Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Lembata Darurat Kekerasan Anak; Efek Gangguan Jiwa Pelaku
19 Oktober 2024 17:59 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Vinsen Belawa Making tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kekerasan terhadap anak yang terjadi di Lembata baru-baru ini seakan membuka luka lama yang selama ini tidak terlalu digubris oleh kalayak. Sudah banyak luka yang selama ini dirasakan, sebut saja; pada tahun 2019, total yang terdata ada sembilan kasus kekerasan anak berupa kekerasan fisik, seksual, psikis dan penelantaran yang terjadi di Kabupaten Satu Pulau ini. Selanjutnya tahun 2020 angka kekerasan anak meningkat tajam yakni mencapai 24 kasus kekerasan fisik, seksual, psikis dan penelantaran.
ADVERTISEMENT
Menurut data yang diperoleh per November 2023, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Kabupaten Lembata mencatat 94 kasus Kekerasan Seksual Terhadap Anak dan Perempuan. Kasus hamil anak di bawah umur di Kabupaten Lembata, Provinsi NTT sudah mencapai angka 179 kasus. Ini adalah Fakta yang telah dan sedang terjadi di tanah Lembata. Umumnya motif kekerasan ini adalah persoalan seksual. Mengapa hal ini bisa terjadi?
Efek Gangguan Jiwa pelaku
Hasil berbagai penelitian menyebutkan, kekerasan pada anak justru dilakukan oleh orang dewasa terdekat atau ada hubungan keluarga. Mereka yang seharusnya menjadi pengayom/pelindung justru sebaliknya menjadi pemangsa atau predator. Mereka tega melakukan hal ini karena jiwa mereka sedang terganggu. Secara psikologis, pelaku kekerasan cenderung memiliki gangguan kesehatan mental dalam dirinya sendiri. Faktor pemicu dari tendensi tindakan kekerasan ini lebih pada pengalaman kekerasan serupa di masa kecil. Artinya para pelaku umumnya pernah memiliki pengalaman pelecehan dimasa kecilnya. Dalam ilmu psikologi, kekerasan semasa kecil dapat diklasifikasikan sebagai Adverse Childhood Experiences (ACEs) atau pengalaman-pengalaman buruk di masa kecil. Dampaknya, anak akan cenderung memiliki masalah kesehatan mental dan tendensi kekerasan yang tinggi ketika tumbuh dewasa. Kecenderungan itu akan ada tergantung cara orang tersebut dan lingkungan sekitar mengatasinya.
ADVERTISEMENT
Selain itu pelaku kemungkinan mengalami kelainan seksual Pedofilia atau memiliki nafsu seksual terhadap anak atau remaja. Penyimpangan ini termasuk bagian dari gangguan seksual parafilia. Parafilia sendiri adalah fantasi, dorongan, atau gairah seksual yang menyimpang dengan melibatkan objek, aktivitas, atau situasi yang bagi sebagian besar orang tidak menimbulkan gairah seksual. Kemungkinan besar Pelaku penyiraman air keras terhadap remaja di Lembata mengidap kelainan jenis ini.
Memang hingga kini, penyebab seseorang menjadi pedofil belum diketahui secara pasti. Ada studi yang menyebutkan bahwa gangguan ini bisa diturunkan dari keluarga. Namun, masih belum jelas apakah ini terkait faktor genetik atau pola perilaku yang diturunkan. Selain itu, ada beberapa hal yang bisa meningkatkan risiko seseorang menjadi pedofil, yaitu: Riwayat pelecehan seksual pada masa kanak-kanak, Riwayat cedera kepala saat masa kanak-kanak dan Kelainan pada otak.
ADVERTISEMENT
Mari Saling Menjaga
Semua kita tentu tidak ingin hal buruk menimpa kita apalagi keluarga dekat kita. Oleh sebab itu sebagai orang dewasa yang berada di lingkungan tempat anak tinggal, perlu memberikan perlindungan terhadap tindak kekerasan. Oleh karena itu, penting untuk menjalin komunikasi yang baik dengan anak, tidak hanya pada anggota keluarga, namun juga orang-orang sekitar. Sebab masa kecil anak merupakan masa pertumbuhan yang krusial untuk membentuk karakter, karenanya diperlukan pengawasan dan pengasuhan yang baik supaya bentuk kelalaian berujung kekerasan tidak terjadi. Yang tidak kalah penting lagi, penerapan pola asuh yang baik secara berkelanjutan akan menghasilkan anak-anak dengan mental dan fisik yang sehat di masa depan. Hal inilah mengapa dalam Pendidikan dasar dan menengah ditekankan Sekolah wajib memiliki Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK) yang beranggotakan orang tua/komite, dan para guru di sekolah.
ADVERTISEMENT
Akibat buruk dari kekerasan terhadap anak sangat berbahaya. Riset yang dilakukan di Australia menyatakan penganiayaan pada masa kanak-kanak menyumbang 41% dari upaya bunuh diri dan 35% dari kasus tindakan menyakiti diri sendiri. Kondisi kesehatan mental yang diperiksa melalui riset ini adalah kecemasan, depresi, penggunaan alkohol dan narkoba yang berbahaya, tindakan menyakiti diri sendiri, dan upaya bunuh diri. Berikut beberapa dampak negatif yang dapat mempengaruhi kesehatan mental anak akibat kekerasan, antara lain: Kesulitan mengendalikan emosi, Kesulitan berkonsentrasi, Cenderung melukai diri sendiri, Menghindari lingkungan sosial (dapat terjadi sejak masa kanak-kanak hingga dewasa), Memiliki risiko tinggi terkena depresi dan gangguan kecemasan, Gangguan tidur dan makan, Mengalami Gangguan Stres Pasca Trauma (PTSD) dan Memiliki pikiran atau bahkan mencoba bunuh diri.
ADVERTISEMENT
Lembata adalah sebuah pulau yang memiliki kekayaan budaya yang bernilai tinggi. Wanita bermahar gading dan moko dengan segala ritual nan sakral. Anak-anak yang lahir dari Rahim Lembata adalah mereka yang tak ternilai harganya. Mari jaga dan lindungi mereka dengan kekuatan yang kita miliki. Tegakan sangsi adat paling tinggi dan kawal penegakan hukum negara seadil adilnya. Berikan hukuman yang membuat efek jera bagi pelaku, tidak hanya sekedar kurungan namun harus lebih dari itu.
Penulis; Vinsensius Belawa Lemaking SKM.,M.Kes (Kepala LP3M UCB – Sekretaris Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia Provinsi NTT)