Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.0
12 Ramadhan 1446 HRabu, 12 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna
Matematika dan Elitisme: Tantangan Inklusi dalam STEM
11 Maret 2025 12:32 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari vina erni pratiwi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pendidikan STEM
Matematika sering kali dianggap sebagai disiplin ilmu yang sulit, eksklusif, dan hanya dapat dikuasai oleh segelintir orang yang memiliki bakat khusus. Stereotip ini menyebabkan banyak siswa merasa minder sebelum mereka benar-benar memahami konsep dasarnya. Padahal, matematika adalah fondasi penting bagi berbagai bidang dalam Science, Technology, Engineering, and Mathematics (STEM). Jika akses terhadap pendidikan matematika tidak inklusif, kesenjangan sosial dalam dunia kerja dan inovasi teknologi akan semakin lebar. Lantas, apakah matematika benar-benar elite? Atau justru ada tantangan inklusi yang harus kita hadapi?

Matematika sebagai Ilmu Elite: Mitos atau Fakta?
Label "elite" yang sering melekat pada matematika sebenarnya lebih banyak dipengaruhi oleh cara pengajaran dan akses terhadap pendidikan yang berkualitas. Di banyak sekolah, matematika diajarkan dengan pendekatan yang terlalu abstrak tanpa menghubungkannya dengan dunia nyata. Hal ini membuat siswa kesulitan memahami manfaat nyata dari matematika dalam kehidupan mereka. Selain itu, kebijakan pendidikan yang lebih menitikberatkan pada hasil ujian daripada pemahaman konseptual juga memperparah persepsi bahwa matematika hanya untuk mereka yang “pintar.”
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, ada juga faktor sosial dan budaya yang turut berperan dalam menciptakan kesenjangan dalam akses pendidikan matematika. Siswa dari latar belakang ekonomi kurang mampu sering kali memiliki keterbatasan dalam mengakses bimbingan belajar, sumber belajar digital, maupun guru yang berkualitas. Jika kondisi ini dibiarkan, matematika akan semakin menjadi bidang yang hanya dikuasai oleh kelompok tertentu.
Tantangan Inklusi dalam Pendidikan Matematika
Untuk menjadikan pendidikan matematika lebih inklusif, ada beberapa tantangan yang harus diatasi seperti: metode pengajaran yang kontekstual, kesenjangan gender dalam STEM, akses teknologi dan sumber belajar, peran guru sebagai fasilitator.
Metode pengajaran yang kontekstual menyebabkan banyak siswa merasa matematika tidak relevan dengan kehidupan mereka. Oleh karena itu, pendekatan berbasis masalah nyata (problem-based learning) dan metode kontekstual perlu diterapkan agar siswa bisa melihat manfaat praktis dari matematika.
ADVERTISEMENT
Kesenjangan gender dalam STEM menunjukkan bahwa anak perempuan cenderung kurang percaya diri dalam bidang matematika dibandingkan anak laki-laki, meskipun kemampuan mereka setara. Faktor sosial dan stereotip tentang “matematika sebagai bidang laki-laki” harus dihapus agar lebih banyak perempuan tertarik untuk mendalami STEM.
Di era digital, pembelajaran matematika semakin banyak bergantung pada teknologi seperti aplikasi pembelajaran daring dan software analisis data. Sayangnya, tidak semua siswa memiliki akses yang sama terhadap perangkat teknologi dan internet. Pemerataan akses terhadap sumber belajar harus menjadi prioritas agar tidak ada siswa yang tertinggal.
Guru bukan hanya sebagai pemberi materi, tetapi juga sebagai fasilitator yang membantu siswa menemukan cara belajar yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Pelatihan bagi guru untuk menggunakan metode pembelajaran inklusif sangat diperlukan.
ADVERTISEMENT
Matematika seharusnya tidak menjadi ilmu elite yang hanya bisa diakses oleh segelintir orang. Tantangan utama yang dihadapi dalam pendidikan matematika adalah bagaimana membuatnya lebih inklusif dan relevan bagi semua kalangan. Dengan metode pengajaran yang kontekstual, mengatasi kesenjangan gender, meningkatkan akses terhadap teknologi, serta memberdayakan guru sebagai fasilitator, kita bisa membangun sistem pendidikan yang lebih adil dan merata. Saatnya menjadikan matematika sebagai ilmu yang bisa diakses dan dipahami oleh semua orang, bukan hanya untuk mereka yang dianggap “jenius.”