Petani dan Subsidi, Solusi nan Utopis

Vindy W Maramis
Pegiat Literasi dan Ibu Rumah Tangga
Konten dari Pengguna
1 Mei 2024 8:09 WIB
ยท
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Vindy W Maramis tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sejak akhir tahun 2023 hingga sekarang para petani di berbagai daerah masih mengeluhkan soal sulitnya mendapatkan pupuk bersubsidi.
Ilustrasi : Petani padi. Sumber : iStock.
Beberapa faktor penyebabnya ialah mulai dari ketersediaan yang kurang jumlahnya, hingga sulitnya persyaratan untuk mendapatkan pupuk bersubsidi, seperti petani harus memiliki Kartu Tani, petani harus punya lahan milik sendiri, ,ditambah saat ini harus menggunakan sistem online melalui aplikasi i-Pubers dengan menunjukkan KTP asli.
ADVERTISEMENT
Persyaratan ini dianggap menyulitkan dan ribet oleh kebanyakan petani daerah, terutama mereka yang sudah tua karena gaptek dan tinggal di daerah-daerah yang masih sulit mendapatkan akses internet.
Namun, ada rahasia umum dibalik sulitnya petani mendapatkan pupuk bersubsidi selain persyaratan yang ribet diatas, yang disebut dengan 'capitalism game'. Permainan antara penguasa dengan pengusaha dalam sistem kapitalisme.
Pengamat pertanian dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Dwi Andreas Santosa, pernah menyampaikan bahwa anggaran subsidi pupuk rawan diselewengkan. Bentuk penyelewengan itu di antaranya mengoplos pupuk bersubsidi dengan nonsubsidi hingga mengganti kemasan menjadi nonsubsidi, kemudian dijual dengan harga melebihi harga eceran tertinggi (HET).
Jika seperti ini, alih-alih petani sejahtera, nyatanya pupuk subsidi hanyalah menjadi solusi yang utopis.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya, bukan hanya terjadi pada pupuk subsidi, beras, minyak, bahkan BBM sering 'dimainkan' oleh para mafia yang berjabat tangan dengan pemerintah.
Ini realitas lumrah yang terjadi dalam sistem kapitalisme. Sistem kapitalisme sendiri menjadikan materi sebagai legitimasi dalam kehidupan, segala sesuatu harus dinilai dari loss and profit.
Tak heran pemerintahan kapitalistik enggan memberikan hak rakyat secara cuma-cuma, walaupun mereka tahu bahwa hak seharusnya memang diberi cuma-cuma. Para pejabat dalam sistem pemerintah kapitalisme mengesampingkan aspek empati, halal dan haram.
Dalam pandangan Islam, membantu masyarakat dalam mengelola lahan pertanian adalah sebuah kewajiban bagi negara. Negara harus memberikan apa saja yang menjadi kebutuhan petani dalam mengelola lahan pertanian, termasuk menyediakan pupuk dengan kualitas tinggi, bahkan apabila petani tidak memiliki lahan maka negara akan memberikan lahan untuk dikelola. Negara tidak boleh membiarkan sebuah tanah/lahan kosong tanpa diolah.
ADVERTISEMENT
Hal ini sesuai dengan hukum Islam terkait lahan.
Pertama, ada yang disebut dengan Ihya'ul mawat, yaitu menghidupkan tanah yang mati. Tanah yang mati artinya ialah tanah yang tidak ada pemiliknya dan tidak dimanfaatkan oleh seorangpun, menghidupkannya berarti memanfaatkan tanah tersebut, seperti bercocok tanam padanya, ditanami pohon atau membangun bangunan diatasnya.
Rasulullah pernah bersabda, "Barangsiapa yang menghidupkan tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya". (HR. Bukhari).
Kedua, ada yang disebut dengan iqtha, yaitu pemberian tanah milik negara kepada rakyat. Hal ini pernah dilakukan Nabi, pada saat tiba di kota Madinah, Nabi memberikan tanah kepada Abu Bakar dan Umar bin Khattab.
Namun, dalam hal ini negara perlu memastikan bahwa tanah yang diberikan adalah tanah mati sudah mecapai batas, yakni ditelantarkan selama tiga tahun berturut-turut, barulah negara bisa mengambil alih dan memberikan kepada rakyat yang mampu mengelola tanah tersebut.
ADVERTISEMENT
Bisa dilihat bahwa Islam mengatur sistem pertanian dengan komprehensif, jangankan soal pupuk, tanah/lahan saja diberikan.
Memang tidak bisa dibandingkan dengan sistem kapitalisme yang diterapkan saat ini, kecuali kita mau mengambil Islam sebagai solusi.
Allahua'lam.