Konten dari Pengguna

Pedagogi Mayat Hidup: Sekolah sebagai Teater Kekuasaan dan Ilusi Moral

Vincent Kristianto
Vincent Kristianto, kelahiran Bandung 2009. Siswa kelas X SMA Trinitas. Menulis untuk melatih kata-kata karena ia bisa membangun dan menghancurkan.
27 April 2025 14:06 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Vincent Kristianto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
https://pixabay.com/id/photos/membaca-kacamata-buku-baca-4330761/
zoom-in-whitePerbesar
https://pixabay.com/id/photos/membaca-kacamata-buku-baca-4330761/
ADVERTISEMENT
Dalam semesta yang dikendalikan oleh sistem dan simbol, sekolah seharusnya menjadi ruang transendensi, tempat dimana individu mengenal dirinya melalui dialektika antara pengetahuan dan keberadaan. Namun, sebagaimana ditegaskan oleh filsuf-filsuf kritis seperti Michel Foucault dan Ivan Illich, institusi pendidikan justru seringkali berubah menjadi alat kontrol, yakni sebuah panoptikon yang menundukkan tubuh dan pikiran ke dalam disiplin yang tak kasat mata. Di balik dinding-dinding kelas dan kurikulum yang tampak netral, tersembunyi kekuasaan yang menyamar sebagai moralitas, dan dogma yang menyaru sebagai kebenaran. Sekolah menjadi metafora dari masyarakat yang lebih luas, di mana individu dikomodifikasi, kebenaran direduksi menjadi angka, dan eksistensi disangkal oleh sistem yang menuntut kepatuhan buta. Dalam puisi berikut, tersingkaplah kemarahan eksistensial yang lahir dari kesadaran akan absurditas sistemik ini. Sebuah jeritan satir yang menelanjangi kontradiksi di balik jargon-jargon edukatif, serta menggugat makna sejati dari kata "belajar" yang telah dipalsukan oleh birokrasi dan kepalsuan etis.
ADVERTISEMENT
SEKOLAH: LIPSYNC KEBODOHAN - Karya Vincent Kristianto
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT

Opini Penulis

Puisi ini adalah epitaf bagi nalar yang dikubur di halaman sekolah. Ia menelanjangi sistem pendidikan sebagai panggung absurd tempat para guru menjelma aktor tragedi, memuntahkan dogma di atas podium kekuasaan. Sekolah, dalam puisinya, bukanlah kuil ilmu, melainkan pabrik keseragaman, tempat karakter dikloning dan suara hati dibungkam dengan rubrik penilaian. Nilai lebih penting dari nurani, dan kurikulum menjadi kitab suci yang tak boleh digugat. Di ruang kelas, logika diperkosa oleh formalitas, dan pertanyaan dibunuh dengan lembar tugas tanpa penjelasan.
ADVERTISEMENT
Kesimpulannya? Pendidikan telah kehilangan jiwa. Ia kini hanya proses industrialisasi manusia agar patuh, bukan berpikir. Maka, puisi ini bukan sekadar amarah, tetapi ia adalah autopsi sistem, ditulis dengan darah frustrasi siswa yang dipaksa tersenyum di tengah reruntuhan integritas. Jika sekolah adalah panggung, maka inilah drama paling ironis abad ini: kebodohan dirayakan dalam nama kecerdasan, dan kita semua tanpa sadar berdiri di barisan penonton yang bertepuk tangan.