Memperbaiki Persepsi Kata 'Jancuk'

Visnu Assyafiq Suwarto
UINSA's IR Student Addicted in Sport, Music and Writing Basketball, Football, Music Group and Media's Photographer Wannabe Your Bad Lover
Konten dari Pengguna
7 Januari 2021 17:15 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Visnu Assyafiq Suwarto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Adegan dalam film Yowis Ben yang mengucapkan Jancuk; Sumber: Youtube
zoom-in-whitePerbesar
Adegan dalam film Yowis Ben yang mengucapkan Jancuk; Sumber: Youtube
ADVERTISEMENT
Kata Jancuk dikenal sebagai kata yang tak beretika, kasar, dan ngawur. Manusia pada umumnya akan tersinggung jika mendengar kata “Jancuk” atau disingkat “Cuk”. Namun, jika mengetahui bagaimana sejarah dan fungsi sebenarnya dari kata made in Surabaya ini, manusia takkan malu–malu untuk mengucapkan kata ini kepada orang lain, tentunya dengan memilih dulu siapa orangnya.
ADVERTISEMENT
“Jancuk” adalah sebuah kata istimewa yang berasal dari Jawa Timur, kota Surabaya khususnya. Kata ini merupakan ikon dari Surabaya yang sama kuatnya dengan patung Suro dan Boyo serta Lontong Balap. “Jancuk” atau “Cuk” menjadi imbuhan wajib bagi masyarakat Surabaya yang terkenal blak-blakan dan jujur dalam berkata. Oleh karenanya, kata ini menjadi sebuah penyegar dari cara bicara masyarakat Surabaya. Sayangnya, budaya yang masih dipertahankan oleh Masyarakat Surabaya dan Jawa Timur ini belum mendapat perhatian dari UNESCO.
Berikut ini adalah beberapa fungsi dari kata “Jancuk” yang dikumpulkan melalui sebuah artikel di media Mojok.co dan research secara pribadi, ditambahkan dengan analisis pribadi yang semoga dapat memahamkan pembaca.

Sebagai Adanya Tanda Bahaya

Kata “Jancuk” sebagai tanda bahaya merupakan sejarah yang paling terkenal jika membahas asal-muasal “Jancuk”. Hal ini terjadi karena Jancuk atau Cuk sangat identik dengan perjuangan masyarakat Surabaya di tahun 1945 saat mengusir tentara barat yang menguasai Surabaya.
ADVERTISEMENT
Kita mengetahui bahwa sejak dahulu, hal-hal yang berhubungan dengan persenjataan atau serdadu perang dikaitkan dengan nama-nama orang terkenal di masa lalunya. Contohnya, tentara Siliwangi yang dipunyai oleh pasukan Jawa barat saat agresi militer. Nama Siliwangi sendiri terinspirasi dari nama salah seorang penguasa Jawa barat di zaman kerajaan, yaitu Prabu Siliwangi yang selain menjadi raja, juga menjadi panglima pasukan Harimau.
Di Belanda, hal tersebut juga digunakan oleh tentara Belanda dalam menamai salah satu tank tempur saat pertempuran Surabaya. Tank itu dinamai dengan nama salah satu pelukis Belanda bernama Jan Cox.
Saat berlangsungnya peperangan, tentara Surabaya akan melihat tank musuh sebagai tanda bahaya. Tentara Surabaya akan memperingatkan pasukan untuk segera bersembunyi agar tidak tertembak atau terserang secara fisik oleh kendaraan anti peluru itu. Orang Surabaya akan memperingatkan dengan kata-kata “Awas, Onok Jan Cox (Awas ada Jan Cox) atau bisa disingkat menjadi “awas Jan Cox” yang kini terbiasa dicuapkan jadi “Awas Jancok” atau “Awas Cok!.”
ADVERTISEMENT
Peristiwa ini mengingatkan kepada kita bahwa kalimat Jancuk adalah sebuah peringatan keras agar kita selalu berhati-hati akan adanya bahanya di masa depan. Kita sudah sering mendengar bahwa di berita, kita sering menemukan kecelakaan atau peristiwa yang mengenaskan karena kurangnya kehati-hatian dalam bersikap.

Sebagai Imbauan untuk Selalu Disiplin

Untuk meningkatkan kedisiplinan, terkadang manusia tidak dapat diingatkan dengan hanya diimbau. Peringatan keras sekali-kali dibutuhkan agar kita kedisiplinan bisa tegak dan tidak terjadi hal – hal yang melenceng. Oleh karena itu, butuh sebuah kata-kata yang selain keras, namun dapat membuat manusia lebih memperhatikan kedisiplinan. “Jancuk” adalah salah satunya.
“Jancuk” menjadi sebuah peringatan kedisiplinan karena sejarah Jancuk yang bersumber dari Jepang. Saat penjajahan Jepang, tentara Jepang menegur pekerja Romusha yang tidak cepat dalam bekerja dengan kata-kata Sudanco yang berarti Ayo Cepat. Kata berbahasa Jepang ini rupanya memiliki nasib buruk dan diplesetkan menjadi Dancok.
ADVERTISEMENT
Sikap orang Jepang dalam menegakkan kedisplinan dan kerja cepat memang harus ditiru oleh orang-orang Indonesia, bukan hanya Dancoknya saja. Sudanco alias Dancok harus digunakan untuk menyadarkan manusia tentang pentingnya kecepatan dalam bekerja dan kedisiplinan. Meskipun dalam bekerja diperlukan kehati-hatian, akan tetapi, jangan lupa bahwa lebih cepat tentu saja lebih baik.
Ilustrasi marah. Foto: Pixabay

