Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Keluarga dan Rumah: Sekolah Pertama Pembentuk Karakter Anak
8 Juni 2022 22:05 WIB
Tulisan dari Vinny Vera tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Keluarga sejatinya merupakan wadah pendidikan pertama dan utama dalam kehidupan seorang anak ketika mereka lahir ke dunia, yang tentunya menjadi fondasi krusial dalam pembentukan karakter anak.
ADVERTISEMENT
Pembentukan karakter anak yang positif berjalan selaras dengan suasana keluarga yang harmonis dan dinamis; memiliki pola komunikasi dua arah yang baik, pemberian afeksi sebagai konfigurasi kasih sayang dan perhatian, serta menciptakan suasana rumah yang nyaman. Begitupun sebaliknya, disfungsi keluarga membentuk karakter anak yang cenderung menyimpang, salah satu wujud dari dampaknya adalah aksi perundungan yang kerap kali terjadi.
Aksi perundungan di Indonesia bukan lagi hal yang asing terdengar di telinga kita. Setiap bulannya selalu ada laporan kasus perundungan yang tersebar di media massa, membuat kita bergidik ngeri dan bergeleng kepala, bagaimana bisa anak sekecil itu berbuat hal setega itu?
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menerima laporan perundungan sebanyak 37.381 terhitung dalam kurun waktu 2011 hingga 2019, dari jumlah laporan tersebut, sebanyak 2.473 kasus terjadi di lingkungan pendidikan. Angka tersebut tentunya bukan angka yang sedikit dan tidak bisa dianggap remeh. Selain itu, Organisation of Economic Cooperation and Development (OECD) mengungkapkan dalam riset Programme for International Students Assessment (PISA) pada tahun 2018, sebanyak 41,1% murid di Indonesia mengaku pernah menjadi korban perundungan.
ADVERTISEMENT
Keterbatasan mengenai ilmu parenting berdampak pada kaidah-kaidah serta pola dalam membentuk karakter tumbuh kembang anak. Hal-hal yang dianggap baik oleh orang tua belum tentu baik untuk anak, seringkali orang tua hanya melanjutkan tradisi dari nenek moyang tentang bagaimana mendidik meskipun itu membawa pengaruh buruk bagi kesehatan mental anak. Kemudian, orang tua di Asia memiliki kecenderungan lebih “gengsi” untuk menunjukkan rasa kasih sayang mereka terhadap anak dibandingkan para orang tua di Eropa atau Amerika.
Asian parents juga dikenal bersifat controlling atau memegang kendali dominan atas kehidupan anak dengan dalih “orang tua selalu tau yang terbaik” atau sekadar untuk memenuhi cita-cita lampaunya yang belum tuntas. Sikap controlling ini yang membuat anak merasa terkekang, seperti terpenjara di tempat yang seharusnya menjadi zona ternyaman bagi mereka. Terlalu banyak larangan dan perintah untuk melakukan ini dan itu tanpa sadar memberikan dampak buruk bagi kondisi psikologi dan psikososial anak. Jangan heran bila nanti anak menjadi kurang percaya terhadap potensi dalam dirinya, serta menjadi tidak terkendali ketika mereka menemukan kebebasan tanpa mata orang tua yang mengawasi.
ADVERTISEMENT
Pentingnya menjaga komunikasi sudah tidak dapat diganggu gugat. Seringkali orang tua abad 21 menganggap sepele rutinitas berbincang dua arah bersama anak. Memprioritaskan hal lain seperti pekerjaan tidak sepenuhnya bisa disalahkan, namun juga tidak menjadi alasan bagi orang tua untuk melupakan komunikasi, sesederhana bertanya bagaimana harinya berlalu, apa yang membuat sedih, apa yang membuat senang, percakapan-percakapan sederhana yang dibangun semacam itu cukup untuk membuat anak merasa diperhatikan dan orang tua senantiasa mengenal lebih jauh tentang hal-hal yang tidak dilihatnya secara langsung.
Perundungan Sebagai Pelampiasan Emosi
Ketegangan dalam keluarga membuat anak menjadi tidak nyaman berada di dalam keluarga, serta mempengaruhi perkembangan emosi dan perilaku pada anak. Apalagi keluarga yang terang-terangan melakukan tindak kekerasan mampu mempengaruhi perilaku agresif. Selain itu, anak juga mudah meniru tindakan yang dilihatnya sesuai dengan teori observasional learning yang dikemukakan oleh Bandura.
ADVERTISEMENT
Seringkali kita terfokus pada korban perundungan dan mengesampingkan pelakunya. Padahal jika ditinjau dari sisi psikologis, terdapat keadaan yang memicu anak untuk berbuat demikian kepada orang lain. memusatkan fokus dengan porsi yang setara terhadap kondisi korban dan pelaku juga dibutuhkan untuk menjadi evaluasi mengenai akar permasalahan sesungguhnya.
Cognitive Behavioral Therapy
Nasi sudah menjadi bubur. Pola asuh orang tua dan keluarga yang toxic sudah terlanjur menggerogoti pikiran dan indera anak. Namun hal ini masih bisa disiasati. Ada jalan untuk merekonstruksi perilaku anak yang terlibat sebagai pelaku perundungan. Salah satunya adalah dengan cognitive behavioral therapy (selanjutnya disingkat CBT), ialah terapi kognitif yang bertujuan untuk melatih cara berpikir dan cara bertindak seseorang.
CBT pada dasarnya merupakan pendekatan konseling yang dilakukan dengan beberapa cara agar mampu menghasilkan atau memodifikasi perubahan kognitif anak agar menghasilkan perubahan emosi, dan menjadikan perilakunya lebih adaptif. CBT dianggap efektif sebab penggunaan teknik yang sesuai dengan usia sang anak. Terapi ini membantu anak mengenali dan mengevaluasi kesalahan berpikirnya menggunakan teknik restukturisasi kognitif.
ADVERTISEMENT
Peran keluarga begitu dominan dalam tahap tumbuh kembang anak terutama menyangkut kepribadian dan perilakunya sebagai suatu individu yang hidup di lingkungan masyarakat. Hubungan keluarga dan keterkaitannya dengan anak merupakan titik pangkal dari kompetensi maupun inkompetensi penyesuaian sosial anak terhadap sekitar. Meskipun bukan perkara mudah, memiliki keluarga yang sehat dan harmonis adalah dambaan setiap anak. Meski terkesan acuh tak acuh, percayalah bahwa setiap anak menginginkan perhatian dan komunikasi intens dengan orang tuanya. Anak butuh tempat untuk mereka bercerita dan mencurahkan segala keluh kesahnya dengan orang-orang terdekat yang tak lain adalah keluarga.