Getir Getah Getih
Konten dari Pengguna
22 Juli 2019 0:59 WIB
Tulisan dari Virginia Gunawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
"Ini lho... dibangun buat Asian Games. Kayak apa coba?"
Saya tertegun, kala seorang teman menanyakan pertanyaan di atas. Sekilas melewati Bundaran HI ketika baru saja ingin memulai hidup baru di Jakarta, saya melihat rangkaian materi yang disusun itu. Bentuknya panjang, melingkar-lingkar seolah berpagut dan beradu kekuatan untuk saling mencengkeram.
ADVERTISEMENT
"Kayak eek, ya?" tanyanya lagi.
"Enggak, kayak kecebong laaah... Atau sperma hihihi," jawab teman yang lain.
Saya masih belum bisa mencerna. Instalasi seni serba cokelat dan terkesan muram itu dihadapkan ke arah Monumen Selamat Datang yang ikonik dan gemerlap warna-warni etalase mal. Di siang hari, karya seni ini berbaur dengan langit suram Jakarta. Tidak istimewa tapi kehadirannya memang terasa.
Setelah ribut-ribut pembongkaran, baru saya tahu kalau nama instalasi itu adalah "Getah Getih" karya Joko Avianto. Dalam cerita Majapahit, Getah Getih adalah pasukan yang ditakuti musuh dan mempunyai arti "merah putih". Seperti bendera Indonesia. Joko juga menyelipkan pesan untuk para atlet yang akan bertempur di Asian Games 2018 agar tidak mudah menyerah dan pantang mundur.
ADVERTISEMENT
Getah Getih dibangun menggunakan dana Pemprov DKI untuk menyambut Asian Games 2018 dan Hari Kemerdekaan RI ke-73. Lalu, dimulailah keributan ketika belum sampai setahun, Getah Getih harus dibongkar. Wacananya pun beragam. Tapi belum ada jawaban yang terkesan jujur dan tepat sasaran.
Di negara yang sudah bisa menghargai seni instalasi publik, commissioned public art adalah sesuatu yang biasa. Commissioned public art adalah seni di ruang publik yang didanai oleh pemerintah, perusahaan, atau organisasi pemilik lahan melalui berbagai program, salah satu yang sudah diterapkan di berbagai kota adalah percent for art .
Kebijakan percent for art biasanya mengharuskan pengembang lahan untuk menyisihkan satu persen dari dana konstruksi untuk menghasilkan karya seni bagi warga sekitarnya. Tujuannya, agar warga tidak hanya menerima limpahan jelek bangunan brutal yang kadang hanya memikirkan efisiensi dan bikin sakit mata.
ADVERTISEMENT
Kota New York, misalnya, yang punya sedikitnya 189 proyek seni publik yang masuk dalam program percent for art NYC . Di Philadelphia, public art difokuskan pada mural di daerah-daerah dengan tingkat sosio-ekonomi rendah untuk mengurangi angka kriminalitas dan memberikan inspirasi bagi anak-anak di daerah tersebut.
Atau, 'The Bean' yang jadi ikon junjungan Kota Chicago.
'The Bean' bahkan tidak lagi menggunakan uang rakyat. Pendanaannya datang dari kantong individu dan perusahaan yang ingin melihat kotanya punya ikon kebanggaan di Millennium Park.
Dan kalau mempermasalahkan budget Rp 550 juta, saya tidak membela penggunaan anggaran ini, tapi saya membela karya Joko Avianto. Jika kita hanya berpikir pengeluaran bahan baku saja, lalu berapa harga kreativitas Joko Avianto? Secangkir kopi dan sebungkus rokok? (Maaf ya Mas Joko, kalau ternyata tidak merokok).
ADVERTISEMENT
Joko Avianto yang memilih bambu jadi materi utamanya bukan tanpa alasan. Ia menekuni bambu sebagai bentuk protes terhadap jargon "susu adalah emas putih, batu bara adalah emas hitam." Joko Avianto menyerukan "hijau adalah emas, juga."
Mungkin kalau di Indonesia, proyek mural masih kerap masuk anggaran peremajaan kota. Belum lagi mural yang sarat pesan eksplisit edukasi publik atau bahkan bernada politis. Kita mungkin belum siap dengan subliminal message dan belajar untuk menghargai seni serta kompleksitas filosofi seni, apalagi seni kontemporer.
ADVERTISEMENT
Ya jadi jangan heran kalau instalasi seni cuma bisa dinyinyiri dengan interpretasi dangkal, dipertanyakan budget produksinya, dibahas materinya dari luar negeri, tapi tetap jadi background selfie--supaya kekinian.