Konten dari Pengguna

Hadiah untuk Ibadah: Yes or No?

Vera Itabiliana Hadiwidjojo
A child psychologist & one lucky mom.
13 Mei 2018 8:36 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:09 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Vera Itabiliana Hadiwidjojo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ajarkan Anak Puasa. (Foto: Thinkstock)
zoom-in-whitePerbesar
Ajarkan Anak Puasa. (Foto: Thinkstock)
ADVERTISEMENT
“Aku dong mau dikasih mobil-mobilan pakai remote sama mama kalau puasaku penuh!” ujar seorang anak usia 5 tahunan kepada temannya saat sedang menunggu dijemput sepulang sekolah. Bisa dipastikan anak tersebut pasti akan sangat super semangat dalam menjalankan ibadah puasanya sebulan penuh, demi hadiah tadi. Jadi si anak tadi melakukan ibadahnya semata karena ada hadiah? Bisa jadi iya. Salahkah kita sebagai orangtua jika memberikan hadiah untuk ibadah?
ADVERTISEMENT
Jika kita bicara soal ibadah pada anak, pastilah kita menerangkan apa saja yang dilakukan dalam beribadah sesuai dengan agama yang kita anut masing-masing. Misalnya, shalat lima waktu bagi yang muslim, pergi ke gereja bagi yang kristiani atau bersembahyang di Pura bagi umat Hindu dan seterusnya.
Anak pun akan mudah paham sepanjang kita menerangkan dan juga mencontohkan apa yang dilakukan dalam ibadah tersebut. Setelah anak tahu apa yang harus dilakukan, sekarang tinggal masalah bagaimana anak MAU melakukannya secara rutin, tanpa harus disuruh-suruh atau dipaksa.
Untuk itu, anak harus diberikan alasan yang kuat mengapa dia harus beribadah. Kalau kita tanya pada diri kita sendiri, mengapa saya beribadah? Mungkin jawaban seperti ini yang ada di pikiran kita: supaya dapat pahala, supaya masuk surga, karena agama mengharuskan, sudah jadi kebutuhan, dan sebagainya. Tentunya alasan-alasan ini pulalah yang ingin kita tanamkan pada anak agar mereka paham dan mau dengan sukarela menjalankan ibadah.
ADVERTISEMENT
Namun masalahnya, tahap pemikiran yang dibutuhkan untuk memahami alasan-alasan seperti tadi adalah tahap pemikiran abstrak. Bagaimana dengan anak-anak kita? Sayangnya, tahap perkembangan pemikiran mereka belum sampai ke sana. Menurut pemikiran Piaget, seorang pakar perkembangan kognitif anak ternama, anak baru mulai mampu memahami hal-hal yang abstrak seperti pahala, surga, dosa dan sejenisnya, di tahapan usia memasuki masa remaja atau paling tidak 11 tahun ke atas.
Sebelum itu, anak masih kesulitan untuk memahami hal yang abstrak dan masih sebatas memahami secara logis untuk hal-hal yang konkrit saja. Konkrit artinya yang terlihat, bisa disentuh atau nyata bentuknya bagi anak.
Berdasarkan hal ini, akan sulit bagi kita untuk mengharapkan anak melakukan ibadah karena dia paham akan mendapatkan pahala di akhirat nanti, misalnya. Atau sebaliknya, tidak boleh melakukan sesuatu karena berdosa. Jadi anak perlu didorong dengan sesuatu yang konkrit/nyata agar mereka mau melakukan apa yang kita harapkan, seperti hadiah.
ADVERTISEMENT
Jika bicara soal hadiah, kita tidak bisa terlepas dari apa yang disebut motivasi. Motivasi dapat dibagi menjadi dua, motivasi intrinsik/internal dan motivasi ekstrinsik/eksternal. Motivasi intrinsik adalah keinginan/dorongan untuk melakukan sesuatu demi kepuasan diri sendiri. Contoh, seseorang yang ingin kuliah sampai S3 semata karena ingin membuktikan pada dirinya sendiri bahwa dia mampu.
Sedangkan motivasi ekstrinsik adalah keinginan/dorongan untuk melakukan sesuatu karena adanya hadiah atau sesuatu yang diberikan orang lain pada kita. Contohnya, seseorang yang ingin kuliah sampai S3 agar mendapatkan jabatan yang lebih baik di kantor.
Sebagai orang dewasa, di dalam diri kita sudah berkembang motivasi intrinsik tadi sehingga kita dapat saja melakukan sesuatu meskipun tidak ada hadiah atau konsekuensi tertentu, hanya untuk kepuasan batin semata. Namun beda halnya dengan anak-anak. Masih kaitannya dengan tahap pemikiran mereka yang masih sebatas pemikiran hal-hal yang konkrit saja, motivasi intrinsik belum berkembang secara berimbang dengan motivasi ekstrinsiknya.
ADVERTISEMENT
Pada anak, motivasi yang datang dari luar dirinya-lah yang masih dominan. Perilaku anak masih bergantung pada hadiah atau konsekuensi yang ia dapatkan. Namun dalam perjalanan kehidupan anak, kedua motivasi ini dapat berjalan beriringan. Artinya motivasi intrinsik bisa dikembangkan.
Misalnya, anak yang mendapatkan hadiah karena melakukan ibadah tertentu, juga diberi masukan seperti “Wah, kamu pasti bangga sama diri kamu sendiri karena sudah bisa puasa seminggu penuh...hebat deh anak mama!” Masukan seperti ini akan menumbuhkan rasa bangga, kepercayaan diri dan sikap positif anak terhadap dirinya sendiri sehingga lambat laun akan mengembangkan motivasi intrinsik.
Jika bicara soal mengajarkan tentang ibadah pada anak, kita juga perlu paham terlebih dulu bagaimana cara anak belajar. Menurut Albert Bandura, seorang pakar perkembangan anak ternama juga, anak belajar perilaku yg diharapkan maupun yg tak diharapkan melalui mengamati dan mendengarkan orang-orang di sekitarnya.
ADVERTISEMENT
Anak ibarat seperti busa yang mampu menyerap cairan di sekelilingnya. Jadi tunjukkanlah pada anak perilaku ibadah apa yang diharapkan dari mereka. Jadikan ibadah sebagai bagian dari kebiasaan dalam keseharian di rumah seperti membaca doa sebelum makan atau tidur. Orangtua yang melakukan, anak tinggal meniru.
Selain itu, tunjukkan pula rewarding experience setelah beribadah. Misalnya tersenyumlah atau bicara dengan lembut setelah ibadah. Atau bisa katakana “Duh tenang deh kalau habis berdoa, bisa tidur nyenyak deh mama…” Anak yang belajar lewat mengamati akan menyerap pula pengalaman menyenangkan setelah ibadah ini sehingga lambat laun dia juga ingin mencapai pengalaman yang sama.
Satu hal lagi, anak akan mudah paham sesuatu ketika mereka merasa senang. Jadi lakukanlah dengan menyenangkan. Ibadah memang hal serius tapi bukan berarti cara mengajarkannya juga harus serius dan kaku. Misalnya, kita bisa mengajarkan tentang ibadah lewat lagu atau buku-buku cerita yang menarik.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan bahasan di atas, kita dapat menarik beberapa kesimpulan penting yang dapat kita terapkan dalam pengajaran ibadah pada anak:
ADVERTISEMENT
Vera Itabiliana Hadiwidjojo, S.Psi., Psikolog.