Pasang Surut Islamophobia di Eropa

Nurvienna Moeloek
Alumni FISIP, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Konten dari Pengguna
16 Juli 2022 12:45 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nurvienna Moeloek tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Peta Benua Eropa (Sumber Foto: pixabay.com/theandrasbarta)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Peta Benua Eropa (Sumber Foto: pixabay.com/theandrasbarta)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Islamophobia sebuah istilah yang beberapa waktu lalu sering didengar dan menjadi fenomena sosial di Eropa bak gunung es yang sedang mencair. Jika ditelisik puncaknya ialah pasca kejadian 11 September 2001. Menurut Liz Fekete dalam bukunya “A Suitable Enemy: Racism, Migration and Islamophobia in Europe” kenyataannya migrasi besar-besaran Muslim ke Eropa ialah pada akhir 1960-an. Namun, peristiwa 11 September telah meruntuhkan pandangan terhadap Muslim secara keseluruhan di Eropa.
ADVERTISEMENT
Diskriminasi terhadap orang-orang beragama Islam, terlebih pengungsi dari negara-negara dengan mayoritas penduduk Islam ke Eropa Timur maupun Barat terjadi kala itu dan kini bagai sebuah fenomena turun naik gelombang laut. Padahal penduduk Muslim di Eropa juga beragam, berdasarkan ciri ras, kewarganegaraan, maupun budaya di mana mereka dilahirkan, baik penduduk Muslim Eropa maupun para pendatang dari negara-negara mayoritas Muslim. Ketakutan kepada mereka yang berkonotasi Muslim akhirnya dipandang secara monolitik mengarah secara keseluruhan pada kaum Muslim di Eropa.
Beberapa istilah untuk mendefinisikan Islamophobia telah banyak disinggung para akademisi maupun peneliti. Gambarannya kurang lebih berdasarkan kamus daring Merriam Webster Islamophobia adalah ketakutan tidak rasional, kebencian, diskriminasi terhadap Islam atau orang-orang yang memeluk agama Islam.
ADVERTISEMENT
Islamophobia di Inggris setelah kejadian Manchester di tahun 2017 meningkatkan tindak kejahatan serta perlakuan secara daring melalui ujaran kebencian terhadap kaum Muslim. Kebencian yang megarah pada identitas seseorang di Eropa berdasarkan agama tertentu tidak hanya terjadi di Inggris. Namun di beberapa wilayah lain yang tergabung dalam Uni Eropa.
Islamophobia seakan naik turun pasca terjadinya peristiwa terorisme. Padahal setiap kejadian kekerasan hingga teror tersebut dilakukan oleh oknum tidak bertanggung jawab mengatasnamakan Islam, tentu hal itu sangat berlawanan dengan ajaran dan nilai Islam.
Mengikis Islamophobia
Atlet ternama seperti Mohamed Salah telah membawa semangat toleransi terhadap kaum muslim melalui fanatisme penggemar Liverpool. Sebuah studi dari Stanford University Immigration Policy Lab menjelaskan adanya efek Salah dalam menurunkan Islamophobia yang terjadi di Inggris. Sejak Salah menandatangani kontraknya dengan klub sepak bola Liverpool di tahun 2017. Fans melihat melalui bagaimana ia bertanding dalam tiap laga, video promosinya di sosial media Liverpool, dan sejumlah informasi mengenai Moh Salah sebagai seorang muslim yang bertanding untuk klub tersebut memberikan pandangan luas pada penonton untuk mengetahui bagaimana pertama kalinya seorang Muslim melakukan sujud syukur atas selebrasi ketika ia mencetak gol.
ADVERTISEMENT
Nyanyian yang dibuat para fans terhadap Moh Salah misalnya:
If he’s good enough for you
He’s good enough for me
Sitting in a mosque
That’s where I wanna be
Mo Salah la-la-la-la, Mo Salah la-la-la-la
Sejarah mungkin telah menunjukkan adanya kekuatan Muslim sebagai Influencer seperti Muhammad Ali, Kareen Abdul-Jabbar dan Billie Jean-King maupun Jackie Robinson yang telah memberikan efek serupa.
Setiap perlakuan diskriminatif berdasarkan latar belakang seseorang sangat tidak masuk akal. Selain itu, tindakan kebencian nantinya tidak hanya mengarah pada penduduk berdasarkan agama tertentu. Melainkan memberi batasan tertentu berdasarkan etnis, budaya, bahasa maupun agama yang sifatnya kultural. Apa yang disebut oleh Ayhan Kaya dalam penelitiannya berjudul “Islamophobia as a Form of Governmentality: Unbearable Weightiness of the Politics of Fear” seakan ada ‘monster’ ketakutan semacam itu yang dibentuk oleh individu akan konteks global dan lokal sehingga memberi batasan tersebut. Seperti beberapa Tindakan diskriminatif terhadap orang Asia di Amerika, rasisme terhadap kaum kulit hitam maupun penduduk Muslim. Kebencian tidak berbuntut ini hanya akan mengulang sejarah seperti fasisme Nazi terhadap bangsa Yahudi.
ADVERTISEMENT