Mempertanyakan Identitas di Tengah Multikulturalisme Bangsa Eropa

Nurvienna Moeloek
Alumni FISIP, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Konten dari Pengguna
7 Juli 2022 18:32 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nurvienna Moeloek tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Ilustrasi foto bendera Uni Eropa di Balkon (Foto: Pexels.com/Carloscruz Artegrafia)
Ketika Johan bertemu pertama kali dengan Rani, mereka akan saling bertanya nama, asal-usul seperti dari mana mereka berasal? Di bagian Indonesia mana mereka satu sama lain tinggal?
ADVERTISEMENT
Pertanyaan tersebut sering juga dianggap sebagai pengenalan seseorang akan “dari suku apa kamu berasal?” dan afiliasi-afiliasi lain yang melekat pada orang tersebut seperti bahasa, daerah, dan budaya seseorang. Rani maupun Johan hanya satu dari sekian contoh yang menjelaskan bahwa Indonesia diisi dengan keberagaman penduduk.
Ketika orang Indonesia seakan bertanya mengenai perbedaan satu sama lain dengan identitas kewarganegaraan yang satu: Indonesia.
Orang Eropa pun masih sering bertanya-tanya demikian namun gagasan tersebut akhirnya merujuk pada pengakuan bahwa mereka adalah orang Eropa.
Lalu, seberapa penting identitas akhirnya menjadi hal yang perlu diperdebatkan di zaman sekarang?
Maria Stoicheva seorang peneliti dari Sofia University dalam tulisannya ‘Multiculturalism and Dimensions of Identification in Eastern Europe: A Failed Policy or Inescapable Reality?’ diterbitkan pada 2014 mengulas seberapa menonjol dan pentingnya identitas untuk seseorang mengakui sebagai orang Eropa.
ADVERTISEMENT
Gagasan identitas yang masih menjadi bahasan penting dalam berbagai tulisan akademisi, bisa saja memperdebatkan masalah ini karena mereka memiliki kekhususan akan suatu hal. Faktor tersebut bukan hanya soal warisan budaya, kesukuan, bahasa dan tempat mereka dilahirkan, hal lain mungkin melahirkan perdebatan dan permasalahan baru: politik, ekonomi maupun sosial.
Uni Eropa: Membangun New Identity sebagai Orang Eropa
Organisasi politik antar-pemerintah atau antar-negara-negara di Eropa yakni Uni Eropa lahir pada 1 November 1993 melalui Traktat Maastricht. Dari traktat tersebut, negara-negara yang tergabung--Belgia, Jerman, Perancis, Luxemburg, Italia, Belanda, Irlandia, Denmark, Yunani, Spanyol, Portugal, Austria, Finlandia, Swedia, Estonia, Republik Ceko, Siprus, Latvia, Lithunia, Hungaria, Polandia, Malta, Slowakia, Slovenia, Bulgaria, Kroasia dan Rumania--menyetujui untuk kerja sama politik maupun ekonomi. Beberapa sudah terjadi: penciptaan mata uang tunggal, kebijakan luar negeri bersama, kerjasama imigrasi dan suaka, peradilan hingga penciptaan kewarganegaraan bersama.
ADVERTISEMENT
Setelah terbentuknya Uni Eropa, tidak serta merta kemudian negara-negara yang tergabung di dalamnya memutuskan untuk mengganti Euro sebagai mata uang negara mereka. Misalnya saja Britania Raya masih mempertahankan―sebelum Britania raya exit―masih menggunakan Poundsterling sebagai mata uangnya.
Sebagai bagian menghormati keberagaman dari segi budaya dan perkembangan dalam negara-negara anggotanya, yang berupaya dijunjung oleh Uni Eropa dalam perjanjian Maastricht. Menyebutkan mengenai warisan multikultural sambil masyarakat satu sama lain bersama-sama menyelaraskan budaya mereka. Yang dalam isi perjanjiannya tertulis:
“The Community shall contribute to the flowering of the cultures of the Member States, while respecting their national and regional diversity and at the same time bringing the common cultural heritage to the fore.” (Europa, 2012)
ADVERTISEMENT
Menariknya, di Tahun 1992 para senator di Perancis mengusulkan konstitusional mereka bahwa bahasa republik adalah bahasa Perancis dalam amandemennya. “Bahasa Republik adalah bahasa Perancis”, yang tentu saja berkonotasi pada simbol dari sebuah bangsa. Hal ini memunculkan debat publik. Sebagai sebuah bangsa, tentu Perancis menjunjung tinggi bahasa mereka. Dan Sebagian beranggapan bahwa penyebutan bahasa itu adalah hal yang tidak perlu. Amandemen ini dianggap sinkronisasi atas perjanjian Maastricht mengenai warisan asli budaya nasional.
Keberagaman yang ada dalam masyarakat Eropa mungkin coba disatukan karena kehadiran anggota negara-negara Uni Eropa lahir secara berbeda, bukan hanya seacara kultural, simbol-simbol tertentu dan hal lainnya. Istilah Diversity to Unity atau keberagaman menjadi kesatuan ini diintegrasikan melalui berbagai gagasan, kebijakan, hukum hingga ekonomi.
ADVERTISEMENT
Seperti yang diungkap di awal jika memang kehadiran Uni Eropa akhirnya mewujudkan sebuah masyarakat Eropa yang selaras tanpa membedakan dari negara bagian mana mereka berasal dengan dukungan integrasi ekonomi dan sosial. Pada saat yang sama juga akan melahirkan permasalahan dari sisi tersebut.
Di sisi lain, eropa sebagai sebuah identitas baru diungkap Maria Stoicheva beragamnya bahasa bahkan hanya dalam satu negara anggota Uni Eropa menimbulkan perspektif “siapa yang dimaksud sebagai orang Eropa?”. Satu-satunya kemungkinan akibat multilingual dalam wilayah tersebut adalah pada situasi tertentu adanya dukungan berbagai kebijakan ditambah sikap saling mengakui keragaman.
Uni eropa mungkin harus lebih getol mempromosikan ‘new identity’ bahwa masing-masing tiap warga negara dari negara-negara yang tergabung di dalamnya akan mengakui sebagai ‘orang Eropa’. Sementara dimensi kultural untuk menunjukan sebagai seorang Eropa dibentuk dari identitas nasional yang terbentuk dari interpretasi budaya dan politik. Maria menyebut bahwa komponen-komponen kebudayaan seringkali merujuk pada simbol, bahasa, agama, adat-istiadat, maupun mitos yang berkembang. Identitas nasional yang menonjol ini pada akhirnya mengarah pada simbol tertentu, bahasa tertentu, atau bahkan tempat di mana ia dilahirkan. Sehingga sulit untuk megakui bagi seseorang dari negara tertentu bahwa ia adalah orang Eropa, yang lebih menonjol adalah dari negara bagian mana ia atau terkadang bahasa apa yang ia gunakan untuk mengidentifikasi diri.
ADVERTISEMENT
National identity is interpreted as a specific interface between political and cultural identity in which cultural components (myths, customs, symbols, language, religion) have a prominent role.”
Sebab Multikulturalisme dalam Uni Eropa menawarkan hal berbeda, identifikasi mereka pada kebangsaan seperti diungkap oleh Smith (1991) dan Anderson (1983) mengarah pada orientasi yang jelas: komponen budaya yang telah tertanam melekat di masyarakat, hingga diakui sebagai identitas nasional.
Jika hal itu tidak dijadikan “Kompas moral” dalam mengidentifikasikan diri mereka, akhirnya mungkin akan sulit bagi diri mereka untuk menentukan, dan krisis identitas mungkin terjadi.