Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Beberapa Wanita Kashmir Berprestasi dalam Olahraga Meskipun Ada Tabu Sosial
31 Agustus 2022 12:14 WIB
Tulisan dari Veeramalla Anjaiah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Oleh Veeramalla Anjaiah
Banyak orang biasanya tidak mendukung anak perempuan untuk berpartisipasi dalam olahraga karena mereka merasa bahwa olahraga hanya diperuntukkan bagi anak laki-laki. Banyak gadis di Jammu dan Kashmir (J&K), India, melanggar tabu sosial ini dengan tidak hanya berpartisipasi dalam olahraga tetapi juga memenangkan banyak medali di berbagai turnamen.
ADVERTISEMENT
Beberapa dari mereka telah menjadi pelatih dan membuka sekolah olahraga untuk mengajarkan olahraga kepada anak-anak perempuan.
Pemain sepak bola terkenal Nadiya Nighat dari J&K adalah salah satu wanita yang menjadi pelatih sepak bola. Ia adalah pelatih sepak bola wanita pertama di J&K.
Ia telah menghadapi banyak rintangan di sepanjang perjalanannya di Kashmir yang mayoritas Muslim konservatif.
Nighat mulai bermain sepak bola pada usia 11 tahun dengan anak laki-laki di kotanya.
Menurut situs web www.dw.com, kadang-kadang, ia dipukuli dan distigmatisasi oleh keluarga dan tetangganya karena bermain permainan yang "tidak dimaksudkan untuk wanita”.
"Keluarga saya awalnya tidak menyukai gagasan berkarir di sepak bola," kata Nighat kepada DW beberapa waktu lalu.
"Mereka akan menyuruhku melakukan sesuatu yang lain."
ADVERTISEMENT
Nighat telah membuktikan bakatnya dalam sepak bola dengan memenangkan begitu banyak trofi di berbagai turnamen.
Awalnya, ia bermain dengan anak laki-laki. Ada satu hal lucu yang terjadi saat ia bermain dengan anak laki-laki.
“Saya ingat, tahun 2013, saya melewatkan final di Polo Ground Srinagar,” katanya kepada surat kabar The Guardian.
“Tim lawan mempertanyakan keikutsertaan saya dalam tim anak laki-laki, saya tidak bisa bermain dan momen itu membuat saya kecewa. Kadang-kadang saya merasa sakit hati ketika orang berkomentar, tetapi banyak hal berubah dan sekarang orang yang sama memuji saya karena etos kerja saya,” kata Nighat kepada The Guardian.
Tetapi pelatihnya mendorongnya untuk terus bermain, tambahnya.
Nighat mengatakan bahwa ia sempat berpikir untuk menyerah pada mimpinya berkali-kali dalam karirnya. Akhirnya, ia memutuskan untuk menjadi pelatih sepak bola.
ADVERTISEMENT
Sekarang di usianya yang ke-25 tahun, Nighat sudah menjadi pelatih sepak bola wanita pertama Kashmir, melatih 30 pesepakbola wanita muda berusia 11-20 tahun. Ia menjalankan akademi sepak bola untuk anak perempuan.
Jika kita mengunjungi lapangan sepak bola di dekat akademi Nighat pada sore yang cerah, kita bisa melihat gadis-gadis berhijab dan berseragam sedang berlari-lari untuk pemanasan latihan.
Menurut Nighat, anak perempuan bisa belajar disiplin dengan bermain sepak bola.
"Saya ingin membuat mereka tangguh dan tepat waktu. Saya ingin mengajari mereka pentingnya tepat waktu dalam olahraga," kata Nighat kepada DW baru-baru ini.
Stigma sosial
Ada begitu banyak stigma sosial tentang partisipasi anak perempuan dalam olahraga di masyarakat tradisional Kashmir.
"Tetangga kami akan membicarakan saya dan memberitahu ibu saya untuk tidak mengizinkan saya bermain dengan anak laki-laki. Tapi sekarang, setelah pekerjaan saya mendapatkan pengakuan, mereka mendukung saya," ujar Nighat.
ADVERTISEMENT
Nighat mengatakan bahwa keluarga dan tetangga-tetangganya perlu diyakinkan bahwa perempuan dapat berpartisipasi dalam olahraga.
Namun, terlepas dari kesuksesannya sendiri, Nighat sadar bahwa olahraga terus menjadi pilihan sulit bagi wanita di Kashmir.
"Saya punya banyak teman yang ingin bermain sepak bola, tetapi karena tekanan keluarga, mereka berhenti. Beberapa gadis akan datang ke lapangan tanpa memberitahu keluarga mereka," papar Nighat.
Nighat telah menjalankan fasilitas pelatihan selama enam tahun dan mendorong anak-anak perempuan untuk terlibat di atletik.
"Saya hanya berusaha untuk membantu kaum muda dan kebanyakan gadis-gadis muda. Asosiasi sepak bola lokal membantu saya. Di Kashmir, saya merasa penting untuk menjadi pelatih karena anak perempuan sulit mendapatkan pelatihan," tutur Nighat kepada DW.
Banyak gadis yang melakukan perjalanan jauh untuk datang ke akademi Nighat demi mendapatkan pelatihan.
ADVERTISEMENT
"Beberapa gadis melakukan perjalanan 40 kilometer setiap harinya untuk berlatih. Ini memotivasi saya bahwa saya melakukan sesuatu yang berharga. Saya mungkin membantu mereka untuk mewujudkan impian mereka," jelasnya.
