannya dan tidak dilaporkan kepada KPK. Misalnya, hadiah mahal dari pengusaha kepada pejabat pemerintah dengan harapan mendapatkan proyek.
Setiap kalangan masyarakat pasti sepakat bahwa korupsi adalah tindakan yang sangat amat merugikan dan perlu diberantas. Dampaknya sangat mempengaruhi suatu negara dalam berbagai aspek. Seperti dalam aspek ekonomi, korupsi dapat memperlambat perekonomian suatu negara dan mencegah investor masuk. Karena investor tidak akan berminat untuk berinvestasi di negara dengan tingkat korupsi tinggi. Selain itu, korupsi dapat meningkatkan biaya pelayanan publik. Ketika dana publik dikorupsi, harga jasa dan barang yang seharusnya terjangkau menjadi mahal. Ini membuat warga miskin semakin sulit untuk mengakses layanan kesehatan dan pendidikan yang berkualitas.
ADVERTISEMENT
Ditinjau dari dampak korupsi yang dapat membahayakan nasib suatu negara, tentu saja perlu adanya hukuman berat untuk para pelaku korupsi atau koruptor. Meskipun koruptor kerap mendapatkan hukuman berat, isu tentang hukuman mati bagi koruptor masih menjadi perdebatan hangat di berbagai kalangan. Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, hukuman mati hanya dapat dijatuhkan dalam keadaan tertentu, seperti saat terjadi krisis ekonomi atau bencana alam. Namun, definisi "keadaan krisis" ini belum jelas, sehingga membuat jaksa enggan menuntut dengan hukuman mati.
Adanya Pertimbangan Hukum dan Hak Asasi Manusia juga menjadi salah satu faktor utama mengapa di Indonesia belum ada hukuman mati untuk koruptor. Hukuman mati dianggap sebagai bentuk hukuman yang tidak dapat dibalik. Jika seseorang dihukum mati dan kemudian terbukti tidak bersalah, tidak ada cara untuk memperbaiki kesalahan tersebut. Selain itu, banyak aktivis hak asasi manusia (HAM) menentang hukuman mati, berargumen bahwa hak hidup adalah hak yang tidak dapat dicabut kecuali oleh Tuhan. Dalam hukum Indonesia, Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 menegaskan bahwa hak hidup adalah hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun, meskipun ada pembatasan yang diatur dalam Pasal 28J.
ADVERTISEMENT
Hukuman mati di Indonesia memiliki hubungan yang kuat dengan ideologi Pancasila, yang merupakan dasar negara dan pandangan hidup bangsa. Pancasila mengandung nilai-nilai yang berhubungan erat dengan hak asasi manusia. Penghilangan nyawa seseorang melalui hukuman mati dianggap melanggar hak paling dasar dari manusia, yaitu hak hidup. Dalam perspektif Pancasila, negara seharusnya melindungi dan menghormati hak-hak setiap individu, bukan merampasnya. Sila kedua Pancasila menekankan pentingnya nilai kemanusiaan. Hukuman mati sering dianggap bertentangan dengan prinsip ini karena dianggap sebagai bentuk hukuman yang kejam, tidak manusiawi, dan mengingkari hak asasi manusia, terutama hak untuk hidup, yang tertuang dalam Pasal 28A UUD 1945. Penerapan hukuman mati dapat dilihat sebagai pelanggaran terhadap nilai-nilai kemanusiaan yang diusung oleh Pancasila.
ADVERTISEMENT
Selain itu, sistem penegakan hukum di Indonesia sering kali dianggap lemah, dengan banyak kasus korupsi yang dihukum dengan ringan. Sebagian besar terdakwa korupsi hanya dijatuhi hukuman penjara singkat. Hal ini menciptakan persepsi bahwa sistem hukum tidak cukup tegas dalam menangani pelaku korupsi, sehingga penerapan hukuman mati dianggap tidak sejalan dengan praktik penegakan hukum yang ada. Hukuman mati belum menjadi solusi efektif untuk memberantas korupsi. Penerapan hukuman mati belum dapat mengurangi tingkat kejahatan, termasuk korupsi. Sebaliknya, fokus pada penguatan sistem hukum dan pengawasan dianggap lebih penting untuk mencegah tindakan korupsi di masa depan.