Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Dedikasi Tanpa Lelah Christian Hadinata untuk Bulu Tangkis Indonesia
27 Agustus 2018 13:10 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:06 WIB
Tulisan dari Vini Damayanti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
“Christian Hadinata bersama Ade Chandra menjadi ganda putra pertama Indonesia yang meraih gelar juara di All England,” inilah informasi yang seringkali saya dengar dari komentator tiap kali menonton tayangan partai ganda putra di turnamen All England di televisi nasional. Jika pertandingan yang sedang berlangsung adalah partai ganda campuran, komentator pun biasanya berkata, “kita harapkan ganda campuran Indonesia ini bisa mengulang prestasi yang ditorehkan Christian Hadinata/Imelda Wiguna di tahun 1979.”
ADVERTISEMENT
Nama Christian Hadinata memang fenomenal. Bahkan saya yang lahir di tahun 80-an dan tidak pernah menonton pertandingannya baik di televisi maupun stadion, sering mendengar mengenai sosoknya. Ini terjadi karena pemain Indonesia di akhir 90-an dan di awal tahun 2000-an seringkali dibandingkan dengan atlet berusia 68 tahun ini. Termasuk, Tony Gunawan/Chandra Wijaya, juara All England 1999.
Saya pertama kali melihat Christian Hadinata di televisi saat ia duduk di kursi pelatih. Salah satu momen yang paling berkesan adalah ia dengan cool-nya memeluk Hendra Setiawan/Markis Kido setelah mereka mengalahkan ganda putra Tiongkok Fu Haifeng/Cai Yun di final Olimpiade Beijing 2008. Saat itulah saya jadi tertarik untuk mencari tahu lebih banyak mengenai sosoknya melalui media.
ADVERTISEMENT
Bisa dibilang, Christian Hadinata adalah salah satu pemain ganda terbaik Indonesia sepanjang masa. Bersama Ade Chandra, mantan atlet yang akrab disapa Koh Chris ini sempat juara ganda putra All England dua kali (1972 dan 1973), sedangkan bersama Imelda Wiguna ia sukses menjadi juara ganda campuran di tahun 1979. Butuh waktu 33 tahun untuk mendapatkan juara baru Indonesia di sektor ganda campuran All England, hingga akhirnya Tontowi Ahmad/Lliliyana Natsir meraihnya di tahun 2012-2014. Dengan pasangan yang sama, Koh Chris juga pernah menjadi juara dunia di tahun 1980, di dua sektor sekaligus!
Salah satu yang saya kagumi dari Christian Hadinata adalah kemampuannya untuk beradaptasi dan bekerja sama dengan beragam pemain. Belakangan ini, kita mungkin lebih sering melihat satu pasangan bisa terus juara, tapi belum tentu ketika pasangan ini dibongkar dan dipasangkan dengan pemain lain. Misalnya, Mohammad Ahsan berprestasi gemilang ketika dipasangkan dengan Hendra Setiawan hingga meraih gelar juara dunia, All England, dan Asian Games. Namun begitu dipasangkan dengan Rian Agung, prestasi Ahsan tidak terlalu menonjol.
Lain halnya dengan Christian Hadinata. Sepertinya dengan siapa pun ia dipasangkan, Koh Chris bisa memberikan hasil maksimal. Di Asian Games 1974, misalnya, ia meraih medali emas ganda campuran bersama Regina Masli, sedangkan di Asian Games 1982 ia menjadi juara ganda putra dengan Icuk Sugiarto sekaligus juara ganda campuran bersama Ivana Lie. Di pertandingan internasional terakhirnya yaitu AS Open 1988, Koh Chris sukses meraih podium tertinggi bersama Lius Pongoh. Jika saja bulu tangkis sudah dipertandingkan di olimpiade ketika Koh Chris masih aktif bermain, saya rasa ia mampu meraih medali emas di dua partai.
ADVERTISEMENT
Saya akhirnya bisa melihat langsung sosok Christian Hadinata ketika bekerja sebagai wartawan. Beberapa kali saya meliput Indonesia Open di Istora, dan di momen itulah saya sering melihat Koh Chris berseliweran. Di Indonesia Open 2016 (jika saya tidak salah ingat tahunnya), bersama beberapa rekan wartawan lain saya sempat wawancara singkat Koh Chris, menyorot merosotnya prestasi pemain Indonesia.
