Tidak Pernah Ada Monumen untuk Pahlawan Devisa

Yngvie Ahsanu Nadiyya
Freelance ilustrator dan tertarik mempelajari berbagai disiplin ilmu seperti gender dan HAM, musik, seni rupa. Tergabung dalam Divisi Media dan Litbang di Mitra Wacana, Yogyakarta.
Konten dari Pengguna
21 April 2022 15:30 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yngvie Ahsanu Nadiyya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Kekerasan pada Perempuan (Sumber: Karya Ilustrasi Penulis)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Kekerasan pada Perempuan (Sumber: Karya Ilustrasi Penulis)
ADVERTISEMENT
Tulisan ini berawal dari pengalaman saya saat mengunjungi beberapa monumen. Seperti Museum Monumen Pahlawan Pancasila yang berada di daerah Sleman, Yogyakarta. Museum tersebut mengabadikan peristiwa bersejarah tentang tewasnya pahlawan revolusi yakni, Kolonel Katamso dan Letnan Kolonel Sugiyono pada tahun 1965 saat gerakan komunis di Indonesia dianggap menjadi momok bagi persatuan negara.
ADVERTISEMENT
Lalu, ada Tugu Proklamasi yang berada di daerah Menteng, Jakarta Pusat. Di Tugu tersebut menjulang tinggi patung Soekarno dan Hatta serta teks proklamasi yang terukir di atas batu marmer hitam.
Pembangunan monumen bertujuan untuk membuat kita tidak akan pernah lupa tentang peristiwa yang terjadi di masa lampau, sekaligus memberi penghargaan pada tokoh atau pahlawan yang telah berjasa dalam menjaga keutuhan negara.
Tiba-tiba saja terlintas dalam benak saya nama Adelina Lisao dan Santi Restauli Simbolon yang tewas mengenaskan di Malaysia saat menjadi pekerja migran. Apakah nama mereka tidak patut untuk diingat berkat jasanya sebagai pahlawan devisa? Atau justru kematiannya harus diingat sebagai bentuk kecacatan negara dalam melindungi pekerja migran.
ADVERTISEMENT
TKI (Tenaga Kerja Indonesia) atau sekarang telah berganti nama menjadi PMI (Pekerja Migran Indonesia) merupakan penghasil devisa melalui remitansi (remitansi masuk) dalam bahasa inggris disebut juga Inward Remittance, yang membuat negara mendapatkan keuntungan dari transaksi pengiriman uang yang dilakukan oleh PMI. Menurut data Bank Indonesia remitansi PMI pada tahun 2019 mencapai 11.435 juta dolar AS atau setara dengan Rp 164 miliar.
Rentetan peristiwa mengenaskan justru banyak menimpa pekerja migran yang bekerja diluar negeri, khususnya pekerja migran perempuan. Pada Februari 2018 Adelina Lisao perempuan asal Nusa Tenggara Timur meninggal akibat disiksa oleh majikannya di Malaysia. Nyawanya tidak tertolong akibat beberapa luka yang dideritanya.
Kemudian di tahun yang sama dan hanya berselang satu bulan, Santi Restauli Simbolon perempuan asal Sumatera Utara ditemukan tewas membusuk di dalam lemari saat bekerja di Malaysia. Kematiannya diduga karena cekcok perihal asmara.
ADVERTISEMENT
Kedua kasus di atas hanya sebagian kecil dari banyaknya kasus yang menimpa PMI. Dalam Jurnal Perempuan edisi Mei 2003, disebutkan kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia yang marak terjadi dalam sektor pekerja migran seperti, gaji tidak dibayar, dianiaya majikan, paspor ditahan majikan, ditelantarkan agen atau majikan, percobaan perkosaan, kerja tidak sesuai perjanjian, dan lain sebagainya.
Dengan berbagai contoh kasus yang telah terjadi, menandakan bahwa pekerja migran perempuan sangat rentan dalam mengalami kekerasan dan ancaman lainnya. Kasus kematian yang diakibatkan oleh majikan di luar negeri sudah banyak kita saksikan dalam berita.
Kondisi rentan yang dialami perempuan adalah persoalan yang harus diatasi sebelum perempuan memutuskan untuk bekerja di luar negeri. Permasalahan ekonomi, dan akses pendidikan yang tidak merata membuat mereka terpaksa mencari peruntungan di negara orang.
ADVERTISEMENT
Pekerja migran perempuan memiliki masalah yang berlapis seperti indikasi perdagangan orang, yang merupakan pelanggaran berat Hak Asasi Manusia serta segala bentuk kekerasan yang dapat mengancam nyawa.