Konten dari Pengguna

Mengukur Loyalitas Pemain dan Pelatih Sepakbola

Vyatra Joseph
Tukang komentar film... Tukang tomentar sepakbola... Tukang komentar apa saja yang bisa dikomentari...
11 Desember 2017 13:38 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:13 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Vyatra Joseph tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Mengukur Loyalitas Pemain dan Pelatih Sepakbola
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Melihat betapa giatnya Sriwijaya FC dan Persija berburu pemain dan pelatih yang akhirnya mencapai kata sepakat untuk beberapa diantaranya, saya cukup berdecak kagum. Mengingat kebiasaan persiapan-persiapan klub di Indonesia seringkali terkesan seadanya, apa yang dilakukan dua klub ini patut diacungi jempol. Sebuah keberanian dalam mengambil keputusan, dikala federasi sepakbola kita doyan melempar jokes, lewat regulasi.
ADVERTISEMENT
Jual beli pemain sebagai proses membangun tim sepakbola sudah menjadi hal yang biasa, pemain datang dan pergi tentunya adalah sebuah keniscayaan dalam sepakbola.
Merujuk pada kenyataan tersebut, suka tidak suka, se-anti apapun terhadap politik, pada akhirnya sepakbola dan politik memiliki mazhab yang sama “Tak ada kawan dan lawan yang abadi, yang ada hanyalah kepentingan yang abadi”, oleh sebab itu saya selalu yakin mereka yang rajin meneriakan “sepakbola harus jauh dari politik”, hanya khilaf.
Sepakbola masih ada, boleh dimainkan dan ditonton bebas adalah sebuah kebijakan politik. Kalau besok negara kita ikutan latah bikin kebijakan seperti Singapura, yang melarang anak-anak berlatih sepakbola, bagaimana coba? Atau lebih ekstrim lagi terinspirasi ISIS untuk menghabisi orang yang menonton sepakbola karena dianggap melanggar hukum? modyar. Lagipula sekian tahun klub kesayangan (di Indonesia) dibiayai APBD dan kita tenang-tenang saja, memang uang dari mana kalau bukan dari kebijakan politik, jualan tahu bulat?.
ADVERTISEMENT
Layaknya transfer window di eropa yang penuh drama, Indonesia sebagai negara yang cukup gila dalam urusan sepakbola, tidak kalah drama-nya dalam proses transfer pemain di kompetisinya-nya.
Kasus Mister Cepek Indriyanto Nugoroho, atau Bagaimana Bambang Nurdiansyah dibayar dengan sebidang tanah dan mobil oleh Yoyok Sukawi untuk menangani PSIS, sampai yang paling anyar adalah soal isu tidak sedap Yanto Basna yang batal memeperkuat Arema, adalah sekumpulan cerita yang hadir dalam proses transfer. Diantara itu semua ada satu isu yang kadang mengusik pemikiran, saat proses transfer berlangsung, loyalitas.
Menurut kbbi loyalitas sendiri berarti kepatuhan atau kesetiaan, sebuah kata serapan dari loyalty yang jika diterjemahkan langsung berarti ukuran mutu kesetiaan. Pendukung sepakbola sendiri, terkadang memaknai ukuran mutu kesetiaan dengan cara yang agak mmmmm kurang mutu.
ADVERTISEMENT
Judas adalah julukan yang paling sering dipakai untuk menggambarkan seseorang yang berkhianat, seseorang yang tidak setia, tak terkecuali dalam dunia sepakbola. Julukan yang diambil dari nama salah satu dari kedua belas murid Yesus, yang kemudian berkhianat karena “menjual” Yesus.
Sampai sekarang nama itu adalah nama yang paling populer dipakai sebagai julukan pengkhianat, bukan Brutus bukan juga Lancelot yang mengkhianati King Arthur demi memuaskan asmarannya, atau sebut saja Ray Kroc yang mengkhianatai Mc Donald bersauadara (walaupun secara hukum apa yang dilakukan-nya sah). Entahlah mungkin karena tokoh Judas lebih dekat dengan sejarah agama sehingga terlihat lebih berdosa, ketimbang tokoh-tokoh lainnya yang mengkhianati dengan tema politik, perang atau cinta, Everything is fair in love and war (saya tambahin bisnis supaya kontekstual sama cerita Ray Kroc hehehehe).
ADVERTISEMENT
Mentalitas kerohanian saya jelas tak cukup mumpuni untuk bercerita tentang sejarah Kristen. Bisa masuk gereja seminggu sekali saja, menjadi prestasi membanggakan bagi saya yang lebih sering ketiduran diminggu pagi seteleh menonton pertandingan sepakbola sampai larut, atau malah kelayaban di minggu sore, ketimbang mengikuti misa sore, tapi pernahkah terpikir bahwa Yesus sendiri sudah menubuatkan bahwa dia akan dikhianati oleh salah satu muridnya, dan Judas-lah yang menggenapi-nya.
Judas-lah yang cukup berani menjadi unsung hero, untuk menggenapi firman itu. Pernahkah terbayangkan apa yang akan terjadi jika ia tidak melakukan pengkhianatan itu, dan tak ada murid lain yang cukup berani melakukan pengkhianatan itu.
