Konten dari Pengguna

QRIS di Persimpangan: Ketika PPN 12% Mengusik Transformasi Digital UMKM

Varda Lu'lu Suci Mudzakkir
Mahasiswa konsentrasi Public RelationsĀ FISIPĀ UMJ
14 Januari 2025 13:39 WIB
Ā·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Varda Lu'lu Suci Mudzakkir tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Kenaikan Pajak Tol. Soucre : Freepik.com
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Kenaikan Pajak Tol. Soucre : Freepik.com
ADVERTISEMENT
Bayangkan seorang pedagang gorengan di pinggir jalan yang baru saja bangga memasang QR code di gerobaknya, tiba-tiba harus menghadapi kenyataan bahwa setiap transaksi digitalnya kini terbebani PPN 12%. Inilah realitas yang muncul sejak awal 2024, ketika pemerintah memberlakukan Pajak Pertambahan Nilai pada biaya administrasi QRIS-sebuah kebijakan yang memicu gelombang perdebatan di tengah masyarakat.
ADVERTISEMENT
Penerapan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12% pada biaya administrasi transaksi QRIS telah memicu berbagai perdebatan di kalangan masyarakat dan pelaku usaha. Kebijakan yang mulai diberlakukan pada awal tahun 2024 ini merupakan implementasi dari UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Seperti yang disampaikan oleh Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Suryo Utomo, "Pengenaan PPN pada biaya admin QRIS merupakan bagian dari upaya pemerintah dalam mengoptimalkan penerimaan negara dari sektor digital yang terus berkembang pesat." Namun, di balik tujuan fiskal tersebut, terdapat kekhawatiran mengenai dampaknya terhadap inklusi keuangan digital yang selama ini menjadi fokus pemerintah.
Ada indikasi bahwa regulator tidak mempersiapkan dan menginformasikan masyarakat dengan baik sebelum penerapan kebijakan PPN pada biaya administrasi QRIS. Meskipun QRIS telah menjadi tulang punggung transformasi digital dalam pembayaran sehari-hari, pemerintah dan lembaga terkait tampaknya tidak menyelidiki secara menyeluruh dampak kebijakan ini terhadap adopsi pembayaran digital di Indonesia, khususnya di sektor UMKM. Kebijakan ini terkesan mendadak dan membingungkan masyarakat karena struktur sosialisasi, terutama bagi bisnis mikro yang sensitif terhadap perubahan biaya operasional.
ADVERTISEMENT
Penerapan PPN pada biaya admin QRIS berpotensi memberikan tekanan tambahan bagi para pelaku UMKM yang selama ini mengandalkan sistem pembayaran digital. Menurut data dari Bank Indonesia, "Hingga akhir tahun 2023, lebih dari 35 juta merchant QRIS telah terdaftar di seluruh Indonesia, dengan mayoritas merupakan pelaku usaha mikro dan kecil." Peningkatan biaya transaksi, meskipun terlihat kecil, dapat berdampak signifikan pada margin keuntungan para pedagang kecil yang beroperasi dengan margin tipis.
Ketika kebijakan ini mulai diberlakukan, respons negatif segera bermunculan dari berbagai lapisan masyarakat. Para pelaku UMKM, yang selama ini menikmati kemudahan QRIS dan biaya administrasi yang murah, menghadapi dilema antara kembali ke transaksi tunai atau tetap menggunakan QRIS. Untuk menanggapi masalah ini, pemerintah dan Bank Indonesia menjelaskan bahwa PPN hanya dikenakan pada biaya administrasi, bukan pada nilai transaksi. Meskipun demikian, penjelasan ini tidak sepenuhnya meredakan kemarahan masyarakat. Banyak asosiasi pedagang dan UMKM menyuarakan ketidaksetujuan mereka karena mereka khawatir margin keuntungan mereka akan semakin tergerus. Pelaku usaha kecil, yang merupakan pengguna utama layanan QRIS, cenderung menjadi objek dari respons krisis yang cenderung reaktif.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, penetapan PPN pada biaya admin QRIS dapat dipandang sebagai langkah penyetaraan perlakuan perpajakan di sektor keuangan digital. Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Aviliani, berpendapat bahwa "Pengenaan PPN pada layanan keuangan digital merupakan konsekuensi logis dari transformasi digital yang sedang berlangsung." Namun, timing penerapannya perlu dipertimbangkan mengingat kondisi ekonomi yang masih dalam masa pemulihan. Bank Indonesia mencatat "Pertumbuhan transaksi QRIS yang mencapai 400% pada tahun 2023," menunjukkan bahwa sistem pembayaran digital telah menjadi tulang punggung transformasi ekonomi digital Indonesia.
