Konten dari Pengguna

Upaya Meretas Radikalisme di Lingkungan Kampus

Vika Ramadhana Fitriyani
Vika Ramadhana Fitriyani sering di sapa Vika, lahir di Sumenep 10 Januari 1998. Penulis berdomisili di Jl Sutorejo No 61 Surabaya. Penulis Lulusan Profesi Ners Universitas Muhammadiyah Surabaya. Sekarang sedang belajar bahasa inggris di Pare.
1 September 2021 7:37 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Vika Ramadhana Fitriyani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Source : Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Source : Pixabay
ADVERTISEMENT
Indonesia merupakan bangsa yang sangat majemuk , mempunyai suku, bahasa, adat yang beragam bahkan dalam sisi keyakinan Indonesia keyakinan yang begitu banyak. Tidak dapat dipungkiri bahwa di negeri Indonesia ini, walaupun banyak sekali keyakinan masyarakatnya, tetapi tetap saja ajaran Islam merupakan ajaran mayoritas di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Sering kita dengar bahwa Indonesia seperti “Untaian Zamrud melingkar di Khatulistiwa” demikian kata Multatuli menyebut wilayah Hindia Belanda, sebagai suatu wilayah yang memiliki banyak pulau (sekitar 13.667 pulau) dengan kekayaan alam yang sangat besar, di dalamnya tinggal berbagai etnis (358) dan sub etnis (200). Masing-masing etnis tersebut memiliki budaya, adat istiadat, tradisi, kuliner, bahasa, musik, tari, dan busana yang berbeda. Sebagian besar dari mereka menganut agama Islam dan sebagian kecil menganut agama Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan lainnya. Dari berbagai etnis itu, etnis Jawa, Sunda, Madura, Minangkabau, dan Bugis merupakan etnis yang jumlah anggotanya cukup besar.
Dengan kata lain, penduduk Indonesia bersifat majemuk. Kemajemukan tersebut jika tidak dikelola dengan baik dapat melahirkan konflik yang berkepanjangan yang dapat berujung pada kerusuhan sosial. Paling tidak pada dekade terakhir abad ke-20, sejumlah konflik dan kerusuhan sosial yang bermuatan SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan) terjadi di berbagai daerah seperti di Sampit, Sambas, Ambon, dan Poso.
ADVERTISEMENT
Selain Indonesia sebagai Negara majemuk, kampus yang disinggahi oleh berbagai macam etnis dan budaya sangat berpotensi untuk teracuni oleh ideology yang non-pancasialis
atau sebagai ideology radikal yang dapat mengancam persatuan bangsa Indonesia. Untuk itu, akademisi, mahasiswa harus mampu berfikir secara keras agar dapat mewujudkan kampus yang toleran dan harmoni dalam menjaga keutuhan bangsa Indonesia.

SMASS-King : Sebuah Alternatif

Prasangka dan klaim perguruan tinggi sebagai pusat dan benih radikalisme menyeruak setelah Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) merilis hasil risetnya pada tahun 2018. Meski perlunya kaji ulang secara metodologi tentang hasil tersebut, namun kita perlu berhati-hati menyikapinya. Kini kampus harus kembali mengatur kebebasan kampus. Kebebasan yang dimaksud adalah bidang akademik: ilmiah.
ADVERTISEMENT
Upaya meretas radikalisme dikampus perlunya suatu kelas pintar tentang penguatan kembali konteks kebangsaan kemudian disosialisasikan secara massif pada mereka. Khususnya dilingkup proses belajar mengajar, para dosen, dan mahasiswa dengan dosen. Memahami peluang dalam langkah upaya meretas radikalisme dikampus, maka banyak pihak yang dapat berkontribusi dalam implementasinya.

Smart Class For Hacking Radicalims

Beberapa poin dalam Smass-King untuk para mahasiswa dan akademisi untuk menjaga keutuhan NKRI ini.
Pertama, dalam ruang lingkup belajar mengajar kampus harus memberikan asupan perkuliahan kebangsaan yang mendalam, sebagai bentuk penguatan nasionalisme kepada mahasiswa, selain itu kurikulum perkuliahan yang lebih inklusif dan toleran. Memberikan materi perkuliahan berdasarkan histori bangsa yang memiliki validitas akademik, mewarnai dengan variasi dalil teologis yang ramah, menjunjung tinggi pada persatuan bangsa Indonesia.
ADVERTISEMENT
Kedua, memberikan pelatihan kebangsaan kepada para dosen, karena sangat memungkinan bahwa virus radikalisme itu dibawa oleh dosen yang ekslusif, intoleran, dan menarasikan perbedaan dengan kebencian. Untuk itu, kampus wajib memberikan penguatan nasionalisme kepada para dosen, bahwa Indonesia adalah rumah bersama yang harus dijaga, dan dalam penyampaian materi perkuliahan harus dengan narasi yang ramah, penuh dengan semangat nasionalisme yang tinggi. Bukan sekedar itu, materi yang akan disampaikan oleh dosen juga harus diaudit oleh pihak dekanat atau rektorat supaya lebih terstruktur dalam mewujudkan kampus yang ramah dan penuh dengan harmoni perdamaian.
Ketiga, untuk para mahasiswa yang terlibat aktif dalam UKM, BEM, atau organisasi mahasiswa internal lainnya. Perlu diwajibkan memberikan materi kebangsaan dalam proses kederisasi di internal organisasinya. Selain itu, dalam proses aktivitas harian perlu digerakkan untuk mewarnai aktivitas dikampus yang lebih ramah dan toleran. Misal, dalam menjalankan program seminar, perlu diarahkan yang berbau dengan isu kemanusiaan, perdamaian dan keberagaman. Apapun itu program studinya, sangat berpotensi untuk dikaitkan dengan nilai kemanusiaan dan kebangsaan.
ADVERTISEMENT
keempat, dosen dan mahasiswa membuat yang fokus dalam isu perdamaian. Hal ini dimaksudkan membangun sinergisitas antara dosen dan mahasiswa dalam meretas radikalisme di kampus. Komunitas ini mengkampanyekan gerakan keagamaan yang ramah, memberikan edukasi betapa bahayanya ideology radikal dalam kehidupan bermasyarakat. Selain itu massifikasi gerakan di media social melalui Instagram, Youtube, Whatsapp, dan platform lainnya yang dapat memberikan konten positif kepada para mahasiswa dan masyarakat. Karena kita sekarang berada di revolusi 4.0. Kini semua orang diberi kebebasan untuk memberikan opininya diberbagai media sosial dan mudah untuk diakses. Platform media sosial ini rasanya sekarang digunakan untuk wadah banyak orang untuk menggerakkan massa.

Bukan Hanya Sebuah Konsepsi

Tidak hanya sebuah konsepsi yang ditawarkan penulis, Keempat ide tersebut akan sia-sia jika tidak ditanggapi oleh kampus dan mahasiswa. Semua niat baik dan gerakan baik harus dijalankan pelan-pelan, bila sebatas retorika belaka, kita hanya akan mengeluh saja. Tetapi jika dilakukan pencegahan, setidaknya kita sudah ikut serta menjaga keutuhan NKRI, dan mewarnai media social dengan konten positif.
ADVERTISEMENT
Menjadi generasi pintar dan cinta NKRI bukan lagi sebuah pilihan, tetapi menjadi sebuah tuntutan bagi generasi di negara ini. Meretas radikalisme juga bukan sebuah pilihan, melainkan sebuah tuntutan agar tetap menjaga nilai-nilai pancasila. Jadilah generasi penawar racun, bukan pula menjadi penebar racun. Keputusan ada ditangan kita masing-masing. Kita adalah solusi bukan racun tapi penawar. Tinggal niat dari sanubari yang ingin melakukan atau tidak. Jika satu langkah mudah saja bisa dilakukan untuk menjaga bangsa ini. Kenapa lebih memilih diam saja dan dibodohi oleh ideology non-pancasialis.