Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Saya dan Sepak Bola Indonesia
19 September 2019 11:07 WIB
Tulisan dari Vyatra Joseph tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Konon katanya, menjadi fans sepak bola adalah hal paling romantis yang bisa dilakukan oleh umat manusia. Tak semua orang mampu melakukannya.
ADVERTISEMENT
Teriakan chant, makian saat tim kesayangan gagal mencetak gol, atau kebobolan dengan cara bodoh dan pada akhirnya termenung usai dikalahkan. Setelah semua kebodohan itu kita kembali menata hati menyiapkan perasaan untuk kembali berharap dengan cara yang sama. Ini hanya mampu dilakukan oleh mereka-mereka yang terlalu puitis dan kehilangan akal sehat. Iya, misalnya saja saya.
Jika ditanya bagian apa yang paling mungkin membuat lupa diri dan menafikan logika, saya akan menjawab mantap “Menjadi fans sepak bola." Utamanya, fans sepak bola Indonesia, dan menjadi fans Timnas Indonesia. Dan tak lupa berteguh pada Manchester United beberapa tahun ke belakang. Di ujung dunia lain, ada sekumpulan manusia yang melakukan hal sama hanya berbeda tim yang didukung.
ADVERTISEMENT
Bukti paling sahih adalah saat kita terpeleset disenggol Malaysia, tapi masih berharap Garuda mampu menghantam raja Asia Tenggara. Tak ada sisi logis mana pun yang mampu menjelaskan itu.
Liga Thailand jauh lebih sehat. Pemain Thailand jauh lebih hebat. Juru taktiknya adalah dia yang bertanggung jawab membuat Belgia ketar-ketir di perdelapan final Piala Dunia. Tapi, sore itu saya masih saja berharap... Dan seperti biasa, usai menyanyikan lagu Indonesia Raya dengan khidmat, selama 90 menit pula saya khidmat menyaksikan tim ini dipermainkan. Duh. Maafkan logika saya mama.
Kita bisa berharap apa dari sepak bola seadanya. Liga yang penting menendang bola (kalau perlu bersama pemain dan wasitnya), pemain yang penting berkumpul bersama. Sisanya hanya mereka-mereka yang tak berdaya dipermainkan sepak bola. Dan sekali lagi saya ikut larut dalam ketidakberdayaan itu, selalu sama dan berulang.
ADVERTISEMENT
Kata coach Justin di salah satu podcast-nya, atas dasar apa kita berharap banyak pada Timnas Indonesia. Dan saya mengamininya. Memang tak ada.
Kita tidak bermain sebagaimana kemampuan yang kita punya, umpan-umpan pendek dan mengandalkan kecepatan. Saya juga menyetujuinya. Jika tak terlalu lebay, ini seperti Spanyol mau bermain kick and rush. Dan saya masih percaya tim ini akan melakukan hal sama saat berhadapan dengan UEA yang pemainnya memiliki postur lebih mumpuni melakukan itu.
Berjuta diskursus, berjuta upaya dilakukan demi kemajuan sepak bola, hasilnya. Ah, ya sudah ya mau dibilang apa. Meminjam lirik The Rain, kita memang "Terlatih Patah Hati".
Entah kutukan apa yang ada di sepak bola kita, saya tak ingat ada Bella Gutman versi Indonesia yang melempar titahnya sehingga kita bernasib (kurang lebih) sama seperti Benfica, berteguh dalam kesunyian prestasi, menahan nestapa bertahun-tahun lamanya.
ADVERTISEMENT
Generasi mudanya apatis, generasi tuanya masih bertahan dengan "jaman om dulu," ya sudah. Apa mau dikata.
Kita memang asyik dengan dunia masing-masing dan tak pernah mau membuka ruang diskusi bersama, atau memang itu semua hanya kebiasaan yang tak berguna.
Ayah saya bahkan dengan tegas menyatakan “Membahas sepak bola Indonesia tak ada gunanya” (selain Persipura, ayah saya memang lebih memilih antipasti terhadap sepakbola Indonesia).
Sepak bola kita memang manifestasi untuk idiom benang ruwet. Repotnya benang itu tak pernah terurai karena kita memang tak pernah mau mengurainya, tak pernah tekun belajar, atau memang tak pernah mau belajar.
Kata Bu Tisha kita menargetkan Piala Dunia di tahun 2030. Tapi melihat permainan tim ini dua match terakhir, saya sangsi, cucu saya dan anak dari cucu saya bisa jadi tak bisa melihat Indonesia berlaga di Piala Dunia.
ADVERTISEMENT
Kita pernah menaruh asa saat Milla datang, asa semakin terbang tinggi saat kita duduk berbicara dan mengagungkan filosofi sepakbola Indonesia, Filanesia. Sekarang entah kemana atau saya hanya terlalu sedih sampai tak tahu ini sudah dijalankan di tingkat akar rumput sepakbola kita.
Sepakbola Indonesia memang seperti itu, bermain bagus bergairah semakin tinggi lalu berbenah sana-sini, untuk kemudian dihancurkan dan dimulai kembali. Sisifus akan tertawa bahagia melihat kita melakukan hal yang sama dengannya.
Tak tahulah ini hanya kekecewaan, sekalipun terlatih patah hati, tetap saja menyakitkan saat patah lagi.
Tapi setidaknya, saya dan sejuta manusia lain cukup berani dengan identitas sepakbola Indonesia. Cukup jujur dengan perasaan bahwa jatuh cinta memang memiliki konsekuensi dikecewakan, cukup jujur dengan rasa marah terlalu sering dikecewakan.
ADVERTISEMENT
Lalu seperti biasa kita akan menaruh beban berat buat adik-adik timnas di kelompok usia. Sampai akhirnya melihat Evan Dimas baru menjadi pariah di level senior.
Tak perlu denial, diam-diam menonton timnas, ikut bergelora tetapi kemudian sok apatis, "ah saya enggak suka sepak bola dalam negeri."
Sebaik-baiknya jatuh cinta, adalah jatuh cinta yang diungkapkan tak peduli akan berakhir seperti apa bukan? Kejujuran selalu meninggalkan kebahagiaan, entah nanti entah kapan. Demikian.
Salam
Ditulis sesaat sebelum menunggu kualifikasi Piala Asia U-16