Jebakan Strukturalisme Halloween pada Tragedi Itaewon 2022

Veronica Laura
Mahasiswa Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya Fakultas Psikologi 18 tahun
Konten dari Pengguna
15 November 2022 9:31 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Veronica Laura tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Petugas polisi berjalan di tempat kejadian di mana banyak orang tewas dan terluka karena terinjak-injak saat festival Halloween di Itaewon, Seoul, Korea Selatan, Minggu (30/10/2022). Foto: Kim Hong-Ji/REUTERS
zoom-in-whitePerbesar
Petugas polisi berjalan di tempat kejadian di mana banyak orang tewas dan terluka karena terinjak-injak saat festival Halloween di Itaewon, Seoul, Korea Selatan, Minggu (30/10/2022). Foto: Kim Hong-Ji/REUTERS
ADVERTISEMENT
Halloween merupakan malam peringatan di mana orang-orang menyalakan api unggun dan mengenakan kostum khusus untuk mengusir hantu. Halloween dirayakan setiap tanggal 31 Oktober. Namun, ada juga yang mengatakan bahwa Halloween dikenal dengan sebutan lain seperti Allhaloween, All Hallow’s Eve, atau All Saint’s Eve yang di mana merupakan peringatan untuk menghormati orang kudus dan suci. Perkembangan ini mulai terkenal di beberapa negara di dunia, salah satunya Amerika Serikat. Namun, karena kepercayaan agama Protestan yang masih sangat kental kala itu, membuat Halloween belum dapat dirayakan di sana. Seiring berjalannya waktu yaitu memasuki paruh kedua abad ke-19, Amerika Serikat kedatangan imigran dari Irlandia. Konon, imigran Irlandia inilah yang mempopulerkan perayaan Halloween secara nasional. Sejak saat itu, Halloween pun mulai dirayakan di Amerika Serikat dan negara-negara lainnya, bahkan dijadikan festival yang harus diadakan setiap tahunnya.
ADVERTISEMENT
Perkembangan Halloween yang semakin marak di lingkungan masyarakat membuat adanya pemikiran, pandangan, anggapan, atau stereotype tentang keharusan untuk mengadakan perayaan ini setiap tahunnya. Tradisi Halloween yang konon awalnya sebagai malam keheningan untuk menghormati orang kudus berubah menjadi festival seru-seruan dengan dibaluti vibes seram. Vibes seram yang dimaksud adalah pakaian-pakaian ala hantu dan film horror, riasan wajah yang dibuat mengerikan, dan pengkondisian lingkungan yang terstruktur dan terkesan menakutkan.
Pemikiran yang telah tertanam itu disebut dengan struktur pikiran. Struktur menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah cara, pola, pengaturan, dan ketentuan. Sedangkan pikiran merupakan gagasan, akal, dan hasil berpikir. Maka dapat disimpulkan, struktur pikiran merupakan cara, pola, pengaturan atau ketentuan yang tercipta dari hasil pemikiran untuk mencapai tujuan tertentu. Secara tidak sadar, struktur pikiran mampu menjebak manusia untuk bersikap yakin dalam menganggap suatu hal sebagai sebuah kebenaran.
ADVERTISEMENT
Struktur pikiran dipengaruhi oleh kesadaran manusia, kesadaran merupakan penjumlahan atau penggabungan pengalaman individu dalam satu waktu tertentu. Struktur pikiran yang menjebak ini merupakan bagian dari strukturalisme. Menurut Tiechtner (1867-1927) strukturalisme berfokus pada penelitian elemen mental, pikiran, maupun kesadaran dan memiliki hubungan mekanisme melalui proses asosiasi. Elemen kesadaran terdiri dari tiga jenis, yaitu sensasi (elemen persepsi), images (elemen ide), dan afeksi (elemen emosi).
Perayaan Halloween dapat dikategorikan sebagai elemen images. Elemen images merupakan sesuatu yang diperoleh melalui pengalaman yang tidak terjadi pada saat ini atau masa lalu. Perayaan Halloween masuk dalam elemen ini dikarenakan perkembangan Halloween dipengaruhi oleh pengalaman masa lalu yang terjadi secara turun-temurun. Halloween tidak akan terkenal seperti sekarang apabila imigran Irlandia tidak mempopulerkan perayaan ini di wilayah Amerika Serikat. Begitu juga sebaliknya, apabila warga Amerika Serikat tidak membuka diri dan meneruskan adanya perayaan ini, maka Halloween juga tidak akan dikenali dan diselenggarakan di negara bagian lainnya.
ADVERTISEMENT
Adanya pemikiran bahwa Halloween merupakan perayaan yang wajib diselenggarakan membuat manusia secara tidak langsung terjebak dalam suatu “kewajiban”. Kewajiban untuk merayakan, dressed-up ala horror, challenge bepergian dengan riasan seram, bertukar permen, dan sebagainya. Pemikiran yang seolah menjadi kewajiban atau sesuatu yang sesuai dan terstruktur merupakan arti lain dari strukturalisme. Pemikiran tersebut yang membuat manusia berpikir bahwa wajib hukumnya untuk merayakan Halloween paling tidak satu kali dalam setahun, padahal perayaan ini bukanlah suatu hal yang memiliki value di masa sekarang. Halloween hanya dilakukan untuk seru-seruan.
Tragedi Itaewon yang merenggut ratusan nyawa terjadi ketika Halloween di Korea Selatan dirayakan pada tanggal 29 Oktober 2022, waktu setempat. Dilansir oleh Reuters dan Detik.news, Minggu (30/10), insiden terjadi ketika kerumunan besar melonjak pada Sabtu malam, kata pejabat darurat. Acara Itaewon Halloween 2022 merupakan pertama dalam tiga tahun semenjak Korea Selatan mencabut izin pembatasan COVID-19. Insiden itu terjadi sekitar pukul 22.20 (GMT). Ratusan bahkan ribuan orang berdesakan di gang sempit sehingga tidak dapat bergerak.