Beberapa pelajaran penting dapat dipetik dari perdebatan ini setelah krisis. Pertama, dampak kebijakan harus diperiksa secara menyeluruh sebelum diterapkan, terutama jika berkaitan dengan instrumen pembayaran yang telah diterima secara luas. Kedua, sangat penting untuk melakukan komunikasi yang terorganisir dan jelas kepada seluruh pemangku kepentingan. Ketiga, penting untuk mempertimbangkan kondisi usaha kecil dan menengah (UMKM) yang masih dalam proses pemulihan setelah pandemi. Ke depan, untuk meminimalkan dampak kebijakan serupa terhadap sektor UMKM, pemerintah harus mengembangkan mekanisme insentif atau kompensasi. Selain itu, evaluasi berkala terhadap pelaksanaan kebijakan ini diperlukan untuk memastikan bahwa tujuan penerimaan negara tetap selaras dengan upaya inklusi keuangan digital.
ADVERTISEMENT
Solusi yang dapat dipertimbangkan adalah penerapan kebijakan yang lebih terdiferensiasi berdasarkan skala usaha. Sebagaimana diusulkan oleh Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Tauhid Ahmad, "Pemerintah dapat mempertimbangkan pemberian insentif atau kompensasi khusus bagi UMKM untuk mengimbangi dampak pengenaan PPN pada biaya admin QRIS." Pendekatan bertahap dan selektif ini dapat membantu menjaga momentum pertumbuhan ekonomi digital sambil tetap memperhatikan aspek penerimaan negara.
Dalam menghadapi gelombang kritik terkait penerapan PPN 12% pada biaya admin QRIS, peran Public Relations (PR) menjadi sangat krusial sebagai jembatan komunikasi antara pemerintah dan masyarakat. PR dari institusi terkait seperti Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia seharusnya dapat mengambil pendekatan proaktif dalam mengelola krisis komunikasi ini. Beberapa strategi PR yang seharusnya diterapkan meliputi: penyusunan pesan yang jelas dan konsisten tentang latar belakang kebijakan, pembentukan tim komunikasi krisis yang responsif, serta pelibatan influencer ekonomi dan tokoh UMKM sebagai komunikator pendukung. Sayangnya, respons PR cenderung reaktif dan kurang terkoordinasi, yang menyebabkan informasi tidak tersampaikan secara efektif kepada publik. Hal ini terlihat dari minimnya sosialisasi komprehensif sebelum implementasi kebijakan dan ketidaksiapan dalam menghadapi pertanyaan-pertanyaan kritis dari media dan masyarakat.
ADVERTISEMENT
PR juga seharusnya berperan dalam membangun narasi yang menjembatani kepentingan pemerintah dan kekhawatiran pelaku UMKM. Misalnya, dengan mengomunikasikan berbagai program pendampingan atau insentif yang dapat membantu UMKM beradaptasi dengan kebijakan baru ini. Selain itu, PR dapat memanfaatkan berbagai kanal komunikasi, mulai dari media massa konvensional hingga platform digital, untuk menyebarkan informasi yang akurat dan mudah dipahami tentang mekanisme pengenaan PPN pada biaya admin QRIS. Keterlibatan aktif PR dalam mengedukasi masyarakat dan mengelola persepsi publik sangat penting untuk meminimalisir dampak negatif dari penerapan kebijakan ini.
Krisis PPN QRIS ini menunjukkan betapa pentingnya mengimbangi kepentingan penerimaan negara dengan pemberdayaan ekonomi digital basis. Untuk membuat peraturan serupa di masa mendatang, pengambil kebijakan harus mengambil pelajaran dari krisis ini. Kebijakan yang bermaksud baik justru dapat mengganggu agenda transformasi digital nasional jika kepentingan berbagai pihak tidak diatur.
ADVERTISEMENT
Melihat ke depan, keseimbangan antara kepentingan fiskal dan pengembangan ekonomi digital perlu terus dijaga. Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo, menekankan bahwa "Digitalisasi sistem pembayaran merupakan kunci dalam mendorong pemulihan ekonomi nasional dan inklusi keuangan." Oleh karena itu, evaluasi berkala terhadap dampak kebijakan ini perlu dilakukan untuk memastikan bahwa pengenaan PPN pada biaya admin QRIS tidak kontraproduktif terhadap upaya digitalisasi ekonomi yang telah dibangun selama ini.