Jika Judas yang lebih agamis saja bisa menjadi pahlawan dari sudut pandang lain, apalah daya para pemain dan pelatih sepakbola yang hanya ikut cari makan dalam dunia yang fana. Mereka bisa jadi pengkhianat di mata salah satu pendukung sepakbola, tapi tidak lantas mereka menjadi sama rendahnya dimata pendukung lain, dimata keluargnya atau dimata orang sekitarnya.
ADVERTISEMENT
Oke saya cukupkan saja berbicara konspirasi agama dan kaitannya dalam sepakbola, kembali berbicara sepakbola dari sudut pandang saya saja.
Saya teramat sering membaca sebuah pendukung klub sepakbola menjustifikasi seorang pemain atau pelatih sepakbola tidak loyal, karena memilih klub lain yang menawarkan bayaran lebih besar ataupun fasilitas lebih baik dan kemungkinan memperoleh prestasi yang lebih terbuka. Lebih menyedihkan lagi ukuran loyalitas itu di pasang dengan standar ganda.
Untuk mencapai kemakmuran finansial, semua berlomba-lomba mengejar pekerjaan mapan. Mendaftar PNS karena ingin memiliki kehidupan yang layak sampai pensiun, berpindah dari satu perusahaan ke perusahaan lain karena mendapatkan tawaran gaji yang lebih besar, berusaha menggapai prestise dengan berpindah ke perusahaan yang menawarkan jenjang karir yang lebih baik, atau dengan alasan yang sederhana hanya sekedar mencari kenyamanan, semua dilakukan demi kenyamanan hidup, lantas kenapa tidak cukup adil menjustifkasi seseorang pelatih dan pemain sepakbola tidak loyal. Pernahkah terpikir mereka hanya berpikiran sama dengan kebanyakan manusia?.
ADVERTISEMENT
Saat loyalitas harus dihadapkan pada “urusan perut” (apalagi “urusan perut” anak dan istri) dan urusan kehidupan manusia, rasionalitas tetap harus dikedepankan.
Terlalu pandir rasanya jika memakai isu loyalitas hanya untuk menenangkan diri, karena insecure pemain dan pelatih tersebut meninggalkan klub kesayangan, apalagi jika alasaanya hanya karena iri mereka bisa memainkan olahraga paling populer didunia, dan dibayar dengan jumlah besar.
Untuk sepakbola Indonesia, menyerang seorang pemain dengan isu loyalitas jelas menjadi hal yang tidak sepenuhnya masuk akal.
Kebiasaan klub sepabola Indonesia yang memberikan kontrak jangka pendek, karena dulu mengikuti periode APBD yang memiliki jangka waktu satu tahun, serta kekhawatiran akan kebiasaan federasi kita yang doyan merubah regulasi seenak perut adalah alasannya.
ADVERTISEMENT
Dalam sebuah wawancara, Ferdinand Sinaga pernah bercerita kenapa ia keburu pindah ke Sriwijaya dan meninggalkan Persib, karena tak kunjung mendapat kejelasan kontrak. Dilain sisi tanggung jawabnya sebagai kepala keluarga tak bisa begitu saja ditinggalkan.
Jadi, masihkah anda terlalu angkuh menaruh ukuran loyalitas kepada seorang pemain yang pergi? Apalagi saat klubnya masih tarik ulur soal kontrak karena terkendala pendanaan. Kalau masih, saran saya, temui psikiater, ada yang salah dengan kesehatan mental anda.
Loyalitas jelas ukuran yang ideal untuk membangun sebuah fondasi bagi kebersamaan, begitu pula dengan membangun sebuah tim. Anda jelas tidak mau punya pasangan bermental pengkhianat. Sekali lagi, rasionalitas tetap harus menjadi landasan berpikir.
Misalkan anda punya kekasih, kekasih anda doyan selingkuh. Kisah hubungan anda hanya terulang dari minta maaf, sampai kembali selingkuh lagi, pasangan anda tidak bisa diajak serius membangun hubungan padahal anda sudah dua rius. Saat anda mempertahankan loyalitas yang sama sementara pasangan anda tetap pada habitnya, mmmmmm mesak'e rek. Apa gunanya mempertahankan kebersamaan jika hanya menghasilkan sakit hati.
ADVERTISEMENT
Boleh saja memakai nama Fransesco Totti untuk berlindung atas prinsip loyalitas, atau Ryan Giggs atau Paul Scholes dan pemain one men club lainnya, sah-sah saja. Lantas apakah pemain lain yang bukan one men club yang ingin mendapatkan karir dan kemampanan yang lebih baik di klub raksasa adalah seorang pengkhianat.
Apakah Christiano Ronaldo dan Lionel Messi yang meninggalkan klub masa kecilnya untuk karir yang lebih baik, dan menjadi legenda dunia lantas menjadi pengkhianat, atau Legenda Indonesia Boaz Solossa yang meninggalkan tanah kelahirannya di Sorong untuk bergabung dengan klub asal Jayapura dan sempat bergabung di PBFC saat Persipura dibubarkan pantas mendapatkan cap pengkhianat?.
“Itu beda mas”
Hahhhhhh
Oke cukup… saya kewalahan mengimbangi standar berpkir anda, yang ternyata bukan hanya ganda, tapi berganda-ganda.
ADVERTISEMENT
Sudahlah berdamai saja dengan keadaan, kita butuh hiburan bernama sepakbola, pemain sepakbola sebagai penghibur butuh penghidupan layak.
Salam
====
*gambar diambil dari google