ADVERTISEMENT
Saksi mata, Moon Ju-Young (21), mengatakan bahwa kondisi memang sudah kacau bahkan sebelum kerumunan menyerbu area sekitar. Keramaian mencapai 10 kali lipat dibandingkan biasanya, sehingga membuat polisi juga kesulitan mengantisipasi kerumunan tersebut. Seorang polisi bernama Kim Baek-gyeom bahkan terkaget dengan apa yang dilihatnya malam itu. Orang-orang bergelatakan di jalan ketika jumlah kerumunan semakin melonjak. Polisi Kim Baek-gyeom bekerja tanpa dibantu megafon dan rekan lainnya. Ia merasa bersalah karena tidak bisa bekerja dengan maksimal, sehingga membuat nyawa lebih dari 150 orang menjadi korban. Situasi di Itaewon malam itu juga seketika menjadi sebuah malam penyelamatan darurat, dikarenakan banyak orang yang membantu CPR pada siapa pun yang sudah tergeletak di jalanan.
Tragedi Itaewon ini secara tidak langsung memberikan warning kepada masyarakat. Warning berupa peringatan untuk tidak berlebihan, tidak memikirkan kesenangan diri sendiri, untuk kooperatif, dan untuk berpikir bahwa perayaan Halloween bukan sebuah kewajiban yang harus dilakukan. Jika ditinjau dari sudut pandang teori-teori filsafat manusia, perilaku masyarakat ketika melakukan hal ini termasuk dalam perilaku yang berada di luar kesadaran. Halloween tidak harus diikuti, diperingati, ataupun dirayakan, apalagi jika berdampak negatif seperti tragedi Itaewon ini. Pemikiran manusia telah terjebak dalam Strukturalisme Halloween, yang di mana tidak menyadari jika hal ini bukan merupakan sebuah keharusan. Sekalipun Halloween tidak dirayakan, manusia tidak akan ketinggalan zaman. Halloween juga bukan penentu kebahagiaan seseorang. Halloween tidak memberi benefit bagi yang merayakannya. Halloween bahkan tidak memberikan tujuan dan feedbacks yang dapat dipertanggungjawabkan untuk kehidupan pelakunya. Namun, karena orang-orang berpikir jika Halloween merupakan tradisi, maka Halloween dijadikan sebagai perayaan yang harus dilakukan.
ADVERTISEMENT
Apabila ditinjau kembali dari sudut pandang akan kebebasan dari kukungan strukturalisme, tragedi Itaewon tidak akan terjadi. Kerumunan di Itaewon malam itu tidak akan melonjak sedemikian rupa apabila orang-orang bebas dari Strukturalisme Halloween. Korban-korban tidak akan bergeletakan, tidak akan ada yang merasa ditinggalkan, tidak akan ada yang merasa bersalah serta kurang maksimal dalam bekerja, dan kondisi di sekitar Itaewon dapat terjamin keamanannya. Banyak pihak yang merasa bersalah karena tidak bisa bekerja secara maksimal, salah satunya Polisi Kim Baek-gyeom. Segala usaha telah dikerahkan semampunya. Namun, kerumunan yang tak berhenti melonjak membuatnya merasa sedih karena 150 nyawa melayang akibat desakan yang tidak terkondisikan.
Tragedi ini merugikan banyak orang, sekalipun yang tidak bersalah. Lingkungan sekitar Itaewon menjadi wilayah yang memiliki sejarah kelam karena perayaan Halloween tahun ini. Mulai tahun depan, Halloween akan diingat sebagai hari dikenangnya tragedi 150 lebih nyawa melayang di Itaewon. Halloween yang awalnya disajikan dengan vibes kelam dan menyeramkan pun terjadi di dunia nyata.
ADVERTISEMENT
Kesadaran adalah sikap seseorang yang secara sukarela menaati aturan dan melaksanakan tanggung jawabnya (Hasibuan 2012:193). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kesadaran merupakan keinsafan, keadaan mengerti, dan hal yang dirasakan atau dialami oleh seseorang. Maka, dapat disimpulkan bahwa kesadaran merupakan sikap yang dilakukan seseorang dalam keadaan mengerti sehingga dapat melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya dengan baik. Kesadaran orang-orang di sekitar wilayah Itaewon malam itu sangat diperlukan. Kesadaran orang sekitar yang sejatinya dapat menyelamatkan orang lain juga, Namun nyatanya, kesadaran orang di sekitar Itaewon malam itu minimalis. Mereka tidak menyadari pentingnya ruang berjalan dan bernapas bagi orang lain. Ruang untuk berjalan dan bernapas tersebut mereka penuhi tanpa berpikir bahwa sedikit kebebasan untuk bergerak sangat dibutuhkan di tengah kerumunan itu.
ADVERTISEMENT
Sejauh yang dapat dilihat dari sudut pandang strukturalisme, terdapat juga pandangan dari sudut kemanusiaan. Tragedi yang terjadi ini tidak bisa seutuhnya diklaim sebagai kesalahan manusia, tetapi juga karena takdir Tuhan yang berkehendak. Ada pesan yang berusaha disampaikan dari tragedi kelam ini, contohnya supaya orang tidak terjebak dengan pemikiran bahwa Halloween merupakan perayaan yang wajib dilakukan. Pesan tersebut secara tidak langsung mengingatkan untuk berpikir lebih matang, memahami tanggung jawab serta memikirkan konsekuensi dari segala tindakan yang akan dilakukan, khususnya ketika sedang berhadapan dan melibatkan orang lain.