Indonesia Perlu Tingkatkan Literasi Digital Perempuan untuk #BreaktheBias

Center for Indonesian Policy Studies (CIPS)
Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) adalah lembaga kajian atau think tank yang independen, non-profit dan non-partisan. CIPS mengadvokasi perubahan lewat reformasi kebijakan berdasarkan analisis dan penelitian untuk Indonesia yang sejahtera.
Konten dari Pengguna
5 April 2022 13:53 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
courtesy of Latasha Safira
zoom-in-whitePerbesar
courtesy of Latasha Safira
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Latasha Safira, Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS)
International Women’s Day (IWD) tahun ini memilih tema #BreakTheBias, untuk mendobrak bias terhadap kaum perempuan dengan menonjolkan prestasi dan pencapaian tokoh perempuan dalam berbagai bidang, termasuk sosial, budaya, ekonomi, sains dan politik.
ADVERTISEMENT
Kenyataan yang ada menunjukkan bahwa mayoritas perempuan masih mengalami tantangan dan kesulitan dalam memperoleh dan menikmati kesetaraan. Masih banyak perempuan yang terhalang oleh stereotip, stigma dan budaya misoginis sehingga tidak dapat mengakses kesempatan kerja dan jenjang karir yang sama dengan laki-laki.
Salah satu penyebab kesenjangan gender ini adalah kurangnya literasi digital mereka, keterampilan dalam menggunakan teknologi secara produktif dan reflektif. Saat ini, kegiatan ekonomi bertransformasi ke arah yang semakin digital dan pemberi kerja, swasta maupun pemerintah, semakin menuntut literasi dan keterampilan digital.
Secara global, perempuan masih cenderung tidak memiliki smartphone, tidak menggunakan internet, dan tidak mengerti (atau menyadari) bagaimana memanfaatkan teknologi untuk meningkatkan taraf hidup dan karir mereka. Semakin sedikit perempuan mengakses perangkat dan teknologi, semakin kecil kesempatan mereka untuk belajar, melatih dan meningkatkan literasi dan keterampilan digital mereka.
ADVERTISEMENT
Dalam jangka panjangnya, kesenjangan perempuan dalam literasi digital dapat berdampak pada kualitas sumber daya manusia dan partisipasi perempuan dalam sains, ekonomi digital dan juga dalam politik. Contohnya, rata-rata perempuan hanya mewakili 29 persen dari peneliti STEM (Science, Technology, Engineering, Mathematics) (UNESCO, 2019).
Inclusive Internet Index mengukur pagu inklusi internet pada tingkat nasional dalam empat kategori: ketersediaan, keterjangkauan, relevansi dan kesiapan. Indonesia masih dinilai sangat rendah di bidang kesiapan, yang mencakup literasi, keamanan dan kebijakan untuk mendukung penggunaan internet yang lebih inklusif. Masih banyak yang harus dilakukan untuk memperbaiki keadaan ini.
Hambatan inklusi yang dihadapi perempuan
Faktor utama dibalik mengapa perempuan tidak dapat mengembangkan literasi digital mereka secara maksimal diduga adalah kesenjangan dalam kepemilikan smartphone serta konektivitas internet. Survei Indeks Literasi Digital Nasional (2021) menyatakan bahwa hanya 57 persen dari responden perempuan di Indonesia menggunakan internet.
ADVERTISEMENT
Kesenjangan besar juga masih terjadi dalam akses internet antara perempuan urban dan yang tinggal di pedesaan. Sementara itu, biaya internet di pedesaan juga cenderung lebih tinggi karena kurangnya persaingan. Memastikan kemudahan askes adalah langkah pertama untuk mendorong pengembangan literasi dan keterampilan digital mereka.
Akan tetapi, menangani akses saja tidak cukup. Kesempatan bagi perempuan untuk meningkatkan literasi digital mereka masih sering terhambat faktor sosial budaya. Karena perempuan masih banyak mengalami keterbatasan dalam mengakses pendidikan formal dan informasi, maka mereka lebih cenderung buta huruf. Padahal, kemampuan membaca dan menulis adalah fondasi keterampilan literasi digital.
Di Indonesia, meski sudah banyak perbaikan dalam mempersempit kesenjangan pendidikan berbasis gender, namun ada beberapa wilayah yang masih perlu diperhatikan. Misalnya, persentase siswa laki-laki di Kabupaten Probolinggo yang terdaftar di sekolah sekitar satu setengah kalinya persentase siswa perempuan (World Bank, 2020).
ADVERTISEMENT
Padahal penggunaan internet terkait dengan pencapaian pendidikan formal. Hanya tujuh persen dari pengguna internet di Indonesia yang berpendidikan rendah (Azali, 2017).
