Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Semoga Kita Tak Sedang Merusak Mimpi Mereka
18 Agustus 2018 13:34 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:06 WIB
Tulisan dari Vyatra Joseph tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Saya sengaja menuliskan ini jauh hari setelah kita merayakan keberhasilan tim nasional sepak bola U-16 menjuarai kompetisi sepak bola regional. Saya tak cukup tega bersuara untuk kemudian dicap sebagai perusak pesta. Apalagi ini memang pelepas dahaga bagi prestasi sepak bola negara kita yang seadanya.
ADVERTISEMENT
Kealpaan tim nasional senior sepak bola kita memberikan kebanggaan, mau tidak mau menjadikan kita introvert dalam urusan prestasi sepak bola.
Louis Van Gaal sampai kaget ketika melihat animo suporter yang lebih bersemangat mendukung tim nasional Belanda ketimbang tim nasional Indonesia, saat mereka melakukan uji coba 2013 silam.
Riwayat prestasi sepak bola nasional kita selain gelar-gelar puncak yang “tidak dihargai” oleh FIFA, mentok dikata "hampir." Hampir lolos Piala Dunia, hampir juara AFF, dan hampir-hampir lainya. Ibarat hubungan, hampir-hampir itu tadi, mirip dengan nukilan lirik “Dan semua yang pergi tanpa sempat aku miliki” di lagu The Rain, "Terlatih Patah Hati."
Prestasi yang masih diceritakan turun-temurun saat berpartisipasi di Piala Dunia, boleh jadi hanyalah kebanggaan fana, karena Hindia Belanda kala itu datang sebagai tim persemakmuran yang tidak sepenuhnya diperkuat putra terbaik pertiwi.
ADVERTISEMENT
Prestasi seadanya itu membuat kita menjadi mudah larut dalam euforia tiap kali ada tim sepak bola yang mewakili Indonesia, berhasil menjuarai sebuah turnamen, tak peduli apapun temanya atau apapun levelnya.
Tahun 2013 lalu saat Evan Dimas dan kawan-kawan menjadi juara di level U-19, mereka mendadak menjadi remaja dengan popularitas paling tinggi di Indonesia. Tim nasional senior bahkan dianggap tak lebih baik dari sisi prestasi (jelas), pun demikian dengan cara bermain.
Timnas senior yang kala itu lebih sering bermain dengan formasi 4-4-2 klasik, saat ditukangi dianggap tak cukup menghibur jika dibandingkan dengan anak asuh Indra Sjafri yang bermain dengan eksplosivittas tinggi, terinspirasi oleh tiki-taka yang diperkenalkan oleh aristokrat sepak bola Catalan itu.
ADVERTISEMENT
Tiap kali tim nasional senior kita bermain dan kurang menghibur, pembandingnya jelas timnas U-19. Padahal kita sama-sama tau, secara tim U-19 yang juara di AFF 2013 lalu adalah tim yang dibentuk dan dibina jauh lebih intens, bandingkan jika dengan tim senior yang masih saja berkendala tiap kali ada pemanggilan pemain.
Visi bermain yang sebegitu matang tidak bisa dibentuk dalam sehari dua hari pemusatan latihan. Tentunya ini masalah teknis terlepas masalah federasi sepak bola kita yang memang yang serba njelimet.
Kemurnian permainan sepak bola, begitu kita menyanjung permainan tim junior kita. Jauh dari urusan politis, bisnis, dan segala macam tetek bengek-nya. Perlahan kita taruh beban teramat berat di pundak mereka, egoiskah kita? Entah.
ADVERTISEMENT
Lalu datang saat itu, saat tim yang benar-benar diharapkan bisa mencapai Piala Dunia level junior sebagai ganti tim senior kita yang teramat sering memberikan kesedihan, akhirnya gagal.
Ada banyak alasan teknis, mulai gaya permainan yang mulai terbaca, sampai kelelahaan dan kejenuhan, semua karena tim ini terlalu sering bertanding (kala itu tim ini melakukan tur dengan tema Nusantara Tour lengkap dengan jumpa fans). Pertandingan sebanyak itu memang dampak dari harapan besar yang kadung dipupuk.
Di Piala Asia U-19 di Myanmar, kita sama sekali tak meraih poin di Piala Asia U-19 kala itu. Tangis Evan Dimas dan kawan-kawan pecah, saat pertandingan terakhir mereka dipaksa menyerah oleh 1-4 oleh Uni Emirat Arab.
ADVERTISEMENT
Angkatan ini kemudian beranjak dewasa, mereka mulai naik dan mentas di level senior, Evan Dimas bahkan sudah tampil di AFF 2014 dan 2016 menggeser nama Ahmad Bustomi kala itu. Beberapa pemain lain pun demikian.
Ada jeda saat tim junior kita tidak bisa berbicara banyak di edisi 2014, 2015, 2016. Di tahun 2014 saat anak asuh Rully Nere yang tergabung di timnas U-19 B berangkat di tengah masalah pelik federasi, mereka terpaksa pulang dengan kekecewaan, di tahun yang sama juga tim A yang dipimpin Evan Dimas dkk gagal di Piala Asia U-19 di Myanmar, setahun kemudian 2015 tidak ada tim yang berangkat kala itu kita sedang disanksi FIFA, lalu di tahun 2016 saat tim ini dipimpin oleh Eduard Tjong, kita kembali gagal.
ADVERTISEMENT
Setelah rentetan hasil minor, Indra Sjafri ditunjuk kembali untuk memimpin tim yang akan berlaga di Myanmar tahun 2017. Harapan besar kembali dipupuk. Apalah daya, hidup itu punya rahasianya sendiri. Tim ini gagal memenuhi espektasi besar itu. Pada dua kesempatan berbeda 2017 kita hanya finish di peringkat ketiga, pun demikian saat bertindak sebagai tuan rumah ditahun ini.
Setelah timnas U-19 tak lagi memuaskan banyak harapan menjadi nomer satu, perlahan-lahan kita alihkan perhatian ke tim yang jauh lebih muda, Timnas U-16. Kita pindahkan beban itu anak-anak yang jauh lebih muda usianya. Anak-anak yang rata-rata masih berusia Sekolah Menengah Pertama.
Ini pemain-pemain muda yang baru saja, menapaki fase bermain kompetetif setelah sebelumnya hanya bermain untuk kesenangan. Berat sekali beban mereka menanggung harapan besar kita.
ADVERTISEMENT
Kebahagiaan itu memang mahal harganya, kita tak lagi peduli apa yang harus dikorbankan. Termasuk kesenangan anak-anak muda ini dalam memainkan olahraga maha indah ini.
Pada akhirnya mereka berhasil, Tuhan memang Maha Baik, tetapi melihat kita memberikan beban teramat berat kepada anak-anak muda ini, bukti bahwa sepak bola kita memang sedang tidak baik-baik saja.
Ada 4 poin utama dalam menentukan prestasi sepak bola sebuah negara dalam peringkat FIFA. Hasil pertandingan, pentingnya pertandingan, kekuatan lawan, dan terakhir level kekuatan konfederasi.
Hasil di level junior sama sekali tidak masuk dalam kategori itu, kenapa? Karena turnamen tersebut memang bersifat pembinaan, ukuran berhasil tidaknya sebuah pembinaan adalah prestasi di level seniornya. Maka saat kita memberikan beban teramat berat untuk anak-anak muda ini, anak-anak muda yang sedang dibina, aneh sekaligus sedih rasanya.
ADVERTISEMENT
Membina pemain muda itu susah-susah gampang, fase di mana kita perlu membuat kebahagiaan bermain dan rasa kompetitif bisa beriringan, untuk kemudian memiliki hasrat bermain dan hasrat berkompetisi yang tinggi di usia matang.
Kita sama-sama tahu banyak bukti, pemain muda yang berhasil sedini mungkin tapi tak dapat mempertahankan prestasi. Bisa jadi mereka jenuh dengan segala macam hingar bingar yang ada, kehilangan fokus, dan pada akhirnya tak lagi memiliki hasrat yang menggelora, tak lagi jatuh cinta dengan sepak bola.
Kita tidak pernah tahu takdir dan jalan karir seseorang, jika pada akhirnya kemungkinan buruk itu terjadi (gagal di usia matang) setidaknya jangan kita yang menjadi bagian didalamnya, sayang.
Merayakan keberhasilan adik-adik kita ini, tetap perlu dilakukan. Sebuah tanda bahwa sepak bola memang sebuah perayaan yang membahagiakan. Selain itu, bentuk apresiasi terbaik kita bagi putra bangsa yang rela berpeluh dan menahan nyeri bertarung di lapangan. Akan tetapi semua yang berlebihan tidak baik adanya, termasuk cara kita larut dalam euforia yang berlebih.
ADVERTISEMENT
Semoga kita tak sedang merusak mimpi mereka. Hanya mengingatkan, demikian.
Salam