Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.2
Konten dari Pengguna
Mengapa RB Leipzig Dibenci Setengah Mati di Seantero Jerman?
14 Agustus 2020 10:09 WIB
Tulisan dari Viral Sport tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Sensasional. Hanya di musim keduanya di Liga Champions, RB Leipzig sudah berhasil menorehkan sejarah dengan menjejak fase semifinal.
ADVERTISEMENT
Pada laga perempat final, Jumat (14/8) dini hari tadi, Leipzig menyingkirkan Atletico Madrid dengan skor 2-1. Di semifinal, Die Roten Bullen akan menghadapi raksasa Prancis, Paris Saint-Germain.
Bagi suporter Leipzig, keberhasilan ini tentu saja menjadi sebuah kebanggan luar biasa. Bagaimana tidak, klub yang baru berdiri 2009, sudah mampu menembus semifinal turnamen terelit di Benua Biru.
Namun, bagi pencinta sepak bola di Jerman, kesuksesan Leipzig malah semakin membuat mereka benci setengah mati. Mengapa?
Ya, nama Leipzig menyedot perhatian dalam beberapa musim terakhir. Bagaimana tidak, 'si anak baru' ini tiba-tiba menjelma menjadi klub besar di Jerman.
Untuk tim yang baru seusia jagung, raihannya pun tak bisa dipandang sebelah mata. Di musim pertamanya mentas di Bundesliga --2016/17, Die Roten Bullen langsung tancap gas dengan finis di urutan kedua.
ADVERTISEMENT
Setelah itu, tim yang bermarkas di kota Leipzig tersebut selalu konsisten meramaikan persaingan papan atas Bundesliga.
Asal muasal RB Leipzig
Potensi sepak bola di kota Leipzig tercium oleh Dietrich Mateschitz, pemilik perusahaan minuman energi, Red Bull.
Seperti diketahui, perusahaan asal Austria tersebut memang kerap melakukan ekspansi bisnis ke ranah sepak bola.
Sebelumnya, Red Bull telah lebih dulu membangun beberapa tim sepak bola, seperti New York Red Bulls di Amerika Serikat, Red Bull Brasil, Red Bull Ghana, dan Red Bull Salzburg di Austria.
Siasat Mateschitz juga mendapat sambutan hangat dari salah satu rekannya, Franz Beckenbauer, yang tak lain adalah legenda sepak bola Jerman.
Meski begitu, upaya Red Bull masuk ke sepak bola Jerman nyatanya tidak berjalan mulus. Awalnya, Red Bull ingin mengakuisisi kepemilikan FC Sachsen Leipzig, klub lokal setempat yang bermain di divisi keempat.
ADVERTISEMENT
Namun, ambisi mereka untuk merombak total nama dan warna klub tersebut justru diadang Asosiasi Sepak Bola Jerman (DFB).
Hingga akhirnya, pada 2009, Red Bull memilih klub bernama Markranstadt untuk memuluskan proses jual-beli kepemilikan tersebut. Markranstadt sendiri adalah klub yang juga berasal dari kota Leipzig. Saat diakuisisi, tim ini masih berada di divisi kelima.
Nama 'RasenBallsport Leipzig' dipilih dalam proses rebranding tersebut. Pada penamaannya, RasenBallsport, yang artinya 'klub sepak bola', disingkat menjadi RB. Hal ini dilakukan untuk 'mengakali' regulasi di Jerman yang melarang nama perusahaan tersemat dalam nama klub.
Di tahun pertamanya, klub tersebut langsung promosi ke kasta keempat Liga Jerman. Lagi-lagi, untuk dapat berkompetisi di kasta keempat, RB Leipzig kudu 'mengakali' regulasi di sana: aturan proporsi kepemilikan klub.
ADVERTISEMENT
Hal tersebut akhirnya menjadi salah satu faktor mengapa petinggi klub dan suporter tim lain membenci RB Leipzig.
Prestasi Leipzig kian tak terbendung ketika Ralf Rangnick bergabung ke dalam susunan direksi klub. Rangnick kala itu ditunjuk sebagai direktur klub di tahun 2012.
Alhasil, sejak Rangnick hadir, RB Leipzig langsung promosi dua kali beruntun hingga naik ke Bundesliga 2. Kemudian, hanya berselang dua tahun, tepatnya pada musim 2015/16, Die Roten Bullen akhirnya memastikan satu tiket untuk promosi ke kasta tertinggi Liga Jerman.
Dibenci seantero Jerman
Meroketnya prestasi RB Leipzig dalam waktu singkat menimbulkan kebencian dari suporter tim lain. Selain karena kerap mengakali regulasi, RB Leipzig juga dinilai telah merusak nilai-nilai tradisional sepak bola Jerman.
ADVERTISEMENT
Berbagai perlakuan tak mengenakan kerap mereka dapatkan dari pendukung tim lain. Bahkan beberapa suporter dikabarkan ogah bertandang ke markas RB Leipzig.
Lebih parah, pada 2016, RB Leipzig pernah dilempari kepala banteng oleh para pendukung Dynamo Dresden dalam lawatannya ke kandang eks klub Jerman Timur tersebut.
Kendati begitu, kehadiran RB Leipzig tetap disambut hangat warga setempat. Ya, peningkatan prestasi dalam satu dekade ke belakang, menjadi hiburan tersendiri bagi warga lokal yang sebelumnya tidak memiliki klub besar di daerahnya.
Kini, Leipzig--dengan segala macam kebencian yang menyelimuti mereka--bersiap menggebrak Eropa dengan mencapai partai final Liga Champions. Mampukah? Menarik dinantikan.