Alasan paling umum mengapa anak perempuan putus sekolah adalah ketidakmampuan orang tua untuk membiayai pendidikan anaknya, kebutuhan anak-anak untuk bekerja ikut meringankan beban keluarga, serta pernikahan anak. Ketika jenjang pendidikan anak perempuan diputus, kesempatan mereka untuk mengembangkan literasi digital kemungkinan besar akan terdampak juga.
Bahkan ketika perempuan dapat mengakses pendidikan formal, minat dan peluang mereka untuk mengembangkan literasi digital jarang difasilitasi. Pratiwi (2020) mengamati bahwa kemampuan siswa perempuan SMK yang mengambil jurusan Teknik Komputer Jaringan jauh lebih sering diragukan oleh para guru saat praktek di laboratorium, walaupun nilai mereka tidak beda jauh dengan rekan laki-laki mereka. Ketertarikan perempuan pada bidang teknologi menurun di SMP karena mereka menganggapnya sebagai “bidang laki-laki” (UNESCO, 2017).
ADVERTISEMENT
Pentingnya solusi “gender-sensitive”
Indonesia telah meningkatkan upaya menjembatani kesenjangan digital literasi secara umum. Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kementerian Kominfo), bersama gerakan Siberkreasi, misalnya, meluncurkan Program Literasi Digital yang menargetkan kepesertaan sebanyak 50 juta pada tahun 2024. Program tersebut cukup komprehensif, mencakup keterampilan digital, budaya digital, perlindungan digital dan etika digital.
Akan tetapi, intervensi saat ini masih kurang menargetkan perempuan secara khusus. Laki-laki tidak mengalami diskriminasi maupun keterbatasan dalam mengembangkan literasi digital seperti halnya perempuan. Perempuan Indonesia perlu solusi-solusi yang lebih sensitif terhadap perbedaan gender.
Selain itu, masih belum banyak program intervensi yang menargetkan perempuan yang telah berumur. Meskipun perempuan diatas umur 50 hanya sekitar 11 persen dari total pengguna internet di Indonesia, laporan dari UNICEF menyatakan bahwa dalam 71.5 persen dari rumah tangga, ibulah yang mendampingi anak-anaknya selama pembelajaran jarak jauh (BPS, 2021).
ADVERTISEMENT
Banyak kaum ibu melaporkan kewalahan dan kebingungan saat mereka berusaha untuk membimbing anaknya dalam pembelajaran daring, terutama karena tidak memiliki literasi dan keterampilan digital yang diperlukan.
Belum lama ini Kementerian Komunikasi dan Informatika dan Siberkreasi bekerja sama dengan Organisasi Aksi Solidaritas Era Kabinet Indonesia Maju dalam meluncurkan program “Perempuan Makin Cakap Digital” untuk meningkatkan literasi digital perempuan. Namun program tersebut lebih fokus terhadap perlindungan digital agar pengguna internet perempuan dapat menyaring informasi daring secara kritis dan melawan hoax.
Walaupun merupakan langkah awal yang baik, intervensi untuk mengatasi kesenjangan literasi digital bagi perempuan harus melebihi itu. Harus lebih proaktif dalam memfasilitasi proses perempuan dalam mewujudkan potensi mereka melalui peningkatan literasi digital.
ADVERTISEMENT
Meskipun Kurikulum Merdeka mengembalikan mata pelajaran TIK di dalamya, perempuan membutuhkan lebih banyak peluang untuk mengembangkan literasi digital mereka diluar pendidikan formal. Kemitraan pemerintah bersama asosiasi dan organisasi masyarakat untuk membangun kesetaraan gender sangat penting, terutama dalam peningkatan kapasitas.
Saat ini, sudah ada banyak organisasi seperti Indonesia Women Information Technology Awareness atau Generation Girl yang bertujuan mendukung perempuan di bidang teknologi dan memperluas pola pikir mereka agar perempuan dapat mengeksplorasi minat mereka dalam TIK tanpa prasangka atau stigma. Penyediaan program peningkatan kapasitas juga memberi kesempatan dan fleksibilitas untuk perempuan yang telah berumur untuk meningkatkan literasi digital mereka.
Indonesia membutuhkan keterwakilan perempuan yang lebih besar dalam “bidang laki-laki” agar #BreaktheBias dapat berhasil, karena keragaman akan membawa lebih banyak dampak positif seperti pada inovasi misalnya. Namun langkah terpenting adalah memastikan bahwa perempuan memiliki kesempatan setara dengan laki-laki dalam pengembangan literasi digital mereka sejak awalnya.
ADVERTISEMENT