Menurutnya, prestasi pemain Indonesia memang tidak secemerlang di masa lalu. Padahal secara teknik, atlet Indonesia tidak kalah dengan pemain negara lain. Namun, banyak di antara mereka yang kurang berani saat bertanding, terutama ketika melawan pemain unggulan. Ia pun mengungkapkan kalau di sinilah pelatih ditantang, yaitu harus pintar memotivasi atletnya agar tampil konsisten dan ngotot, plus tidak cepat puas.
ADVERTISEMENT
Mendengar jawabannya, saya makin mengagumi sosok Koh Chris. Sebagai mantan pemain bintang, ia sangatlah rendah hati. Ia memahami kalau presetasi seorang atlet tidak hanya ditentukan berdasarkan kelebihan atau kekurangan sang atlet, tapi juga peran pelatih. Tidak heran jika Koh Chris terjun sebagai pelatih setelah pensiun. Ia merasa memiliki tanggung jawab morel untuk meneruskan tradisi juara bagi Indonesia di cabang olahraga bulu tangkis, yaitu dengan mencetak juara baru. Anak didiknya, mulai dari Antonius Budi Ariantho/Denny Kantono, Ricky Subagja/Rexy Mainaky, hingga Tony Gunawan/Chandra Wijaya adalah para juara hasil didikannya.
Selain sempat melatih di pelatnas, Christian Hadinata juga menjadi pelatih di PB Djarum sejak tahun 1988. Ia mengungkapkan kalau para atlet yang dilatih di PB Djarum tidak hanya digenjot teknik permainan, tapi juga diperhatikan kesehatan fisik mereka. PB Djarum menyediakan perawatan kesehatan, salah satunya dengan keberadaan ruangan fisioterapis. Jadi ketika atlet kurang nyaman setelah latihan berat, mereka bisa memperoleh perawatan. Tentunya, gizi makanan juga sangat diperhatikan agar para atlet bisa memiliki energi untuk berlatih dan bertanding.
ADVERTISEMENT
Kepedulian PB Djarum terhadap prestasi bulu tangkis Indonesia ditunjukkan melalui Audisi Umum Djarum Beasiswa Bulutangkis 2018, yang terbuka untuk atlet putra dan putri Indonesia di 3 kategori, yaitu U-11 (usia 6-10 tahun), U-13 (11-12 tahun), dan U-15 (13-14 tahun). Para penerima Djarum Beasiswa Bulutangkis ini akan memperoleh pelatihan bertaraf internasional dan berkesempatan mengikuti berbagai turnamen tanpa mengeluarkan biaya.
Meski sudah tidak lagi aktif sebagai pelatih langsung, Christian Hadinata masih berperan dalam mengembangkan bibit-bibit baru Indonesia. Ia dipercaya untuk memberikan saran tidak hanya terkait teknik sang atlet, tapi juga mengenai pemasangan pemain baru. Jika keponakan atau kenalan Anda menjadi salah satu penerima Djarum Beasiswa Bulutangkis, maka bukan tak mungkin ia dapat mencuri ilmu langsung dari maestro bulu tangkis Indonesia ini. Informasi lebih lanjut tentang Audisi Umum Djarum Beasiswa Bulutangkis 2018 bisa Anda dapatkan di https://www.pbdjarum.org/klub/beasiswa-bulutangkis.
ADVERTISEMENT
Harapan saya, Christian Hadinata akan terus semangat untuk menghasilkan juara-juara baru dari sektor ganda. Dengan begitu, kejadian di Olimpiade London 2012, ketika Indonesia pulang dengan tangan hampa, tidak terulang kembali. Tidak hanya fokus untuk jangka pendek seperti Olimpiade Tokyo 2020, tapi juga untuk jangka panjang seperti Olimpiade Paris 2024 dan Olimpiade Los Angeles 2028. Siapa tahu, penerima Djarum Beasiswa Bulutangkis 2018 nantinya akan bertanding di dua olimpiade tersebut dan menyumbang medali untuk Indonesia.