Misalnya seperti Haniya Muzaffar, 14, yang naik bus ke tempat latihan sepak bola Nighat.
"Saya mengetahui tentang akademi untuk anak perempuan ini di media sosial dan kemudian bergabung," tambahnya.
Shaheena, seorang ibu yang menemani putrinya yang masih kecil ke pelatihan sepak bola Nighat, menghabiskan berjam-jam dari harinya untuk menghadiri sesi pelatihan putrinya.
Nighat mengatakan bahwa ia berencana untuk memperoleh lisensi tingkat atas untuk pelatih sepak bola di India.
"Ini masih perjuangan bagi saya; ketika seorang wanita memulai sesuatu, ada begitu banyak kekuatan untuk menghentikannya," ujarnya.
ADVERTISEMENT
"Ini perjuangan untuk anak perempuan; beberapa orang tua memberikan dukungan, tetapi seringnya kita menghadapi banyak tantangan," tambahnya.
Pemain kriket yang miskin
Perjuangan perempuan di Kashmir tidak hanya sebatas sepak bola.
Lihatlah Jasia Akhtar, gadis desa yang biasa bermain kriket dengan sandal plastik karena tidak mampu membeli sepatu dan pakaian kriket.
Kriket, yang populer di India, Pakistan, Sri Lanka, Australia, Selandia Baru dan Inggris, adalah permainan pemukul dan bola yang dimainkan antara dua tim yang masing-masing terdiri dari 11 pemain di lapangan yang di tengahnya terdapat lapangan setinggi 20 meter dengan gawang di setiap ujungnya, masing-masing terdiri dari dua bail yang diseimbangkan pada tiga tunggul. Mungkin, ini adalah permainan terpanjang di semua olahraga. Durasi berkisar dari beberapa jam hingga lima hari tergantung pada jenis pertandingan atau tesnya.
ADVERTISEMENT
Ayah Akhtar, Gul Mohammed Wani, adalah seorang petani kecil di perkebunan apel.
“Saya akan meninggalkan rumah lebih awal dengan bus lokal untuk berlatih di mana pria berlatih di distrik kami. Tidak ada konsep wanita bermain. Semua orang menertawakan saya,” kata Akhtar kepada DW baru-baru ini.
Tetapi tekad dan ketekunan Akhtar terbayar, dan ia akhirnya mewakili tim kriket wanita junior India serta telah bermain di Liga Premier India. Ia saat ini bermain untuk sebuah tim di negara bagian Rajasthan.
"Saya menjadi pemain kriket wanita pertama dari Kashmir yang terpilih untuk tim kriket nasional wanita India," ujar Akhtar kepada DW.
“Saya tidak memiliki dukungan keuangan, tetapi saya selalu berpikir jika saya menunggu sepatu yang tepat, maka perjalanan saya akan terjebak dalam menunggu. Sebaliknya, saya mulai berlatih dengan sandal yang sama dengan yang saya miliki. Saya mengikuti hasrat saya dan tidak mengindahkan mereka yang mengatakan kepada saya bahwa tidak ada karir bagi wanita dalam kriket," ungkapnya.
ADVERTISEMENT
Di distrik Shopian-nya, Akhtar berencana untuk memulai akademi kriket untuk melatih gadis-gadis muda di Kashmir selatan.
"Saya tahu ada ribuan perempuan yang memiliki keinginan kuat untuk bermain kriket. Tapi ada yang tertahan oleh rasa takut, ada yang oleh keluarganya, ada yang oleh masyarakat dan sebagian besar karena kurangnya kesempatan," paparnya.
Terlepas dari semua hambatan dan keputusasaan, banyak wanita India dan Indonesia bersinar dalam olahraga dan membuat negara mereka bangga.
Sania Mirza dari India, mantan petenis nomor 1 dunia tenis putri, telah memenangkan 6 gelar utama — tiga ganda dan tiga ganda campuran — dalam karirnya.
India juga telah melahirkan atlet-atlet hebat seperti Mary Kom (tinju), Mithali Raj (kriket), Saina Nehwal (bulu tangkis), P.V. Sindhu (bulu tangkis), Geeta Phogat (gulat), Sakshi Malik (gulat), Deepika Kumari (panahan), Tania Sachdev (catur), Rani Ramphal (hoki) dan Deepika Palikat (skuas).
Di Indonesia, kita memiliki atlet olahraga wanita legendaris seperti Yayuk Basuki (tenis) dan Susi Susanti (bulu tangkis).
Indonesia juga telah melahirkan pemain bulu tangkis hebat seperti Maria Kristin Yulianti, Mia Audina, Vita Marissa, Liliyana Natsir dan Minarti Timur, ratu tenis seperti Angelique Widjaja dan Wynne Prakusya, serta wanita kuat seperti Raema Lisa Rumbewas (angkat besi), Winarni Binti Slamet (angkat besi) dan Sri Indriyani (angkat besi).
ADVERTISEMENT
Semoga jutaan masyarakat Indonesia bisa belajar tentang olahraga dan beberapa di antaranya bisa membanggakan keluarga dan negara.
Veeramalla Anjaiah adalah seorang peneliti senior di Center for Southeast Asian Studies (CSEAS) Jakarta dan seorang jurnalis senior yang berdomisili di Jakarta.