Konten dari Pengguna

Strategi Efektif Pencegahan Cyberbullying di Ranah Pendidikan

viraseptaria19
Mahasiswi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
28 November 2024 15:27 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari viraseptaria19 tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Foto Cyberbullying (Sumber : Dokumen Pribadi)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Foto Cyberbullying (Sumber : Dokumen Pribadi)
ADVERTISEMENT
Adapun menurut Think Before Text, cyberbullying adalah perilaku agresif dan bertujuan yang dilakukan suatu kelompok atau individu, menggunakan media elektronik, secara berulang-ulang dari waktu ke waktu, terhadap seseorang yang dianggap tidak mudah melakukan perlawanan atas tindakan tersebut. Jadi, terdapat perbedaan kekuatan antara pelaku dan korban. Perbedaan kekuatan dalam hal ini merujuk pada sebuah persepsi kapasitas fisik dan mental. Menurut catatan Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), 50% kasus perundungan di satuan pendidikan terjadi di jenjang SMP, 23% di SD, 13,5% di SMA, dan 13,5% di SMK. Catatan ini merujuk pada 23 kasus perundungan yang terjadi di sekolah sejak Januari hingga September 2023. Dalam konteks cyberbullying di sekolah, sekolah harus menerapkan strategi pencegahan yang efektif. Cyberbullying, yang melibatkan penggunaan teknologi untuk mengancam atau mengganggu orang lain, dapat berdampak negatif pada kesehatan mental dan akademik siswa. Berikut ini adalah beberapa pendekatan yang dapat digunakan oleh institusi pendidikan yaitu:
ADVERTISEMENT
1. Edukasi dan Kesadaran
Langkah awal mencegah cyberbullying, pendidikan tentang cyberbullying harus dimulai sejak dini. Sekolah harus mengadakan workshop dan seminar untuk orang tua, siswa, dan guru mengenai pengertian cyberbullying, efeknya, dan cara melaporkannya. Materi pendidikan harus mencakup cara menggunakan media sosial dengan bijak dan konsekuensi dari tindakan online.
2. Pembentukan Tim Pencegahan
Sekolah dapat membentuk tim pencegahan bullying yang terdiri dari guru, konselor, dan perwakilan siswa. Tim ini bertanggung jawab untuk mengawasi dan menangani kasus cyberbullying. Mereka juga bertanggung jawab untuk membuat kebijakan yang jelas tentang anti-bullying dan memastikan bahwa semua orang memahami dan mengikutinya.
3. Pemantauan Media Sosial
Sekolah dapat mengambil tindakan proaktif dengan memantau aktivitas media sosial siswa. Sekolah dapat membuat akun resmi di Facebook atau Instagram untuk berinteraksi dengan siswa. Sekolah dapat lebih mudah menemukan kasus cyberbullying yang mungkin dan menanganinya sebelum masalah berkembang.
ADVERTISEMENT
Teknologi dapat membantu mencegah cyberbullying. Perangkat lunak atau aplikasi yang dimaksudkan untuk melindungi siswa dari konten berbahaya dapat digunakan oleh sekolah. Beberapa tindakan yang bisa diambil meliputi:
- Pemantauan Aktivitas Online: Menggunakan alat pemantau yang menemukan kata-kata atau tindakan yang mencurigakan di platform online yang digunakan untuk belajar.
- Pengaturan Privasi: mengajarkan siswa cara mengelola pengaturan privasi akun media sosial mereka.
- Platform Aman: mendorong penggunaan platform pendidikan yang memiliki fitur keamanan seperti kontrol akses dan moderasi konten.
4. Kebijakan Anti-Bullying yang Tegas
Setiap sekolah harus memiliki kebijakan anti-bullying yang jelas dan tegas yang diberitahukan kepada semua siswa dan mencakup sanksi bagi pelaku bullying. Aturan yang jelas akan membuat pelaku bullying jera dan membuat sekolah lebih aman.
ADVERTISEMENT
5. Pendekatan Restoratif yang Tegas
Metode restoratif mungkin bermanfaat dalam menangani kasus cyberbullying. Metode ini berfokus pada pemulihan hubungan antara pelaku dan korban daripada hanya menghukum pelaku. Mereka dapat memahami dampak dari tindakan mereka dan berusaha memperbaiki kerugian dengan berbicara secara terbuka.
6. Keterlibatan Orang Tua
Orang tua memiliki peran penting dalam mencegah bullying di internet. Sekolah harus memberi tahu orang tua tentang tanda-tanda bahwa anak menjadi korban atau pelaku pelecehan dan bagaimana mereka dapat membantu anak-anak mereka. Komunikasi yang baik antara sekolah dan orang tua akan membantu menciptakan lingkungan yang lebih aman bagi siswa.
7. Dukungan Psikologis dan Membangun Komunikasi yang Efektif
Selain itu, sekolah harus memberikan layanan konseling kepada siswa yang terlibat dalam kasus bullying, baik sebagai pelaku maupun korban. Konseling dapat membantu mereka mengatasi masalah emosional dan psikologis yang disebabkan oleh bullying serta menawarkan strategi untuk mengatasi situasi yang lebih baik. Sangat penting untuk mencegah dan menangani cyberbullying dengan menjalin komunikasi yang terbuka antara siswa, guru, dan orang tua. Ini dapat dicapai dengan cara berikut:
ADVERTISEMENT
- Sesi Konseling: Sekolah dapat menawarkan layanan konseling kepada siswa untuk berbagi pengalaman atau kekhawatiran mereka.
- Diskusi Keluarga: Orang tua didorong untuk berbicara secara teratur dengan anak-anak mereka tentang aktivitas online dan teman-teman mereka.
- Forum Siswa: Memberikan ruang bagi siswa untuk berbicara dan berkolaborasi tentang masalah yang mereka hadapi, seperti pelecehan online.
8. Mengadakan Kampanye Anti-Cyberbullying
Kampanye yang melibatkan seluruh komunitas sekolah dapat meningkatkan kesadaran dan keterlibatan dalam mencegah cyberbullying. Contoh aktivitas kampanye termasuk:
- Poster dan video pendidikan: Membuat konten kreatif yang mengangkat isu cyberbullying
- Hari Anti-Cyberbullying: Menyelenggarakan acara khusus yang berfokus pada pentingnya menciptakan dunia maya yang aman dan ramah.
- Penghargaan: Memberikan penghargaan kepada siswa atau kelompok yang aktif dalam mendorong budaya anti-cyberbullying.
ADVERTISEMENT
Kesimpulan
Di ranah pendidikan, pencegahan cyberbullying memerlukan pendekatan menyeluruh yang melibatkan sekolah, orang tua, dan masyarakat. Diharapkan lingkungan pendidikan akan menjadi lebih aman dan mendukung pertumbuhan positif bagi semua siswa dengan penerapan program pendidikan, pemantauan media sosial, tim pencegahan, kebijakan tegas anti-bullying, pendekatan restoratif, keterlibatan orang tua, dan dukungan psikologis.
Vira Septaria Utami, Mahasiswi Manajemen Pendidikan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta