Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Mengubur Niat Mudik: Ongkos Mencekik dan Terpaksa Workaholic
19 April 2024 15:43 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Vindy Therecia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Hari raya Idul Fitri selalu menyisakan ruang penting untuk bertemu dengan keluarga dan sanak saudara tercinta. Hari di mana waktu sibuk berganti dengan kehangatan bersama keluarga jauh, saling menunjukkan kasih sayang dan permohonan maaf. Tunjangan hari raya selalu menjadi bagian yang tak terlupakan dari tradisi lebaran, termasuk sajian opor dan ketupat di meja makan.
ADVERTISEMENT
Sayangnya, kebahagiaan ini tidak dapat dirasakan segelintir orang. Di Jakarta sendiri, hiruk pikuk kesibukan masih berlangsung di beberapa titik. Maklum, nasib menjadi pusat perkotaan membuat Jakarta tidak mungkin mendapat jatah libur, sama halnya dengan orang-orang yang masih harus bekerja demi pemenuhan kebutuhan diri.
Menjemput Pundi-Pundi Uang Sejak Pagi
Satu pagi yang cerah di Jakarta, kesempatan bagus untuk orang-orang yang ingin menghabiskan waktu liburnya dengan bepergian santai. Tidak mengejutkan, Jakarta saat lebaran memang salah satu momen yang cukup langka karena jalan raya yang biasanya ramai dan macet berubah menjadi lengang dan lancar. Memang tergolong sepi, tapi transportasi umumnya masih aktif melayani.
Meskipun jumlahnya jauh lebih sedikit dibanding biasanya, pengemudi dengan jaket hijau khasnya masih dapat dipesan melalui aplikasi masing-masing. Tidak sedikit yang memilih untuk tetap menyusuri jalan atau sekedar ‘mangkal’ di titik ramai.
ADVERTISEMENT
Datang seorang bapak dengan jaket kulit Yamaha dan motor putih merek Honda Beat. Jelas beliau seorang driver ojol, dibuktikan dengan helmnya yang bertuliskan nama salah satu platform ojol terkenal. Dengan senyum ramah beliau menawarkan helm, “Dipake aja ya (helmnya), sekarang panas soalnya.”
Hati-hati motor itu dibawa oleh Maksum, begitulah nama yang tertulis di aplikasi. “Ya.. harus cari ongkos dulu biar bisa pulang (kampung),” jawab beliau saat ditanya alasan tidak mudik lebaran, “Ini narik buat cari ongkos pulang, semoga cukup.”
Hari pertama lebaran dihabiskan Maksum di jalanan Jakarta, “(Istri dan anak) udah pulang duluan ke kampung,” ujar beliau sambil fokus melihat ke depan. Alasan beliau tidak mudik lebih cepat pun karena orang tua dan kakak memang tinggal di Jakarta. Ongkos pun ia relakan untuk istri dan anak agar bisa lebaran di kampung.
ADVERTISEMENT
Niat mengumpulkan pundi-pundi uang dengan berkeliling mencari penumpang, nyatanya masih jauh dari harapan. “Baru dapat dua orderan dari pagi,” balas Maksum sedikit mengeluh. Tidak heran, driver yang sedikit pasti selaras dengan jumlah permintaan yang sedikit pula. “Neng yang terakhir, habis ini sekalian pulang,” timpal sang bapak.
Obrolan berlanjut hingga tiba di tujuan. “Makasih ya neng,” ucap Maksum sambil menerima bayaran jasanya dengan senyum sumringah. Tidak tahu apakah beliau akhirnya bisa bertemu keluarga di kampung atau tidak, yang pasti bekerja saat lebaran harus dilakukan untuk menutupi kekurangan dana.
Tercekik Jatah Libur dan Lembur
Pemandangan menarik melihat salah satu outlet jasa travel masih dipenuhi dengan penumpang yang menunggu mobilnya disiapkan. Mayoritas bertujuan untuk liburan ke luar kota, sedangkan sisanya memang baru bisa pulang ke kampung halaman pada hari itu.
ADVERTISEMENT
Salah satu krunya tampak sibuk memastikan jumlah penumpangnya sambil memegang secarik kertas kecil berisi daftar nama. Setelah menutup pintu mobil, kru tersebut kembali ke outlet dan melayani beberapa pengguna jasa dengan ramah.
Pertanyaan yang sama kembali terbesit: “Kok gak mudik?” Ditanggapinya dengan sedikit gugup, “Keluarga udah pulang duluan, saya tetep di sini.” Sambil melanjutkan pekerjaan yang ada di monitornya, ia masih menanggapi obrolan random yang dilontarkan pada dirinya.
Namanya Rio. Dari perawakannya, tampaknya masih muda—berkisaran umur 20-an. “Seminggu cuma dapat jatah libur sehari, nanggung kalau pulang (kampung) bentar doang,” jawabnya saat kembali ditanya soal pilihannya untuk tidak mudik. Pekerjaan yang dilakukan Rio seharusnya ada pilihan cuti, tetapi tidak dilakukan olehnya. “Gak (ambil cuti) deh, mending lembur aja,” tambahnya sambil tertawa getir, “(Kampung) di Lampung, nanggung banget kalau pulang.”
ADVERTISEMENT
Terdengar seperti gila kerja, tetapi berada di posisinya pun pasti sulit. Perjalanan ke Lampung jelas mengeluarkan waktu dan tenaga, terasa melelahkan jika hanya beberapa hari di sana dan kembali bekerja. Belum lagi cuti sama dengan mengurangi hari kerja dan penghasilan, mau tidak mau kumpul lebaran dengan keluarga harus diduakan.
Obrolan seputar mudik dan lebaran selesai. Semuanya kembali ke urusannya masing-masing. Kali ini, tidak merayakan lebaran karena jaminan ekonomi dan efisiensi menjadi alasan terbaik Rio. Mungkin alasan ini akan terdengar jauh lebih masuk akal seiring bertambah dewasa.
Sibuk Mencari Bawaan Berat
Hari semakin sore, pulang dengan kereta menjadi pilihan paling murah. Meskipun sedang lebaran. suasana di stasiun masih sama seperti biasanya: sibuk dan ramai oleh penumpang yang baru tiba maupun yang masih menunggu jadwal.
ADVERTISEMENT
Terlihat salah satu bapak berseragam hijau sibuk celingak-celinguk memperhatikan sekitar. Dari rambutnya tampak sudah cukup berumur, tetapi badannya masih sangat bugar dan sehat. Mungkin karena pekerjaan menjadi porter stasiun, mengharuskannya tetap fit agar bisa membantu membawakan barang berat penumpang.
“Selamat sore, ada yang bisa dibantu?” Sapa bapak itu menghampiri sambil tersenyum sangat ramah. Di seragamnya terpampang nama dan nomor punggung porter, tetapi beliau ingin namanya tetap menjadi privasi.
Setelah bertanya, beliau kembali memperhatikan sekitar. Sesekali beliau menghampiri keluarga yang memiliki banyak bawaan, tapi ditolak. Sesekali juga jalan kesana kemari, dari ujung ke ujung untuk mencari penumpang berbawaan berat. Sebagai seorang porter, sudah seharusnya untuk bersikap lebih peka pada sekitarnya.
“Ah.. gak ada duit,” jawab porter bernomor punggung “073” itu sambil tertawa getir. Untuk kesekian kalinya pertanyaan mudik dilontarkan, dan kali ini kembali dengan alasan keterbatasan ekonomi. Menjadi seorang porter juga mengharuskannya bekerja ekstra, mengingat porter hanyalah pekerja bebas dan penghasilannya bergantung pada banyaknya penumpang yang dibantu.
ADVERTISEMENT
“(Kampung) saya di Kuningan, Jawa Barat… Kalau anak istri memang tinggal di sana,” balasnya dengan singkat dan lugas, sekali lagi sambil menengok sekitaran. “Tahun ini gak pulang dulu, uangnya kurang,” tambah beliau.
Obrolan berlangsung sangat singkat karena beliau sudah menemukan penumpang untuk dibantu. Awan mendung di sore itu pun makin membesar, mendesak untuk cepat pulang tanpa sempat berpamitan dengan layak
Berkeliling Jakarta saat lebaran berhasil menepis pikiran naif tentang budaya mudik. Nyatanya, ekonomi masyarakat masih menjadi faktor paling utama untuk melaksanakan mudik lebaran. Kalender menunjukkan tanggal berwarna merah, namun tidak bagi mereka para pekerja lapangan yang memandang semua tanggal tanpa warna.