Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Hijab Menjadi Bukti Kuatnya Politik Identitas pada Pilpres Prancis 2022
13 Juni 2022 22:02 WIB
Tulisan dari Vigo Marcellino Krisnaya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Emmanuel Macron kembali terpilih menjadi presiden Prancis setelah memenangkan pilpres 2022. Macron meraih total 17,3 juta suara (57,28 persen) mengalahkan Marine Le Pen yang mendapatkan 12,9 juta suara (42,72 persen). Salah satu hal yang menjadi perdebatan terbesar selama persaingan kedua calon presiden ini adalah mengenai isu simbol-simbol keagamaan, khususnya hijab. Marine Le Pen sangat terkenal nasionalis, anti-Uni Eropa, sekaligus anti-hijab. Le Pen bersumpah akan melarang penggunaan hijab di publik manakala dirinya terpilih menjadi presiden Prancis. Hal yang berkebalikan disampaikan oleh Macron yang bersikeras akan menjadikan penggunaan hijab sebagai sebuah pilihan pribadi masyarakat yang tidak akan dilarang oleh pemerintah.
ADVERTISEMENT
Kedua kompetitor dalam pilpres Prancis 2022 ini dapat dikatakan menggunakan isu dan persepsi masyarakat mengenai simbol identitas Islam, yakni Hijab, sebagai kekuatan politik mereka masing-masing. Lantas, apa yang melatarbelakangi hijab menjadi sebuah simbol keagamaan yang sensitif dan memiliki “kekuatan politik” yang besar di belakangnya? Bagaimana Macron dan Le Pen menggunakan isu ini sebagai kekuatan politik mereka?
Politik Identitas Muslim di Prancis
Kehadiran muslim di Prancis tidak terlepas dari sejarah kolonial Prancis di Afrika Utara. Pada 1962, Prancis merekrut warga Aljazair untuk menjadi tentara angkatan bersenjata dan buruh. Peningkatan angka kehadiran umat muslim di Prancis juga disebabkan oleh Imigran, yang telah datang semenjak dekade 1960-an hingga saat ini, bahkan di tengah banyaknya isu pembatasan imigran (Jamil & Setiadi, 2019). Selain itu, meningkatnya angka populasi muslim juga berjalan seiringan dengan banyaknya pengaruh yang ditimbulkan, termasuk persebaran ajaran agama Islam di Prancis. Hingga 2016 saja, Prancis menduduki jumlah penduduk Islam terbanyak kedua di Eropa dengan 5,7 juta penduduk.
ADVERTISEMENT
Umat muslim yang telah datang sejak awal abad ke-20 sebenarnya tidak dianggap sebagai sebuah ancaman bagi masyarakat Prancis sebelum permasalahan ekonomi di Eropa pada awal dekade 1970-an, di mana imigran muslim menjadi salah satu kelompok yang mendapat tekanan akibat permasalahan ekonomi. Selang 30 tahun setelah itu, bukan hanya persoalan ekonomi yang menjadi latar belakang tekanan kepada umat muslim di Prancis, namun juga isu radikalisme dan ekstrimisme akibat peristiwa 9/11 pada 2001. Hal ini mengakibatkan peningkatan persepsi negatif terhadap umat Islam, puncaknya adalah ketika Majelis Prancis mengesahkan undang-undang pelarangan penggunaan atribut keagamaan yang mencolok, termasuk hijab.
Selang belasan tahun setelah kejadian ini, persepsi Masyarakat Prancis terhadap umat muslim terbagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama, adalah mereka yang tetap menjunjung tinggi kebebasan beragama (mencakup umat muslim itu sendiri). Kelompok kedua, adalah mereka yang konservatif, dan melihat Islam sebagai sebuah ancaman yang dapat berpotensi pada ekstrimisme. Hal ini menjadikan hijab – sebagai sebuah atribut keagamaan umat muslim – menjadi isu yang selalu kontroversial dan menyimpan persepsi publik dibelakangnya.
ADVERTISEMENT
Emmanuel Macron Vs Marine Le Pen: Adu “Eksploitasi” Identitas
Seperti yang dikatakan oleh Cressida Heyes, politik identitas merupakan penandaan aktivitas politik dengan cakupan yang lebih luas terhadap ditemukannya pengalaman ketidakadilan yang dialami oleh kelompok sosial tertentu (Heyes, 2007). Mengacu pada definisi ini, Macron paham betul arti dari suara lima juta lebih populasi umat Islam di Prancis, yang mewakili 9 persen dari total populasi. Ia memanfaatkan ekspresi “ketidakadilan” yang dialami oleh kelompok muslim Prancis selama beberapa tahun terakhir yang selalu diidentikan dengan ekstrimisme bahkan terorisme. Ironisnya, Macron sendiri sebenarnya bukan tokoh yang dapat dikatakan sepenuhnya pro-muslim. Hal ini tercermin dari pemerintahan periode pertamanya, yang membiarkan hal-hal diskriminatif terhadap muslim terjadi. Apa yang dilakukan Macron semata-mata adalah memanfaatkan politik identitas, yang mana akan memenangkan suara umat muslim sekaligus mereka yang menjunjung tinggi kebebasan beragama.
ADVERTISEMENT
Sebaliknya, Marine Le Pen memanfaatkan isu ini dari sisi yang berbeda. Dilansir dari beberapa riset dan surat kabar, Islamophobia memang sedang meningkat di Eropa semenjak 2019 lalu, seiring dengan meningkatnya isu terorisme. Salah satu contoh terbesarnya terjadi pada 2021 lalu, dimana terjadi kerusakan pada Pusat Kebudayaan Avicenna di Kota Rennes, Prancis. Tentu saja ini dapat dilihat sebagai peluang terbuka oleh Marine Le Pen, memanfaatkan islamofobia yang mengakar pada masyarakat Prancis dengan menyampaikan janji untuk melakukan pelarangan hijab jika dirinya terpilih sebagai Presiden. Le Pen, dengan kata lain, “mengeksploitasi” persepsi dan identitas masyarakat konservatif yang melihat Islam sebagai penyebab terjadinya berbagai permasalahan masyarakat di Prancis guna mendulang suara pada Pilpres 2022 lalu.
ADVERTISEMENT
Jika diperhatikan, peristiwa ini senada dengan pendapat yang diutarakan oleh Agnes Haller, dimana Ia mendefinisikan politik Identitas sebagai konsep atau gerakan politik yang perhatian utamanya terletak pada perbedaan (Heller, 1995). Baik Macron maupun Le Pen, sama-sama mengonversi isu “hijab” – tentunya dengan identitas dan persepsi masyarakat yang berbeda di belakangnya – menjadi sebuah kekuatan politik mereka.
REFERENSI
Heller, A. (1995). Biopolitical Ideologies an Their Impact on the New Social Movements. In S. Punsher, A New Handbook of Political Societies. Oxford: Blackwell Oxford.
Heyes, C. (2007). Identity Politics. Stanford: Stanford University.
Jamil, I., & Setiadi, O. (2019). Politik identitas Muslim di Jerman dan Prancis. POLITEA, 135-146.