Konten dari Pengguna

RUU Ketahanan Keluarga di Tengah Rendahnya Keterwakilan Perempuan di Legislatif

Victoria Astrid
Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Indonesia
20 Oktober 2024 4:17 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Victoria Astrid tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Lukisan "The Dance (La Danse)" oleh Jean-Baptiste Pater (foto pribadi)
zoom-in-whitePerbesar
Lukisan "The Dance (La Danse)" oleh Jean-Baptiste Pater (foto pribadi)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pada bulan Januari tahun 2020 yang lalu, DPR mengeluarkan Rancangan Undang-Undang Ketahanan Keluarga (RUU KK). Sesuai dengan judulnya, awalnya RUU ini dirancang untuk memperkuat nilai-nilai keluarga masyarakat Indonesia dengan menekankan pentingnya menjalankan peran dan tanggung jawab setiap anggota keluarga untuk menjaga keharmonisan. Namun, sayangnya RUU tersebut tak lama kemudian segera mendapatkan kritik dari sejumlah anggota fraksi dan juga masyarakat sipil terhadap muatannya yang dianggap mengabaikan realita keberagaman bentuk keluarga di Indonesia. RUU ini dianggap memperkuat pembagian peran gender yang ‘kolot’ atau tradisional dimana perempuan lebih diarahkan untuk menjalankan tugas domestik dan memperkuat stereotip akan perempuan.
ADVERTISEMENT
Merespon kritik tersebut, RUU Ketahanan Keluarga pun merubah muatannya pada bulan Agustus di tahun yang sama. Pada awalnya memiliki 15 bab dan 146 pasal, diubah menjadi 12 bab dengan 66 pasal. Perubahan dilakukan dengan menghapus beberapa muatan yang berpotensi meminggirkan perempuan sebagai kepala keluarga, buruh migran perempuan, dan perempuan yang bercerai. Pasal yang mengatur perihal normatif dan privat seperti kewajiban istri, peran suami, kriminalisasi praktik surogasi rahim, dan lainnya juga ikut dihapuskan. Meski begitu, sayangnya RUU ini masih saja sarat akan bias gender dan stereotip. Draf terbaru RUU Ketahanan Keluarga, meskipun telah mengalami revisi dan menghilangkan sejumlah pasal kontroversial, secara umum masih dianggap tidak diperlukan. Sebab, baik isi maupun tujuannya dinilai justru dapat menimbulkan masalah baru, bukannya memberikan solusi bagi persoalan nyata yang dihadapi masyarakat Indonesia.
ADVERTISEMENT
Melalui informasi ini, muncul sebuah pertanyaan yang terlintas di kepala: Apakah RUU Ketahanan Keluarga benar-benar dapat mendukung gender harmony, yaitu keseimbangan peran gender dalam kehidupan sosial dan keluarga atau justru malah menghambat kemajuan kesetaraan gender? Salah satu faktor yang mempengaruhi kebijakan yang dianggap tidak sesuai dan tidak seimbang ini adalah minimnya partisipasi perempuan di legislatif. Indonesia memiliki kebijakan afirmatif berupa 30% keterwakilan perempuan di legislatif, namun kenyataannya jumlah anggota legislatif perempuan masih di bawah ambang tersebut. Dengan kurangnya suara perempuan dalam proses legislasi, kebijakan seperti RUU Ketahanan Keluarga akan berisiko mencerminkan pandangan yang lebih konservatif tentang peran gender, alih-alih memperjuangkan kesetaraan dan keseimbangan gender.
RUU Ketahanan Keluarga pada awalnya diusulkan untuk memperkuat ketahanan nasional dengan menekankan pentingnya keluarga sebagai pondasi bangsa. Melalui penguatan nilai-nilai tradisional, komitmen berkeluarga, dan keyakinan agama, RUU ini berupaya untuk menangani tantangan sosial seperti perubahan dinamika keluarga dan masalah kesejahteraan anak. Kebijakan ini juga mencerminkan dorongan untuk mempertahankan norma budaya dan agama di tengah perubahan sosial yang modern walau cenderung menyudutkan perempuan dan mengabaikan faktor gender equality. Hal ini akan menghambat tercapainya gender harmony, yaitu kondisi di mana maskulinitas dan feminitas saling melengkapi dan bekerja sama dengan kekuatan masing-masing, serta menghargai peran satu sama lain. Misalnya, sifat maskulin seperti kemampuan berkompetisi dan membuat keputusan bisa selaras dengan sifat feminin seperti kolaborasi, kreativitas, dan empati.
