Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.96.0
Konten dari Pengguna
Hakim Jalanan di Negara Hukum
19 Oktober 2023 14:18 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Vincentius Bayu tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
UUD 1945 pasal 1 ayat 3 menyatakan dengan jelas bahwa Indonesia adalah negara hukum. Pernyataan ini tentu membawa konsekuensi tertentu yang harus dipahami dan dipatuhi.
ADVERTISEMENT
Indonesia menjadi negara hukum berarti hukum memiliki kekuatan mengikat dan harus ditaati oleh seluruh warga negara dan pemerintah. Selain itu, pemerintah juga memiliki tugas besar untuk melindungi hak asasi manusia sesuai hukum yang ada.
Dalam ranah peradilan, negara yang mengakui supremasi hukum, termasuk Indonesia, memiliki sistem peradilan yang menjunjung tinggi keadilan dan hukum. Peraturan perundang-undangan diperlukan untuk memberikan jaminan keadilan, kepastian hukum, dan menjaga hak setiap warga negara Indonesia.
Oleh karena itu, pembentukan pengadilan memiliki peran penting dalam proses peradilan dalam suatu negara. Dengan adanya pengadilan, orang tidak dapat mengambil tindakan sendiri ketika terdapat konflik maupun sengketa. Proses hukum harus dilaksanakan sesuai dengan aturan yang berlaku.
Akan tetapi, sampai pada hari ini kasus main hakim sendiri masih terjadi di Negara Indonesia. Beberapa kasus yang terjadi selama 2023 ini antara lain kasus yang menimpa Kamat Adijaya yang terjadi Sukabumi, Jawa Barat. Dilansir dari Detikjabar, Selasa (2/5/2023), Kamat Adijaya (40) tewas setelah dianiaya massa karena dituding sebagai pencuri kendaraan bermotor.
ADVERTISEMENT
Selain itu, kasus main hakim sendiri juga terjadi di Sumatera Barat. Dilansir dari Detikjatim, Kamis (13/4/2023), dua wanita LC alias pemandu lagu diceburkan ke laut oleh sekelompok massa. Aksi massa tersebut dipicu oleh kafe yang tetap beroperasi menyediakan layanan karaoke di Bulan Ramadhan. Melalui dua contoh fakta ini dapat dilihat bahwa tindakan menjadi “hakim jalanan” merupakan tindakan yang sangat merugikan, sebab tindakan tersebut tidak melalui proses hukum yang sah dan tidak menghargai hak asasi manusia, bahkan sampai menghilangkan nyawa seseorang tanpa diadili terlebih dahulu.
Beberapa kasus main hakim sendiri ini memberikan tanda bahwa ada sesuatu yang salah dalam hal paradigma masyarakat dan sistem peradilan di Indonesia. Sistem hukum terdiri dari tiga hal, yaitu substansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum. Kasus maraknya “hakim jalanan” terkait pada struktur dan budaya hukum yang bermasalah.
ADVERTISEMENT
Kasus main hakim sendiri terjadi salah satunya karena faktor ketidakpercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum. Mayoritas publik cenderung memiliki keyakinan bahwa aparat hukum di Indonesia mudah diintervensi oleh kepentingan lain. Kasus-kasus korupsi yang dilakukan oleh oknum-oknum aparat hukum juga turut menurunkan integritas aparat hukum di mata publik.
Budaya hukum yang terbangun di Indonesia perlu mendapat perhatian khusus. Kasus main hakim sendiri ini menunjukkan bahwa masih banyak orang yang berpandangan bahwa hukum adalah sarana untuk balas dendam. Hal ini juga yang disampaikan oleh Dr. Al. Wisnubroto, SH., M.Hum, dosen hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta, bahwa kultur lama untuk balas dendam masih cukup melekat di masyarakat.
Padahal proses peradilan hingga sanksi pidana bukanlah sarana untuk balas dendam, melainkan berguna untuk pembinaan. Setiap hukuman yang dijatuhkan harus selalu dilaksanakan sesuai dengan kasusnya. Filosofi peradilan sebenarnya memiliki tujuan untuk resolusi konflik. Orang diberikan hukuman agar dapat memperbaiki diri dan kembali ke masyarakat. Akan tetapi, masyarakat menganggap hukuman yang ditimpakan oleh aparat penegak hukum kepada para pelaku tidaklah sepadan dengan kejahatan yang dilakukan. Hal ini memicu tindakan main hakim sendiri di masyarakat.
ADVERTISEMENT
Langkah konkret perlu dilakukan untuk mengatasi fenomena menjadi “hakim jalanan”. Fenomena menjadi “hakim jalanan” dapat mencederai Indonesia sebagai negara hukum yang menjunjung tinggi hak asasi manusia dan keadilan. Langkah konkret harus dilakukan dari dua arah, yaitu dari masyarakat dan aparat penegak hukum.
Literasi dan kesadaran hukum masyarakat perlu untuk terus ditingkatkan. Kebutaan dalam literasi dan kesadaran hukum dapat memicu tindakan main hakim sendiri dan berbagai masalah lainnya. Selain itu, integritas aparat penegak hukum juga perlu ditingkatkan dengan membangun budaya kejujuran dan keadilan yang dapat meningkatkan wibawa hukum di mata publik.