Sebagai Pengingat untuk Tidak Berbuat Kejahatan

Sebenarnya, melakukan breakdown kata “Jancuk” sebagai cara untuk menghindarkan kita dari kejahatan agak sedikit berisiko. Sebabnya, kata “Jancuk” sangat identik dengan kalimat yang jahat dan kasar. Akan tetapi, sejarah dan rujukan arab mengenai kata khas ini benar-benar membuktikannya. Kata itu adalah Dasuk.
Dalam bahasa Arab, Dasuk diambil dari kata Da’ yang berarti meninggalkanlah kamu dan assyu’a yang berarti kejelekan. Jika dihubungkan, maka dua kata kerja itu menjadi Dasu’a yang berarti tinggalkanlah kejelekan, yang tentu saja dimudahkan pengucapannya oleh orang Surabaya menjadi “Dasuk” atau “Jancuk”.
ADVERTISEMENT
Selain rujukan sejarah, kata Jancuk sebagai pengingat untuk menghindari kejahatan juga bersumber dari guyonan anak SD. Saat SD, kita sering memanjangkan kata “Jancok” sebagai Jangan Anggap Neraka Cuma Omong Kosong.
Dari dua sumber ini, dipahami bahwa kalimat Jancuk atau Jancok sebenarnya memiliki maksud yang sangat mulia. Namun, sering kali kita (terutama para orang tua) memaknai kata ini sebagai sesuatu yang negatif, bahkan berkonotasi kasar dan mengandung unsur hinaan. Padahal, jika “Jancok” digunakan secara benar dan dipahami asal-usulnya, kata ini dapat menjadi kata-kata yang baik, mudah diterima, dan mengandung nilai budaya.

Sebagai Salam Persahabatan

Sebagai salam persahabatan dan persaudaraan, kata Jancuk akan sangat mudah dicari referensinya. Setiap orang Jawa timur, utamanya Surabaya pasti akan mengimbuhkan kata ini dalam setiap percakapan. Tentunya, imbuhan ini digunakan untuk orang-orang yang tepat, yaitu kepada orang-orang yang setara dengan kita.
ADVERTISEMENT
Referensi “Jancuk” sebagai salam persahabatan sudah ada di zaman kolonial Belanda. Di zaman penjajahan, Bahasa Belanda menjadi bahasa utama di masyarkat, tentunya di samping bahasa daerah sebagai alat komunikasi. Orang Surabaya yang dikenal suka ceplas-ceplos dan ahli dalam mbanyol tentu saja menggunakan bahasa Belanda untuk berkomunikasi, termasuk dalam mengeluarkan banyolan tersebut.
Orang Surabaya mengilhami bahasa Belanda “Yantye ook” yang artinya “kamu juga” untuk mengejek balik orang Belanda yang sering kali menghina kaum Pribumi. Namun, karena perbedaan kultur dan cara bicara, “Yantye ook” diplesetkan oleh orang Surabaya menjadi “Yantcook” hingga menjadi “Jancok”.
Dari peristiwa sejarah ini, dapat kita simpulkan bahwa orang Surabaya dan Jawa Timur bukanlah orang yang mudah tersinggung dan sangat menghargai kesetaraan. Olok-olok “Yantcook” atau “Jancok” adalah salah cara yang digunakan oleh orang Surabaya adalah penegasan bahwa antara penjajah dan pribumi tidak ada perbedaan kasta atau setara, terbukti dari “Yantye ook” yang artinya kamu juga sangat kental dengan kesetaraan. Oleh karenanya, “Jancuk” digunakan untuk orang yang setara dengan kita.
ADVERTISEMENT
Dari keempat fungsi tersebut, kata “Jancuk” yang dikenal kasar itu ternyata memiliki fungsi yang sebaliknya. Jancuk adalah kata yang berfungsi sebagai penghindar dari persepsi buruk, pengingat tanda bahaya, kedisiplinan dan sebagai bentuk kesetaraan.
Untuk mengindarkan kita dan orang lain dari hal-hal buruk, kita harus mencontohkan hal baik dengan cara berbicara dengan bahasa yang baik. Tetapi, terkadang manusia memang tidak begitu mendengarkan peringatan dengan kata yang baik, malah sebaliknya mereka mengejek peringatan baik tersebut. Oleh karenaya, dibutuhkan peringatan dengan kata yang sedikit kasar agar sebuah peringatan dapat diterima.
Teruntuk setiap manusia, tidak menjadi masalah jika mengucapkan kata-kata tersebut. Bagaimanapun, “Jancuk” adalah akar budaya yang mesti dilestarikan agar tidak tergerus oleh budaya lain. Untuk para orang tua, jangan mempermasalahkan putra-putrinya yang mengucapkan “Jancuk” atau “Cuk”. Orang tua malah wajib mengarahkan kepada putra-putrinya untuk mengucapkan kata – kata tersebut di momen yang tepat, yang tentunya tidak menyinggung perasaan orang lain, sebagai pelestarian budaya juga peringatan untuk tidak berbuat jahat.
ADVERTISEMENT