Konten dari Pengguna

Tahun Baru 2025: Apakah Resolusi Merupakan Solusi?

Venere Arganiswari Danitta
Seorang mahasiswa Universitas Multimedia Nusantara, jurusan Jurnalistik, angkatan 2024.
18 November 2024 12:17 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Venere Arganiswari Danitta tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Mengingatkan saya akan waktu yang berjalan begitu cepat dan saya yang semakin tua dengan tanggung jawab yang semakin banyak. Beban hidup bertambah, amarah pun juga ikut bertambah. Saya ingin menjadi orang yang lebih baik di tahun baru ini. Saya harus bisa menjadi seseorang yang baru di tahun yang baru! Bagaimana caranya? Apa solusinya? Ya, membuat resolusi tahun baru terlebih dahulu. Tuangkan saja keinginan yang ingin dicapai di dalam resolusi tahun baru. Namun, apa yang biasa saya lakukan setelah itu? Melupakan dan menundanya. Kalimat yang biasa saya ucapkan, “Tahun ini tidak tercapai tapi ‘kan selalu ada next year!” Apakah saya hipokrit? Bisa jadi.
Terjemahan: Menurunkan berat badan, menjadi produktif, mendapatkan lebih banyak uang. Sumber: Hasil potret sendiri
zoom-in-whitePerbesar
Terjemahan: Menurunkan berat badan, menjadi produktif, mendapatkan lebih banyak uang. Sumber: Hasil potret sendiri

New year, new delusion!

ADVERTISEMENT
Saya akui bahwa saya pernah membuat resolusi tahun baru sebelumnya. Pembuatan resolusi tahun baru ini biasa disebabkan oleh rasa euforia akan kemungkinan baru apa saja yang akan terjadi di tahun baru tersebut. Tahun sudah berubah, sekarang saya juga harus berubah. Untuk berubah, saya harus menjadi lebih baik. Untuk menjadi lebih baik, saya harus tahu target-target saya. Untuk mengetahui target-target, saya membuat resolusi tahun baru. Apakah pada akhirnya saya berkomitmen penuh mewujudkan isi dari resolusi tahun baru? Jawabannya tidak. Fenomena ini sempat diteliti oleh Pragya Agarwal, Profesor Tamu Bidang Ketimpangan dan Ketidakadilan Sosial, Universitas Loughborough.
Mengutip data dari artikel berjudul, “New year resolutions: why your brain isn’t wired to stick to them – and what to do instead” yang ditulis oleh Pragya Agarwal, pada tahun 2023, hampir 58% masyarakat Inggris membuat resolusi tahun baru. Sekitar 30 juta orang dewasa Inggris membuat resolusi tahun baru yang seperempat dari isinya tentang menghasilkan uang lebih banyak, menurunkan berat badan, dan meningkatkan kepribadian. Kebanyakan dari resolusi tersebut berakhir pada 19 Januari. Bukan berakhir karena tercapai, melainkan berakhir karena terlupakan.
ADVERTISEMENT
Menurut Pragya Agarwal, kegagalan resolusi tersebut disebabkan oleh target-target yang tidak jelas. Target-target tersebut memiliki fokus pada kualitas yang tidak dapat diukur seperti menjadi lebih sehat dan lebih bahagia. Kapan seseorang dapat dikatakan sehat? Apa artinya menjadi bahagia? Kalau ingin menghasilkan uang yang lebih banyak, berapa jumlahnya?
Target yang tidak jelas tidak dapat mengarahkan kita. Jika tidak tahu harus pergi ke mana, kita kesulitan untuk mengetahui jalan mana yang harus diambil. Mustahil bagi kita untuk mengetahui seberapa jauh kita harus melangkah untuk mencapai tujuan kita, hambatan apa yang harus kita atasi, dan bagaimana mempersiapkannya.
Menetapkan target yang tidak dapat dicapai ini juga disebabkan oleh rasa ingin menantang diri sendiri. Hal ini dapat menjadi suatu paradoks yang disebut dengan effort paradox di mana otak kita menyukai ide untuk berusaha, tetapi pada kenyataannya merasa tidak nyaman. Kita ingin berpikir bahwa rasa puas akan tercapai ketika menantang diri sendiri untuk mencapai target yang sulit.
ADVERTISEMENT
Selain itu, tidak adanya rasa koneksi dengan diri sendiri di masa depan dapat menjadi salah satu penyebab penetapan target yang tidak jelas. Artinya kita bias terhadap diri kita di masa sekarang. Menjadi sulit bagi kita untuk membayangkan rintangan hidup yang akan dihadapi oleh diri kita di masa depan untuk mewujudkan resolusi tahun baru.
Kita memikirkan tujuan akhir di masa sekarang, bukan proses mewujudkan target. Mudah untuk membayangkan tujuan akhirnya dibandingkan mewujudkannya.

Kebiasaan malas

Salah satu resolusi tahun baru saya sebelumnya adalah mengerjakan tugas sekolah lebih awal dan tidak mepet dengan hari tenggat. Bagaimana saya akan mewujudkan resolusi ini? Tentunya dengan memanfaatkan teknologi alarm dan kalender digital pada ponsel. Apakah ini efektif? Tentu tidak. Mengapa demikian? Karena saya terbiasa malas. Bila kamu pernah menggunakan alarm pada ponsel, tentunya kamu tahu kata ‘snooze’ yang secara harfiah memiliki arti ‘tidur sebentar’. Tombol snooze ini merupakan tombol untuk menunda alarm selama beberapa menit. Tombol ini setidaknya saya tekan 3-5 kali kemudian saya mengatakan, “Deadline masih lama. Besok saja, deh!” Pada akhirnya saya selalu mengerjakan tugas 1-2 hari sebelum hari tenggat. Kebiasaan seperti inilah yang dapat membuat kita malas mewujudkan resolusi tahun baru. Mengapa begitu?
ADVERTISEMENT
Pragya Agarwal mengatakan bahwa otak kita malas dan mau meminimalkan beban kognitif. Artinya, kita mengulang apa yang sudah nyaman untuk kita dibandingkan melakukan hal yang berbeda dan baru. Untuk mewujudkan resolusi, kita perlu mengubah kebiasaan yang mengakar ini. Namun, otak akan menolak ketidaknyamanan dari mengubah suatu kebiasaan. Ketika otak menolak ketidaknyamanan ini, kita tergoda untuk kembali ke tempat yang lebih nyaman.
Semakin kita fokus pada tujuan daripada proses yang diperlukan untuk mencapai tujuan tersebut, semakin kita merasa sulit untuk mengubah pola pikir kita dan menciptakan kebiasaan yang diperlukan. Hal ini menjadi siklus buruk karena semakin kita stres terhadap sesuatu, semakin besar keinginan kita untuk kembali ke tempat yang nyaman.
ADVERTISEMENT

Menjadi sama

Mengubah kebiasaan menjadi suatu hal yang mustahil ketika kita sudah dibutakan oleh resolusi tahun baru yang ideal. Namun, untuk benar-benar sukses mengubah diri kita, kita perlu tahu siapa diri kita yang sebenarnya.
Penting bagi kita untuk menentukan target yang realistis bagi diri kita sendiri. Misalnya, akhir-akhir ini saya lebih banyak menghabiskan waktu dengan scrolling media sosial dan sering kali merasa iri dengan mereka yang memiliki waktu untuk melakukan hobinya. Dari masalah tersebut, saya membuat resolusi tahun baru untuk tidak menghabiskan waktu dengan scrolling media sosial, tetapi menghabiskan waktu dengan melakukan hobi. Mengisi waktu media sosial yang hanya menimbulkan rasa iri dengan hobi dapat menjadi hal yang positif. Apalagi hobi merupakan hal yang selalu saya nantikan.
ADVERTISEMENT
Itulah kuncinya. Membuat target yang dekat dengan kita seperti hobi. Kita perlu lebih mengapresiasi proses dibandingkan tujuannya. Fokus pada sisi positif dari proses daripada sisi negatifnya. Semakin sering kita mencemaskan sisi negatifnya, semakin kita tidak mau mewujudkan resolusi tahun baru. Buatlah resolusi tahun baru yang pasti dapat dijalani sepenuh hati. Jadi jika kamu ingin berubah, terimalah dirimu apa adanya. Bukankah ini menjadi ‘New year, old me’? Apa salahnya menjadi orang yang sama? Dirimu sama, tetapi hidupmu pasti berbeda di masa lalu, sekarang, dan masa depan.
Referensi:
ADVERTISEMENT