ADVERTISEMENT
Gender harmony menghargai kekuatan serta kelemahan dari kedua gender, dan merupakan upaya berkelanjutan untuk melihat manfaat yang lebih besar ketika keduanya bekerja bersama. Peran keseimbangan gender dan gender harmony tidak hanya penting di kehidupan sosial atau keluarga, melainkan juga terkait dengan politik, khususnya representasi perempuan. Sudah tidak bisa kita pungkiri lagi bahwa keterwakilan perempuan di legislatif masih menjadi isu yang terus diperjuangkan. Tanpa adanya keterwakilan perempuan, kebijakan-kebijakan seperti RUU Ketahanan Keluarga akan tetap berada di zona konservatif yang cenderung memperkuat stereotip gender dan tidak mencerminkan realitas kehidupan perempuan modern.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Pemilu Legislatif, Indonesia memiliki kebijakan afirmatif berupa kuota 30% keterwakilan perempuan di legislatif, namun rupanya masih sulit untuk mencapai target tersebut. Hal ini dapat kita lihat dari pemilu 2024 dimana hanya 21,9% kursi dimenangkan oleh caleg perempuan. Dari 3.676 calon legislatif perempuan yang tercatat dalam Daftar Calon Tetap (DCT) Pemilu 2024 hanya 127 caleg (dari total 580 kursi) berhasil memasuki Senayan. Rendahnya representasi perempuan di legislatif berdampak pada kurangnya perhatian dalam pembuatan kebijakan terkait dukungan kesetaraan gender atau isu-isu keluarga seperti RUU Ketahanan Keluarga ini. Sebagai perbandingan, negara-negara di luar sana seperti Rwanda yang memiliki representasi perempuan di parlemen berjumlah 63,8% pada akhirnya berhasil menerapkan kebijakan yang lebih adil dalam membagi peran keluarga dan pekerjaan, lebih inklusif terhadap gender, serta mendukung kesejahteraan keluarga secara lebih luas.
ADVERTISEMENT
Melalui perspektif gender, RUU Ketahanan Keluarga berpotensi membatasi peluang perempuan dengan memperkuat peran tradisional yang mengarahkan mereka pada tugas domestik. RUU ini mencerminkan pandangan bahwa perempuan seharusnya mengutamakan peran sebagai ibu dan pengurus rumah tangga yang mungkin terdengar normal dan memperkuat "nilai-nilai keluarga," tetapi sebenarnya mampu membatasi peluang perempuan untuk berpartisipasi secara setara dalam ruang publik, ekonomi, dan politik. Kebijakan tersebut mereduksi hak perempuan dan tidak compatible dengan prinsip-prinsip gender harmony. Untuk mewujudkan prinsip gender harmony seharusnya RUU tersebut harus mampu mendorong kesetaraan dalam akses terhadap pendidikan, pekerjaan, dan peran di ruang publik, serta mendorong partisipasi laki-laki dalam tugas-tugas domestik. Sehingga untuk mencapai gender harmony, RUU Ketahanan Keluarga harus dirumuskan ulang dengan muatan yang mendukung kesetaraan peran dalam keluarga dan ruang publik, serta mendorong partisipasi yang setara antara perempuan dan laki-laki.
ADVERTISEMENT
Menurut penulis, rendahnya partisipasi dan keterwakilan perempuan di legislatif dapat menyebabkan mengapa kebijakan seperti RUU Ketahanan Keluarga ini tidak kunjung ditetapkan menjadi UU. Alasan ini juga menjadi alasan utama mengapa kebijakan ini sangat didominasi oleh perspektif maskulin dan tradisional yang memperkuat stereotip peran gender. Gender harmony di masyarakat tidak hanya bergantung pada kebijakan yang mendukung keluarga, tetapi juga pada keterlibatan dan partisipasi perempuan dalam proses pembuatan kebijakan di legislatif itu sendiri. Di negara-negara yang lebih inklusif, keseimbangan gender dalam politik memungkinkan pembuatan kebijakan yang lebih menyesuaikan kepentingan perempuan. Untuk mencapai gender harmony yang sesungguhnya, peran perempuan dalam proses legislasi harus diperkuat. Negara-negara dengan keterwakilan perempuan tinggi, seperti Rwanda dan Swedia, menunjukkan bahwa kebijakan yang dihasilkan lebih inklusif dan mendukung keseimbangan antara peran gender di berbagai bidang. Tanpa keterlibatan perempuan yang signifikan, kebijakan seperti RUU Ketahanan Keluarga berisiko memperkuat norma-norma tradisional yang justru dapat menghambat kesetaraan gender.
ADVERTISEMENT